Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Sabtu, 15 Agustus 2009
Matinya Pendidikan Humanis
Benni Setiawan, Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia dan Agenda Pendidikan Nasional.
Harian Jogja, Sabtu, 15 Agustus 2009
Kekerasan (bulying) dalam dunia pendidikan tampaknya telah menjadi budaya masyarakat sekarang. Gencetan atau bulying dapat berupa tekanan berupa pengucilan, pelecehan, pemalakan, intimidasi, ejekan, gosip, fitnah, kekerasan fisik atau mental secara serius. Perilaku ini biasanya dilakukan oleh kakak kelas kepada adik kelas. Dapat juga dikarenakan karena kecemburuan sosial.
Kecenderungan-kecenderungan di atas seringkali menjadi beban mental bagi peserta didik. Artinya, mereka sudah tidak lagi mendapatkan tempat untuk saling tegur sapa (berkeluh kesah). Orangtua di rumah sudah susah mencari sesuap nasi. Teman-teman di sekolah yang dholim. Guru-guru yang banyak menggelar demontrasi menuntut kesejahteraan dan seterusnya.
Tindakan kekerasan yang dilakukan kakak kelas ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ada di Institute Pemeritahan Dalam Negeri (IPDN). Senior adalah orang yang selalu benar. Sedangkan yunior adalah orang yang selalu salah. Tidak ada kesalahan atau dosa bagi senior untuk menyiksa yunior. Dan akibat perlakuan ini yunior mendapat “pahala” atau “disayang” oleh senior. Sungguh keadaan yang membuat kita miris.
Perilaku semacam ini tentunya tidak boleh kita biarkan begitu saja. Tindak kekerasaan dalam bentuk apapun adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Apalagi jika tindak kekerasan tersebut mengakibatkan luka atau patah tulang atau sampai menghilangkan nyawa seseorang. Setiap pelaku harus dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku.
Kondisi ironis
Ironisnya keadaan ini terjadi di dunia pendidikan. Dunia dimana seharusnya terjadi proses atau interaksi antar individu untuk saling mengisi dan mengembangkan potensi yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia.
Pendidikan seharusnya sesuai dengan yang dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 yaitu, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara ».
Mengapa keinginan mulia tersebut di atas malah menjadi momok tersendiri bagi peserta didik?
Pendidikan humanis
Kekerasan (bulying) dalam dunia pendidikan sudah saatnya dihentikan. Hal ini dikarenakan pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (humanizing human being).
Proses pendidikan humanis dilakukan dengan sadar dan terencana. Pola pendidikan humanis atau humanizing human being (memanusiakan manusia) dalam bahasa Freire, penyadaran dalam bahasa Romo Mangun, pengangkatan manusia muda ketaraf insani dalam bahasa Driyarkara dan principle of reaction dalam bahasa Ki Hajar Dewantara sudah saatnya diimplementasikan.
Bangsa ini memiliki banyak tokoh pendidikan yang mengemukakan gagasan brilian. Mengapa mereka tidak pernah kita rujuk? Mungkin benar pendidikan nasional Indonesia lebih berorientasi kerja atau pasar, tanpa memedulikan aspek-aspek humanis dalam pendidikan.
Dalam pendidikan yang bercorak humanis, seseorang dianggap sama. Artinya, semua manusia memiliki potensi yang telah diberikan oleh Tuhan sejak lahir. Potensi inilah yang diolah dan dikembangkan untuk bekal hidup. Tidak dengan jalan pemaksaan (kekerasan), melainkan dengan saling tegur sapa dan saling mengisi.
Lebih lanjut, pembinaan (respon positif) dari komponen pendidikan juga penting. Kompenen pendidikan terdiri dari, peserta didik, alumni, guru, dewan sekolah, pengawas dan seterusnya. Mereka semua adalah kompenen yang wajib turut serta dalam menjaga agar pendidikan menjadi hal yang menyenangkan dan mencerdaskan. Artinya, keadaan sekolah yang nyaman dan penuh keramahan akan dengan sendirinya menjauhkan rasa bosan dan kepenatan. Seseorang yang membawa beban berat persoalan akan merasa gembira ketika bertemu dengan komponen pendidikan. Kompenen pendidikan lainnya adalah keluarga atau teman dalam menghadapi setiap persoalan.
Jika komponen pendidikan di atas aktif dalam mendidik peserta didiknya maka tidak akan ada lagi tindak kekerasan sebagaimana dipraktikan di berbagai sekolah, seperti dalam masa orientasi siswa beberapa waktu lalu. Peserta didik akan saling menyayangi dan memahami dirinya dalam proses pendidikan.
Pada akhirnya, kekerasan di sekolah merupakan cerminan matinya pendidikan humanis di lembaga mulia ini. Pendidikan humanis sudah tidak lagi diajarkan di dalam sekolah. Maka tidak aneh jika sekolah sekarang tidak lebih seperti penjara. Peserta didik mendapat perlakuan kasar dari kakak kelasnya, guru-guru sudah disibukkan oleh urasan pribadi seperti sertifikasi guru, kepala sekolah yang acuh tak acuh, dan seterusnya. Kehidupan semacam itu, tak ubahnya seperti kehidupan di dalam penjara. Bahkan, lebih jahat, karena sekolah adalah institusi mulia untuk mendidik generasi penerus bangsa. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar