Search

Kamis, 13 Desember 2007

Sinergi Gerakan Selamatkan Hutan

Sinergi Gerakan Selamatkan Hutan
oleh Benni Setiawan pada 12-12-2007, Jogjosemar

Hutan Indonesia dalam ancaman kerusakan. Hutan dibabat untuk memenuhi “kerakusan” dan “ketamakan” manusia. Pengelola hutan dengan HPH atau surat izin lainnya menggunakan dalih pemanfaatan hutan untuk merusak ekosistem bumi. Bumi menjadi panas. Bencana alam silih berganti. Nyawa melayang dengan sia-sia, menjadi pemandangan setiap hari.
Kerusakan bumi akibat rusaknya hutan Indonesia di atas diakibatkan oleh tidak tegasnya hukum di negeri seribu satu pesona ini. Ambil contoh, bebasnya tersangka pembalakan liar (illegal logging) di Sumatera Utara, Adelin Lis. Adelin Lis tidak terbukti membabat hutan dan merugikan keuangan negara.
Keadaan ini memunculkan pertanyaan, mengapa hukum di negeri ini masih saja belum mampu menegakkan keadilan di Indonesia. Pembalak liar kelas kakap dapat bebas tanpa syarat di negeri yang konon menyatakan perang terhadap pembalakan liar.
Padahal dengan rusaknya hutan, banjir, tanah longsor dan kekeringan mengancam kehidupan penduduk bumi. Kerusakan hutan pun mengancam ekosistem bumi. Seperti pemanasan global, rusaknya makrokosmos bumi dan ketimpangan sistem kehidupan makhluk bumi.

Hukum, Pemerintah dan Pers
Mengapa hukum tidak berdaya menjerat pembalak liar ini? Menurut George Junus Aditjondro (2003), kegagalan pemerintah dalam menegakkan hukum ini karena pemerintah hanya mengunakan retorika belaka dalam membela kebijakan yang dinilai sudah final. Retorika ini mengambil bentuk yang legalistik, saintifik ataupun primordialistik.
Retorika sebagai keterangan resmi pemerintah yang dimuat pada media massa, tidaklah bebas nilai. Hal ini membutuhkan kecermatan dan kejelian kita dalam menerima informasi tersebut. Untuk kepentingan ini, maka dibutuhkan perangkat analisis media yang lazim disebut analisis framming. Hal ini bertujuan agar kita tidak mudah dibohongi mentah-mentah oleh pemerintah.
Lebih lanjut, George Junus Aditjondro, menyatakan bahwa pers yang terkooptasi (atau dikooptasi) tidak akan pernah menyoroti pihak yang kontra terhadap pemerintah. Kalaupun pers mengkritisi langkah-langkah kebijakan yang diambil, itu pun hanya berhenti pada domain tehnis belaka dan tidak lebih dari itu. Sehingga kritik tersebut tidak menyentuh akar tunggang permasalahan yang sebenarnya.
Pers sebenarnya berposisi dualistis. Di satu sisi pers berkewajiban menyampaikan informasi yang obyektif dan akurat kepada masyarakat, sedangkan pada titik tertentu pers juga memainkan peran propagandanya untuk kepentingan penguasa.
Pernyataan tersebut di atas mengisyaratkan betapa hukum masih saja menjadi “mainan” penguasa dan orang-orang berduit. Hukum masih pandang bulu. Dalam kasus Adelin Lis misalnya, pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan sepertinya ada di belakang atau membela Adelin. Menteri Kehutan dengan dalih pemberantasan illegal logging kebablasan membela Adelin Lis yang mempunyai izin usaha untuk memanfaatkan hutan, bukan membalak atau membabat hutan.
Jika keadaannya demikian, mungkin bebar temuan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO. FAO menyebutkan bahwa laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun menurut FAO rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2% dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar.
Padahal emisi karbondioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan. Sebesar 75 persen dari konversi lahan dan deforestasi, 23 persen dari penggunaan energi sektor kehutanan, dan dua persen dari proses industri sektor kehutanan.
Maka guna mengakhiri periode kerusakan lingkungan hidup, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama. menjadikan pers netral. Netralitas pers menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa. Hal ini dikarenakan pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Ketika pers hanya memberitakan kebaikan pemerintah dan membohongi rakyat dengan data-data fiktif, maka pers akan ditinggalkan oleh masyarakat. Lebih lanjut, pers hanya akan menjadi hantu bagi terciptanya demokrasi di Indonesia.

Sinergi gerakan
Kedua, adanya sinergi gerakan antar aktivis gerakan lingkungan. Selama ini para aktivis yang tergabung dalam kelompok aksi dan advokasi yang juga concern terhadap persoalan kerusakan lingkungan seakan terjebak pula dalam kritik artifisal pada lanskap mikro (teknis), sebagaimana yang diberitakan pers. Parahnya mereka tidak mampu menjalin sinergitas antara sesama organ pergerakan. Sehingga menjadikan masing-masingnya bergerak sendiri.
Maka pembangunan networking atau kerjasama dan koeksistensi sesama organ baik yang mempunyai bidang gerak yang sama maupun yang berbeda sekalipun menjadi penting. Ambil contoh, organ lingkungan harus memiliki pengetahuan dasar mengenai hukum lingkungan dengan jalan kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang ada.
Kekerasan fisik yang sering dilakukan oleh aparat pemerintah, yang oleh George Junus Aditjondro disebut ekofasisme, menjadi halangan tersendiri bagi para aktivis dalam menjalankan advokasi. Untuk itu dibutuhkan tidak hanya sekadar nyali atau keberanian konyol saja. Lebih dari itu adalah pengetahuan dasar tentang hukum dan kondisi faktual di lapangan.
Pemerintah sudah saatnya bangun dari tidur lelap mengenai kerusakan lingkungan. Sebagai pemegang otoritas kenegaraan, pemerintah tentunya tidak mau melihat rakyatnya menderita akibat rusaknya lingkungan. Lebih lanjut, pemerintah sudah saatnya berani mengambil langkah tegas menghentikan pembalakan liar dengan menghukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kelalaian pemerintah dalam mengurus dan memelihara lingkungan hidup menjadi pertanda kiamat bagi bangsa ini. Artinya, tidak seimbangnya makarokosmos bumi Indonesia akan mengakibatkan bencana, yang pada akhirnya merugikan rakyat.


Peneliti pada Yayasan Nuasa Sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar