Menjadi Selibater yang Seksual
Benni Setiawan *) (08/01/2008 - 10:11 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja): Judul buku : Seksualitas Kaum Berjubah
Penulis : Paul Suparno, S.J.
Tebal buku : 167.
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Terbit : Cetakan I, 2007.
Seksualitas adalah bagian dari hidup kita sebagai manusia. Seksualitas menyangkut bagaimana kita menerima diri kita sebagai perempuan atau laki-laki, bagaimana kita berfikir tentang api hidup dalam diri kita yang menggerakkan kita untuk berelasi dengan orang lain, bagaimana kita berkomunikasi dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan, bagaimana kita membangun keakraban dengan orang lain. Pendek kata, seksualitas adalah menyangkut diri kita secara penuh.
Bagaimana dengan kaum selibat (hidup tanpa menikah) bergulat dengan seksualitas? Buku yang ditulis oleh Mantan Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Paul Suparno ini mengupas secara mendalam mengenai hal tersebut.
Seksualitas dalam buku ini diartikan sebagai seluruh keberadaaan diri kita sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Maka, menyangkut penampilan tubuh kita, bagaimana kita merasa aman dan bangga terhadap diri kita, penerimaan diri secara utuh; bagaimana kita berfikir tentang diri kita, orang lain, dan juga Tuhan; bagaimana kita berelasi dan membangun relasi yang mendalam dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan.
Seksulitas menyangkut penerimaan diri kita seperti adanya sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Dengan demikian, seksualitas bukan hanya seks atau soal kelamin, tetapi seluruh keberadaan kita sebagai pribadi manusia (hlm. 18).
Jika seksualitas hanya dimaknai sebagai seks dan soal kelamin maka hal ini akan dianggap sebagai gangguan dalam hidup membiara, bahkan menjadi godaan utama.
Dengan demikian, pandangan bahwa seksualitas hanya berhubungan dengan kelamin adalah keliru dan tidak tepat. Lebih lanjut, pengertian yang mendalam mengenai seksualitas akan berhubungan erat dengan spiritualitas.
Spiritualitas adalah hubungan kita dengan Tuhan yang mempengaruhi seluruh aspek hidup kita, termasuk seksualitas. Timmerman menjelaskan spiritualitas sebagai pemberian roh. McBrien menyatakan spiritualitas sebagai “berkaitan dengan gaya hidup seseorang yang dengan suatu cara mengalami Tuhan dan hidupnya diubah oleh pengalamannya itu”.
Dia mengatakan bahwa tidak ada spiritualitas kristiani autentik dapat dibangun pada pengertian dualistik. Kita adalah manusia utuh yang berjiwa dan berbadan. Meminjam ungkapan Driyarkara, kita ini sungguh badan yang menjiwa, dan jiwa yang membadan. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian, kalau kita sudah ingin mengembangkan hidup kita sebagai seorang kristiani yang penuh, kita harus menghayati dengan seluruh kemanusiaan kita, yang berspiritualitas dan berseksual. Itulah dua semangat dalam kesatuan diri kita (hlm. 44).
Inti utama seksualitas manusia adalah bahwa kita membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, kita selalu ingin membangun relasi mendalam dengan orang lain, alam dan Tuhan sendiri. Relasi inilah yang perlu dikembangkan dalam hidup sebagai biarawan-biarawati. Maka, pengembangan intimacy yang sehat penting, justru untuk membantu kita berkembang seimbang dalam seksualitas.
Intimacy menyangkut relasi yang dalam antara dua pribadi, yang berjalan dalam waktu panjang, dan memungkinkan mereka berubah karena relasi itu. Ada kedekatan pribadi, ada keterbukaan untuk berubah (hlm. 52).
Cara untuk membangun intimacy yang sehat dalam hidup membiara antara lain; pertama, menumbuhkan keinginan untuk dipengaruhi oleh orang lain. Jika kita tidak mau dipengaruhi orang lain, kita tidak akan dapat membangun intimacy.
Kedua, menerima realitas dan perasaaan dalam tubuh kita. Kita perlu menerima dengan gembira kenyataan diri kita, baik perasaan yang kita alami maupun keadaan tubuh kita.
Ketiga, kembangkan asketis yang sehat. Askese akan membantu orang semakin mengenal secara mendalam dirinya, dan menghindari dari keinginan yang tidak teratur. Dalam keadaan seperti itu, membangun intimacy yang sehat lebih mudah karena orang sungguh bebas dari dalam batinya.
Keempat, hadapi loneliness atau kesepian. Salah satu akibat dari kegagalan intimacy adalah orang dapat mengalami kesepian. Kesepian itu perlu dihadapi.
Kelima, jangan represi, jangan menekan atau menolak keinginan untuk membangun intimacy yang sehat.
Keenam, ambil risiko dalam perjuangan intimacy. Risiko selalu ada, dan kalau kita ingin maju, itu perlu dihadapi (hlm. 60).
Dengan memahami realitas diri dan lingkungan yang baik, seseorang akan dapat menjadi kaum selibat yang baik.
Buku yang ditulis dengan tata bahasa yang menawan dan dilengkapi dengan hasil temuan (data) yang cukup menjadikan buku ini layak dibaca oleh siapapun.
Pada akhirnya dengan hadirnya buku ini semoga kita semakin sadar akan tantangan hidup membiara di zaman ini, yang semakin besar. Semoga kita semakin gembira, bahagian karena menjadi seorang selibater yang seksual.
*) Pembaca sedikit buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar