Search

Sabtu, 01 Agustus 2009

Perguruan Tinggi Bukan Pabrik



Kampus, Suara Merdeka,01 Agustus 2009

Mutu menjadi hal penting bagi sebuah perguruan tinggi (PT). Sebuah PT akan mendapatkan banyak mahasiswa apabila di dalamnya terdapat penyelenggaraan pendidikan, dosen, penelitian, serta sarana dan prasana yang bermutu. Tanpa hal tersebut, sulit bagi PT bertahan di tengah banyaknya lembaga pendidikan tinggi saat ini.

DALAM konteks Indonesia, penjaminan mutu sebuah perguruan tinggi berada pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Juni lalu, Dikti mempublikasikan hasil evaluasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi (SPMIPT) di seluruh Indonesia.

Dari 387 PT yang telah diberi instrumen dan dinilai, Dikti memutuskan hanya 68 universitas/institut/sekolah tinggi yang layak disebut berpredikat good practices dalam pelaksanaan penjaminan mutu (quality assurance). Artinya, hanya 17,6 persen PT di Indonesia yang disebut ’’bermutu’’ dalam perspektif Dikti.

Beberapa kampus yang berhak menyandang predikat good practice dalam pelaksanaan penjaminan mutu adalah UI (Depok), ITB (Bandung), UGM, Universitas Atmajaya, Universitas Islam Indonesia (ketiganya di Yogyakarta), UNS (Solo), Universitas Bina Nusantara (Semarang), Universitas Airlangga, STIE Perbanas (keduanya di Surabaya), Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Merdeka, Universitas Kanjuruhan, Universitas Muhammadiyah Malang (kelimanya di Malang), dan Universitas Jember.

Dasar penilaian yang digunakan Dikti meliputi kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi (mahasiswa, lulusan, dosen), suasana akademik, sarana-prasarana, keuangan, penelitian dan publikasi, pengabdian kepada masyarakat, manajemen lembaga, sistem informasi, serta kerjasama dalam dan luar negeri.

Artikel ini berusaha menerjemahkan beberapa indikator yang ditetapkan Dikti, namun hanya akan menganalisis beberapa indikator saja, yaitu kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi (mahasiswa, lulusan, dosen), serta penelitian dan publikasi.

Masih Minim

Pertama, kurikulum. Kurikulum masih menjadi kendali Dikti. Inovasi PT yang diwakili rektor, dekan, dan dosen sangat minim, karena kurikulum berkaitan erat dengan akreditasi sebuah perguruan tinggi.

Minimnya inovasi PT menjadikan produk atau lulusan sama: sama-sama tidak mandiri! Padahal kurikulum buatan pemerintah masih berorientasi pasar. Belum ada terobosan berani dari pemerintah maupun PT untuk menjadikan mahasiswa mandiri dan bisa berkarya sesuai dengan bidang yang ditekuni.

Tidak aneh jika banyak lulusan PT menjadi penganggur terbuka. Mereka hanya berusaha bekerja dan mencari kerja jika ada lowongan baik dari institusi swasta maupun pemerintah (CPNS).

Kedua, proses pembelajaran. Proses pembelajaran di PT tak ubahnya seperti pabrik. Mahasiswa dimasukan dalam kelas, diajar oleh dosen, diminta mengerjakan tugas, mengikuti aturan main, dan melaksanakan ujian tengah semester dan akhir semester.

Proses pembelajaran pun hanya searah. Upaya menjadikan kelas sebagai milik mahasiswa —sementara dosen sekadar fasilitator— sulit dilakukan. Paradigma yang dibangun para mahasiswa adalah cepat lulus dengan nilai memuaskan (bahkan cum laude). Setelah itu menjadi PNS atau bekerja di kantor swasta dengan penghasilan lumayan.

Dosen pun bekerja sekadar menjalankan tugas dan berkeinginan materi yang diajarkan cepat selesai. Tidak ada ruang kritis dalam proses belajar-mengajar. Jika pun ada, banyak ketimpangan di dalamnya.

Misalnya, dosen siap dengan banyak bacaan, mahasiswa hanya mlongo (tidak paham). Sebaliknya, mahasiswa kritis dengan banyak bacaan, tetapi dosen justru tidak siap, antikritik, bahkan killer.

Belum Dilirik

Ketiga kompetensi (mahasiswa, lulusan, dosen). Kompetensi mahasiswa umumnya hanya diukur dari kesesuaian bidang yang digeluti. Biasanya diukur dari keaktifannya dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM). Kompetensi mereka dalam karya tulis di berbagai media massa seringkali belum dilirik dan dinilai Dikti.

Lulusan pun demikian. Lulusan yang baik adalah mereka yang dapat bekerja menjadi PNS. Lulusan yang bekerja di sektor informal belum mendapatkan tempat.

Demikian halnya dengan dosen. Masih banyak dosen PTN maupun PTS yang mengajar bukan pada bidang kompetensinya. Masih banyak dosen mengajar 3-4 mata kuliah.

Jika masih serumpun mungkin dapat dimaklumi. Namun, jika sudah tidak ada hubungannya, ini yang menjadi masalah besar. Sebab, mata kuliah diajarkan oleh orang yang tidak kompeten. Bagaimana mungkin mahasiswa dapat paham dan kritis jika dosennya tidak menguasai mata kuliah yang diajarkan?
Keempat, penelitian dan publikasi.

Penelitian dan publikasi yang dilakukan peneliti dan PT di Indonesia masih minim, terutama dalam jurnal-jurnal internasional. Menurut data, hanya 0,87 artikel ilmiah per 1 juta penduduk Indonesia. Padahal Malaysia sudah mencapai 21,30 dan India sebesar 12,00 (Kompas, 13 Juli 2009).

Melihat data tersebut, dosen dan peneliti di Indonesia mesti bangkit dari keterpurukan. Sudah saatnya tidak sekadar hobi mengajar, namun juga hobi meneliti dan menulis. Tanpa hal itu, sulit perguruan tinggi di Indonesia bersaing dengan negara lain.

Sudah saatnya seluruh komponen PT sadar mengenai mutu yang masih jauh dari standar. Perguruan tinggi bukanlah pabrik tempat mencetak sebanyak-banyaknya manusia siap kerja.

Perguruan tinggi punya tugas dan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan dan memandirikan bangsa dan negara. (32)

—Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar