Maraknya jasa pembuatan skripsi, tesis dan bahkan disertasi menambah deretan potret pendidikan yang buram di Indonesia. Pembuatan skripsi berkedok jasa konsultasi, beberapa waktu lalu pernah diungkap dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta nasional. Jasa pembuatan skripsi ini tak ubahnya seperti perjanjian jual-beli barang, yang memerlukan berbagai syarat.
Ironisnya, jasa pembuatan skripsi itu justru tumbuh subur di kota-kota yang konon dinyatakan sebagai kota pelajar, seperti, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, Bandung, dan sebagainya. Jasa ini lebih vulgar dalam menawarkan jasanya dengan menempel papan nama dan spanduk di pohon-pohon dan di tepi jalan. Bahkan di Yogyakarta, masalah ini sering dikeluhkan oleh warga sekitar, karena menganggu atau memperburuk citra kota pendidikan.
Jasa pembuatan skripsi ini lahir atas dasar permintaan. Dalam teori ekonomi, permintaan akan sebanding, seimbang atau berbanding lurus dengan penyediaan barang atau jasa. Tumbuh suburnya jasa pembuatan skripsi ini seakan menunjukkan lemahnya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.
Mahasiswa tidak lagi mempunyai kemandirian atau rasa percaya diri untuk membuat skripsi dari hasil jerih payahnya sendiri. Mereka tidak mau bersusah payah membaca dan menganalisis bahan atau data, karena banyaknya kemudahan yang diberikan oleh jasa pembuatan skripsi. Cukup dengan membayar satu hingga dua juta rupiah, skripsi telah jadi. Mahasiswa tinggal duduk manis atau bermain dan menikmati dunia gemerlap saat.
Maraknya jasa pembuatan skripsi adalah bukti nyata degradasi moral generasi bangsa. Artinya, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi doyan membaca dan menulis. Aktivitas membuat tugas akhir atau skripsi adalah menulis. Menulis harus didahului oleh aktivitas membaca. Tanpa membaca, seseorang akan kesulitan dalam merangkai kata-kata menjadi kata baru yang lebih bermakna. Hilangnya budaya menulis berkaitan erat dengan budaya membaca. Hal ini dikarenakan membaca dan menulis adalah aktivitas yang saling berkaitan erat.
Budaya Baca yang Rendah
Mahasiswa di zaman sekarang ini lebih banyak melakukan aktivitas yang kurang bermanfaat. Contohnya, hura-hura dan banyak menghabiskan waktu di mall dan klub-klub malam. Pikiran bahwa, mahasiswa adalah golongan elit bangsa dijadikan alasan untuk bersenang-senang di masa muda.
Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya budaya mengerjakan tugas kuliah. Jika, dalam sebuah mata kuliah ada tugas membuat makalah kelompok misalnya, kebanyakan mahasiswa saling melempar tugas. Kemudian mereka memberikan tugas kelompok ini kepada salah satu orang dalam kelompoknya, atau dengan pembagian tugas: A mencari buku dan bahan referensi; B mengerjakan bahan; C mengetik makalah; D memfoto copy; E menjadi moderator dalam presentasi makalah, dan seterusnya.
Dalam praktiknya mereka juga tidak menyediakan waktu untuk sekadar berdiskusi agar hasil makalahnya menjadi lebih baik. Mereka, sekali lagi, lebih banyak disibukkan oleh hal-hal yang kurang bermanfaat dan menyepelekan tugas-tugas kuliah tersebut.
Di samping itu, mahasiswa juga masih banyak yang binggung mengenai bagaimana membuat makalah yang baik. Hal ini diperparah oleh tenaga pengajar (dosen) yang acuh tak acuh. Dosen seringkali tidak memberikan pengarahan terlebih dahulu mengenai apa itu makalah, bagaimana cara membuatnya, apa fungsi footnote, bodynote, endnote dan seterusnya. Mahasiswa pun tidak punya banyak inisiatif untuk bertanya atau membaca buku mengenai hal tersebut.
Keadaaan yang demikian akan berpengaruh pada hasil akhir studi mahasiswa. Di awal studinya, mahasiswa sudah tidak paham tentang bagaimana membuat makalah, tidak banyak membaca buku, tidak banyak pergaulan dalam diskusi dan seterusnya. Pada akhir studi mereka mencari jalan pintas untuk menyelesaikan tugas akhirnya (skripsi) dengan mempergunakan jasa pembuatan skripsi.
Tidaklah aneh jika lulusan perguruan tinggi di Indonesia begitu memprihatinkan. Lulusan perguruan tinggi (S1) pada tahun 2005 sebanyak 385.418 menjadi pengangguran terbuka. Mungkin salah satu penyebabnya adalah hilangnya kemandirian mahasiswa untuk berkreativitas dengan banyak membaca dan menulis.
Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas, misalnya Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, dan Bandung sebagai penyandang predikat kota pendidikan memprakarsai adanya budaya gemar membaca dan menulis. Budaya membaca dan menulis dapat disosialisasikan mulai dari lingkungan keluarga. Di setiap keluarga ada sebuah ruangan khusus yang menyediakan buku-buku dan koran yang diletakkan di sebuah tempat khusus pula, sehingga memudahkan untuk diambil dan dibaca.
Mengenalkan sejak dini budaya membaca ini tentunya akan merangsang anak untuk selalu menyimak dan mengikuti perkembangan berita dan pemikiran. Dengan demikian, ketika ia sudah masuk ke jenjang yang lebih tinggi tidak gagap lagi dengan perkembangan tehnologi informasi.
Perpustakaan Sekolah
Selanjutnya adalah lingkungan sekolah yang kondusif. Artinya, setiap anggota masyarakat sekolah hendaknya mengedepankan aspek atau budaya membaca di lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggairahkan kembali perpustakaan sebagai tempat yang nyaman untuk belajar di waktu istirahat.
Kebanyakan perpustakaan yang ada di sekolah, seringkali hanya dijadikan ajang atau tempat menghukum bagi peserta didik yang terlambat dan melanggar peraturan sekolah lainnya. Peserta didik yang terlambat dimasukkan ke ruang perpustakaan untuk dihukum dan diberi nasehat oleh guru bimbingan konseling (BK).
Parahnya, di sekolah-sekolah yang belum terkondisi budaya membacanya seringkali ditemui buku-buku yang mulai menguning, dimakan rayap, rusak dan tidak teratur. Tidak adanya penjaga perpustakaan menambah semakin tidak nyamannya kondisi perpustakaan.
Perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku paket yang dibagikan setiap tahun kepada peserta didik. Bahkan pintu perpustakaan seringkali tertutup rapat dan dikunci karena tidak ada pengunjung.
Guru-guru di sekolah hendaknya mengajarkan dan merangsang peserta didik untuk belajar membaca dan menulis. Hal yang dapat dilakukan adalah, guru memberi tugas kepada peserta didik untuk membaca sebuah buku dan merangkumnya atau menilai buku tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dengan memberi tugas untuk mencari dan membaca buku-buku dan menuliskannya kembali akan dapat melatih peserta didik kreatif.
Hal ini terutama dapat dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia. Sebagaimana diketahui, guru Bahasa Indonesia seringkali mengajarkan peserta didiknya hal-hal yang sebenarnya sudah dipahami oleh peserta didiknya. Tidak aneh jika banyak kritik yang dilayangkan kepada guru Bahasa Indonesia, bahwa ia hanya mengajarkan bahasa yang sehari-hari sudah dipelajari dari orangtuanya. Guru bahasa Indonesia miskin strategi pembelajaran, sehingga, peserta didik semakin tidak paham dan jauh dari karya sastra bahasa Indonesia.
Murid-murid SD-SMA sekarang sudah tidak lagi mengenai siapa Sutan Takdir Ali Syahbana, Hamka dan karya-karyanya. Mereka lebih mengenal tokoh-tokoh kartun seperti Sinchan, Conan dan tokoh komik lainnya. Karya sastra pujangga Indonesia hanya menjadi sekadar soal ujian yang dihafal tanpa dipelajari dan diambil pelajarannya (petuah bijaknya).
Berikutnya pihak yang harus mulai melakukan gerakan gemar membaca dan menulis adalah masyarakat. Di beberapa wilayah kota dan pelosok desa banyak ditemui papan koran umum dan mading (majalah dinding). Dengan bekal ini masyarakat bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Membaca koran harian dan mencoba menuliskannya kembali, kemudian ditempel di mading akan menjadi nilai tersendiri.
Ketika gerakan membaca dan menulis sudah terkondisi sedemikian rupa, maka plagiator dan atau jasa pembuatan skripsi yang membodohkan mahasiswa itu dapat dicegah sejak dini. Gerakan membaca dan menulis juga akan mendorong terciptanya masyarakat yang kritis dan terdidik. Lebih dari itu, gerakan ini akan mendukung program pemerintah untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari buta aksara sebelum tahun 2010, sehingga dapat memenuhi target Millenium Development Goals (MDGs) sebelum 2015.l
Penulis adalah Pendidik di Universitas Muhammadiyah Jember.
Suara Muhammadiyah, No 2 15-31 Januari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar