Sindo Edisi Sore Opini Sore
Rabu, 30/01/2008
Di sini berbaring seorang guru Semampu membaca buku usang Sambil belajar menahan lapar Hidup sebulan dengan gaji sehari ………………. (Winarno Surakhmad,Kapan Sekolah Kami Lebih Baik dari Kandang Ayam)
Masih ingat dengan petikan puisi di atas? Ya,puisi tersebut telah membuat Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla berang,saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2005.Namun,keberangan JK,ternyata belum menjadi semacam agenda nasional untuk menyejahterakan guru. Baru-baru ini,sebanyak 6.200 guru di Kabupaten Merangin,Jambi,mogok mengajar.
Aksi ’’nekat”guru di Merangin ini bukanlah yang pertama.Sebelumnya, ribuan guru di Lombok unjuk rasa hingga bentrok (Rabu, 25/01/2006).Pada hari yang sama,puluhan guru swasta honorer unjuk rasa di Semarang Jawa Tengah.Persatuan Guru Republik Indonesia di Jawa Barat unjuk rasa menuntut realisasi anggaran pendidikan 20% APBN dan APDB (6/02/2006).Pada akhir bulan Desember 2005,guru di Slawi,Jawa Tengah,melakukan mogok makan menuntut insentif gaji Rp200.000. Demonstrasi yang dipelopori dan digawangi langsung oleh guru di Tanah Air sungguh menyedihkan.Artinya,mengapa penerus Ki Hajar Dewantara,basis pencerahan bangsa,pendidik anakanak Indonesia,sudah sampai hati turun ke jalan.
Unjuk rasa guru merupakan cerminan bangsa miskin.Seharusnya,guru mengajar di dalam kelas,mendidik anak bangsa dapat membaca dan menulis, menjadi penerus cita-cita perjuangan bangsa,bukan turun jalan menuntut hak-haknya.Mengapa negara yang didirikan para guru ini begitu menelantarkannya? Sebagaimana kita ketahui bersama, Soekarno,Hatta,Ki Hadjar Dewantara, Ahmad Dahlan,dan Hasyim Asy’ari adalah seorang pendidik (guru).Mereka telah menjadi pemimpin bangsa dan membawa bangsa ini menuju kemerdekaan dari tekanan penjajahan dengan pendidikan. Tampaknya,guru di Indonesia tidak bernasib baik.Mereka sekarang termasuk dalam golongan masyarakat marginal.
Artinya,gaji yang mereka terima setiap bulan sudah tidak lagi cukup sekadar untuk makan.Guru harus menghemat tenaganya di kelas untuk menggarap sawah hasil warisan dari orangtua.Dengan sawah sepetak,mereka mencoba bertahan hidup di tengah impitan ekonomi. Sepertinya,guru sudah tidak mempunyai harga diri di depan bangsa sendiri. Mereka sering dilecehkan.Hal itu tampak dengan tidak seimbangnya antara pendapatan yang mereka peroleh dengan pengeluaran yang mereka gunakan.
Timpang Ketimpangan sistem pun terjadi di negara ini.Ambil contoh,gaji seorang anggota Dewan beserta tunjangannya yang mencapai 100 juta pada akhir 2005.Seorang guru harus berjuang dengan mogok makan guna mendapat insentif gaji Rp200.000.Seorang guru pun tidak pernah bermimpi mendapatkan gaji dalam satu bulan hingga ratusan juta rupiah.Cukuplah gajinya dapat untuk membayar listrik setiap bulan,dapur dapat mengepul,dan membeli buku bacaan.
Namun,keinginan tersebut tinggallah mimpi di siang bolong.Alih-alih dapat membeli buku bacaan guna meningkatkan ilmu yang telah dimiliki,untuk membayar jasa angkutan umum pun sulit. Maka,jangan disalahkan jika guru melakukan aksi turun ke jalan dan mogok mengajar.Ketika guru unjuk rasa dan mogok mengajar,sebenarnya banyak pihak yang dirugikan,pertama, peserta didik.Ketika guru unjuk rasa dan mogok mengajar,peserta didik tidak mendapatkan haknya,yaitu ilmu pengetahuan pada hari itu.Mereka harus pulang pagi.Mereka pun harus menghindar dari penertiban Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di tempat perbelanjaan dan keramaian lainnya. Kedua,pihak yayasan atau pemilik sekolah.Guru yang melakukan unjuk rasa biasanya dari kalangan guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta.
Ketika mereka unjuk rasa,pihak yayasan harus bersiap menerima kritik dari masyarakat.Artinya,masyarakat telah banyak mengeluarkan biaya untuk anak-anak mereka,tetapi peserta didik tidak mendapatkan haknya. Pandangan miring dari masyarakat pun akan menimpa pemilik yayasan. Apabila hal ini terus-menerus berlangsung, tahun depan yayasan tersebut tidak akan mendapatkan peserta didik lagi.Hal itu disebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.Maka tak jarang,bagi masyarakat yang mempunyai dana berkecukupan (kaya),lebih memercayakan anaknya untuk dididik di luar negeri,atau yayasan sekolah luar negeri yang ada di kota-kota besar. Ketiga,pemerintah.
Setelah tingkat kepercayaan masyarakat menurun akibat banyaknya guru yang melakukan unjuk rasa,hal itu akan berimbas kepada pemerintah.Artinya,pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara dianggap tidak mampu lagi menyejahterakan rakyatnya.Sebagaimana kita ketahui bersama,kesejahteraan rakyat adalah salah satu elemen hak asasi manusia (HAM).
Maka itu,diperlukan langkahlangkah pencerahan agar aksi guru ini tidak meluas dan menjadi gerakan rakyat yang dapat mengganggu stabilitas nasional,yaitu pertama,tidak membedakan hak antara guru honorer swasta dan negeri.Persamaan hak untuk mendapatkan fasilitas yang layak dari negara merupakan sesuatu yang harus dipenuhi.Guru adalah pendidik bangsa,sedangkan bangsa ini seharusnya berterima kasih kepada penyelenggaraan pendidikan swasta yang telah banyak mengurangi pengeluaran negara. Kedua,segera merealisasikan anggaran APBN untuk pendidikan sekurang-kurangnya 20%.
Anggaran yang telah diamanatkan UUD 1945 itu harus direalisasikan dalam waktu dekat.Hal tersebut untuk menghindari adanya gugatan class action dari masyarakat kepada pemerintah.Hal ini disebabkan pemerintah telah sengaja menunda dan tidak merealisasikan amanat UUD 1945. Dua hal tersebut di atas,tampaknya menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah.Artinya,ketika kesejahteraan guru tidak mendapat porsi lebih,kebodohan,buta aksara,dan seterusnya akan menjadi ancaman serius bangsa ini.Inilah balada guru di negeri miskin.Guru harus bergelut dengan kemiskinan dan kelaparan di tengah tuntutan dari pembuat kebijakan. Terus berjuang guru Indonesia.Perjuanganmu adalah sejarah yang akan terus dikenang hingga akhir hayat di kandung badan.
(*) BENNI SETIAWAN Praktisi Pendidikan
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Rabu, 30 Januari 2008
Selasa, 29 Januari 2008
Reorientasi dan Pengawasan Dana BOS
Dana bantuan operasional sekolah atau yang akrab disebut BOS menjadi bahasan menarik akhir-akhir ini. Dana BOS yang diambil dari dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai.
Penerima (baca: pengelola) dana BOS, yaitu sekolah, sering kali kewalahan dalam mengelola dana ini. Orangtua murid pun menjadi bingung dengan dana ini. Mereka sering mengeluhkan, mengapa setelah adanya dana BOS pembiayaan sekolah menjadi mahal.
Persoalan lain yang mengitari BOS adalah rawannya penyelewengan. Di beberapa daerah diindikasikan banyak dana BOS yang menjadi lahan korupsi baru, perilaku yang akhir-akhir ini menjadi penyakit yang membahayakan bangsa dan negara.
Sebagaimana tercantum dalam buku petunjuk BOS, hanya delapan jenis yang boleh dibiayai dengan dana BOS, yaitu uang formulir pendaftaran, buku pelajaran pokok dan penunjang perpustakaan, peningkatan mutu guru, pemeliharaan, honor guru dari tenaga kependidikan honorer, kegiatan kesiswaan, ujian sekolah, dan transpor bagi murid yang mengalami kesulitan biaya transpor ke sekolah. Reorientasi
Reorientasi dana BOS menjadi bagian tak terpisahkan dari program ini. Artinya, ke mana dan untuk apa dana BOS digunakan harus sesuai dengan asas manfaat dan kepentingan yang mendesak.
Ketika kepentingan yang mendesak di sekolah adalah membantu meringankan beban orangtua murid, dana BOS harus lebih diorientasikan pada pengurangan beban biaya yang dibayarkan setiap bulan melalui sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP).
Hal ini juga berlaku apabila sekolah kekurangan dalam penyediaan fasilitas, misalnya ketika sekolah kekurangan dalam penyediaan buku-buku perpustakaan. Buku adalah sumber ilmu. Ketika perpustakaan sekolah masih kosong dan belum banyak buku ajar, pihak sekolah wajib mengalokasikan dana BOS untuk menyediakan buku-buku sebagai bahan referensi peserta didik atau guru.
Reorientasi penggunaan dana BOS dapat dilakukan dengan jalan mengundang wali murid, dewan sekolah atau komite sekolah, guru, dan pihak-pihak berwenang. Mereka diajak untuk membahas dan menyatukan persepsi mengenai dana BOS. Hal ini dilakukan untuk mengurangi prasangka atau ketidakjelasan yang diakibatkan tidak transparannya penggunaan dana BOS. Pengawasan dana BOS
Setelah dilakukan penyatuan persepsi mengenai apa dan untuk apa dana BOS, langkah selanjutnya yang dilakukan pihak sekolah dan masyarakat pada umumnya adalah mengawasi jalannya penggunaan dana itu.
Pengawasan dana BOS menjadi agenda yang tak kalah penting. Artinya, pengasawan ini dilakukan dalam bingkai keterbukaan atau akuntabilitas publik. Selain itu, pengawasan dana BOS juga dilakukan guna menekan sedemikian rupa praktik korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini.
Pengawasan dana BOS dapat dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, komite atau dewan sekolah. Komite sekolah yang terdiri dari wakil pemerintah daerah, guru, tokoh masyarakat, dan wakil alumni mempunyai tanggung jawab dalam menjalankan fungsi kontrol. Komite sekolah dapat mengawasi jalannya penggunaan dana BOS dari dalam. Artinya, mereka dapat memantau segala kegiatan dan penggunaan dana BOS sebagai representasi sekolah itu sendiri.
Kedua, peran serta organisasi sosial keagamaan. Organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai tanggung jawab mengawasi penggunaan dana BOS. Muhammadiyah dan NU dapat melakukan pengawasan dengan menjalankan fungsi majelis pendidikan yang ada.
Sebagaimana kita ketahui, kedua organisasi ini mempunyai sistem atau amal usaha pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Dengan demikian, tentunya mereka mempunyai badan yang secara khusus mengurus pendidikan.
Badan ini mempunyai tugas mengawasi penggunaan dana BOS dari dalam diri mereka sendiri. Hal ini dikarenakan dana BOS tidak hanya diturunkan oleh pemerintah untuk sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta yang dikelola yayasan pendidikan atau organisasi sosial keagamaan. Fungsi kontrol dari dalam tentunya memiliki kekuatan tersendiri bagi terciptanya masyarakat yang bersih.
Ketiga, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM melalui lembaganya sendiri atau forum LSM mempunyai tugas untuk mencerdaskan masyarakat. LSM dapat berperan sebagai mitra kerja pemerintah dalam menginformasikan apa dan bagaimana seharusnya dana BOS digunakan.
Pada akhirnya, dana BOS sebagai program peningkatan kualitas pendidikan Indonesia sudah saatnya menjadi contoh yang baik untuk bangsa. Artinya, penggunaan dana BOS harus dapat mencerminkan setiap kebutuhan dan kepentingan yang mendesak untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Hal yang lebih utama adalah penggunaan dana BOS harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. BENNI SETIAWAN Pemerhati Pendidikan
Kompas, Rabu 13 Desember 2006.
Penerima (baca: pengelola) dana BOS, yaitu sekolah, sering kali kewalahan dalam mengelola dana ini. Orangtua murid pun menjadi bingung dengan dana ini. Mereka sering mengeluhkan, mengapa setelah adanya dana BOS pembiayaan sekolah menjadi mahal.
Persoalan lain yang mengitari BOS adalah rawannya penyelewengan. Di beberapa daerah diindikasikan banyak dana BOS yang menjadi lahan korupsi baru, perilaku yang akhir-akhir ini menjadi penyakit yang membahayakan bangsa dan negara.
Sebagaimana tercantum dalam buku petunjuk BOS, hanya delapan jenis yang boleh dibiayai dengan dana BOS, yaitu uang formulir pendaftaran, buku pelajaran pokok dan penunjang perpustakaan, peningkatan mutu guru, pemeliharaan, honor guru dari tenaga kependidikan honorer, kegiatan kesiswaan, ujian sekolah, dan transpor bagi murid yang mengalami kesulitan biaya transpor ke sekolah. Reorientasi
Reorientasi dana BOS menjadi bagian tak terpisahkan dari program ini. Artinya, ke mana dan untuk apa dana BOS digunakan harus sesuai dengan asas manfaat dan kepentingan yang mendesak.
Ketika kepentingan yang mendesak di sekolah adalah membantu meringankan beban orangtua murid, dana BOS harus lebih diorientasikan pada pengurangan beban biaya yang dibayarkan setiap bulan melalui sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP).
Hal ini juga berlaku apabila sekolah kekurangan dalam penyediaan fasilitas, misalnya ketika sekolah kekurangan dalam penyediaan buku-buku perpustakaan. Buku adalah sumber ilmu. Ketika perpustakaan sekolah masih kosong dan belum banyak buku ajar, pihak sekolah wajib mengalokasikan dana BOS untuk menyediakan buku-buku sebagai bahan referensi peserta didik atau guru.
Reorientasi penggunaan dana BOS dapat dilakukan dengan jalan mengundang wali murid, dewan sekolah atau komite sekolah, guru, dan pihak-pihak berwenang. Mereka diajak untuk membahas dan menyatukan persepsi mengenai dana BOS. Hal ini dilakukan untuk mengurangi prasangka atau ketidakjelasan yang diakibatkan tidak transparannya penggunaan dana BOS. Pengawasan dana BOS
Setelah dilakukan penyatuan persepsi mengenai apa dan untuk apa dana BOS, langkah selanjutnya yang dilakukan pihak sekolah dan masyarakat pada umumnya adalah mengawasi jalannya penggunaan dana itu.
Pengawasan dana BOS menjadi agenda yang tak kalah penting. Artinya, pengasawan ini dilakukan dalam bingkai keterbukaan atau akuntabilitas publik. Selain itu, pengawasan dana BOS juga dilakukan guna menekan sedemikian rupa praktik korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini.
Pengawasan dana BOS dapat dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, komite atau dewan sekolah. Komite sekolah yang terdiri dari wakil pemerintah daerah, guru, tokoh masyarakat, dan wakil alumni mempunyai tanggung jawab dalam menjalankan fungsi kontrol. Komite sekolah dapat mengawasi jalannya penggunaan dana BOS dari dalam. Artinya, mereka dapat memantau segala kegiatan dan penggunaan dana BOS sebagai representasi sekolah itu sendiri.
Kedua, peran serta organisasi sosial keagamaan. Organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai tanggung jawab mengawasi penggunaan dana BOS. Muhammadiyah dan NU dapat melakukan pengawasan dengan menjalankan fungsi majelis pendidikan yang ada.
Sebagaimana kita ketahui, kedua organisasi ini mempunyai sistem atau amal usaha pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Dengan demikian, tentunya mereka mempunyai badan yang secara khusus mengurus pendidikan.
Badan ini mempunyai tugas mengawasi penggunaan dana BOS dari dalam diri mereka sendiri. Hal ini dikarenakan dana BOS tidak hanya diturunkan oleh pemerintah untuk sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta yang dikelola yayasan pendidikan atau organisasi sosial keagamaan. Fungsi kontrol dari dalam tentunya memiliki kekuatan tersendiri bagi terciptanya masyarakat yang bersih.
Ketiga, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM melalui lembaganya sendiri atau forum LSM mempunyai tugas untuk mencerdaskan masyarakat. LSM dapat berperan sebagai mitra kerja pemerintah dalam menginformasikan apa dan bagaimana seharusnya dana BOS digunakan.
Pada akhirnya, dana BOS sebagai program peningkatan kualitas pendidikan Indonesia sudah saatnya menjadi contoh yang baik untuk bangsa. Artinya, penggunaan dana BOS harus dapat mencerminkan setiap kebutuhan dan kepentingan yang mendesak untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Hal yang lebih utama adalah penggunaan dana BOS harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. BENNI SETIAWAN Pemerhati Pendidikan
Kompas, Rabu 13 Desember 2006.
Sehat Tanpa Rokok
Merokok bagi sebagian orang bagaikan makanan pokok. Rokok bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tanpa merokok, hidup serasa hampa dan tidak ada gairah bekerja. Ironisnya, rokok juga dinikmati anak usia sekolah. Bahkan, anak usia sekolah bangga dengan kepulan asap rokok yang konon menjadi identitas kejantanan.
Bahaya merokok pun tidak pernah terpikirkan olehnya. Ia hanya mengejar gengsi pergaulan hidup sesama teman. Tak jarang uang jajannya hanya habis untuk membeli rokok daripada untuk membeli buku-buku pelajaran dan bacaan. Fenomena semacam ini tak pelak membuat guru gusar. Peringatan hingga hukuman menjadi pemandangan setiap hari. Akan tetapi, mereka tidak jera dibuatnya. Fenomena merokok di kalangan pelajar ini mengindikasikan lemahnya moralitas pelajar sebagai tulang punggung bangsa Indonesia.
Mulai 1 Juli 2005, pemerintah mengumumkan keputusan untuk menaikkan cukai rokok 15-20 persen. Bahkan, tahun ini pemerintah akan menaikkan cukai rokok hingga 50 persen.
Kenaikan harga ini diharapkan mampu menekan jumlah pecandu rokok. Hal ini ditegaskan oleh Dr Khalilur Rahman, penanggung jawab pengendalian tembakau untuk WHO kawasan Selatan-Timur Asia (WHO-Searo). Beliau menyatakan, kenaikan harga rokok akan membuat mereka yang mulai mencoba merokok membatalkan niatnya, dan mereka yang sudah merokok akan berkurang atau berhenti karena tidak mampu membelinya lagi (Kompas, 31/05/2005).
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah semudah itu untuk mencegah dan membuat jera para perokok, apalagi perokok pemula. Terkait 30 penyakit
Persoalan rokok yang terkait dengan 30 jenis penyakit, antara lain hipertensi, gangguan jantung, stroke, gangguan pernapasan kronis, tuberkulosis, kanker, impotensi, keguguran, dan kelahiran prematur, tidak mudah diselesaikan.
Rokok bagaikan makanan pokok rakyat Indonesia. Maka, tak mudah mengubah makanan pokok tersebut. Ambil contoh, jika masyarakat Indonesia terbiasa mengonsumsi beras dan tiba-tiba diganti dengan roti atau gandum, seperti negara lain, hal itu bukan pekerjaan mudah.
Beberapa hal yang dapat dilakukan guna mencegahnya antara lain pertama, melarang suami merokok. Sebab, rokok sangat berbahaya bagi perkembangan janin dan ibu hamil. Larangan merokok ini merupakan bentuk penghormatan dan menghargai hak-hak orang lain, mulai dari lingkungan keluarga. Jika penghormatan terhadap lingkungan terkecil sudah menjadi kebiasaan, untuk menghormati lingkungan yang lebih besar akan lebih mudah.
Kedua, keteladanan kepada anak. Artinya, ketika larangan merokok menjadi peraturan keluarga, sang ayah juga tidak diperkenankan merokok di hadapan anak-anak. Jika ayah terpaksa harus merokok, langkah yang diambil adalah merokok ketika anak-anak tidak ada di rumah. Proses imitasi (meniru) dari figur ayah yang tidak merokok dapat merangsang anak untuk tidak merokok.
Ketiga, lingkungan masyarakat. Masyarakat adalah proses pembentukan karakter dan sifat anak. Apabila tatanan masyarakat baik, karakter dan sifat anak akan baik juga. Sebaliknya, jika tatanan masyarakat rusak, karakter dan sifat anak juga akan rusak.
Masyarakat sebagai keluarga kedua mempunyai peran cukup signifikan. Artinya, masyarakat seharusnya menjadi bahan rujukan bagi anak. Lingkungan yang mendukung untuk selalu mengingatkan bahaya rokok seharusnya menjadi agenda utama dalam proses pendidikan selanjutnya. Merokok adalah pekerjaan sia-sia serta merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitar (orang lain). Merokok akan merusak organ tubuh. Uang terbuang sia-sia. Alangkah lebih baik jika uang tersebut ditabung dan dibelanjakan barang yang lebih bermanfaat bagi hari esok.
Merokok juga membuat lingkungan kotor, baik dalam bentuk asap maupun debu rokok. Selain itu, merokok juga mengganggu ketertiban umum karena tidak menghormati hak-hak orang lain yang ingin menghirup udara bersih. Dengan demikian, merokok dapat dikaterogikan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Penanaman makna dan nilai penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain akan terbentuk dari lingkungan yang baik.
Keempat, penanaman nilai yang lebih akademis di lingkungan sekolah. Anak usia sekolah sudah saatnya dikenalkan dengan memberi arti lebih pada perilaku dan tata krama. Artinya, keragaman budaya masyarakat harus dimaknai secara lebih luas. Merokok adalah perbuatan tercela. Dengan merokok berarti kita telah membuang banyak uang untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Penanaman nilai
Merokok juga akan berakibat pada kecanduan yang lebih besar. Artinya, jika anak usia sekolah sudah berani merokok dengan hasil "korupsi" uang jajan dan uang sekolah, di tahun berikutnya mereka akan mencoba hal baru, sebagaimana ia mencoba rokok untuk pertama kali. Sebut saja, ia akan berani membeli barang-barang haram, seperti narkotika.
Penanaman nilai ini menjadi penting. Artinya, guru sebagai penanggung jawab di sekolah seharusnya mengajarkan etika yang baik terhadap peserta didik. Guru tidak boleh merokok di depan peserta didik, sebagaimana orangtua dan masyarakat memberi teladan.
Guru juga perlu memberi informasi secara ilmiah bahwa bahaya merokok telah merenggut 4,9 juta manusia pada 2000. Diperkirakan pada 2020 jumlah itu akan meningkat dua kali lipat. Kematian yang diakibatkan asap rokok paling banyak terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia.
Pencegahan dan cara hidup sehat sudah saatnya diajarkan sejak dini. Perubahan secara berkala dan sejak dini akan lebih terasa manfaatnya jika dibandingkan dengan perubahan secara instan.
Pencegahan yang dimulai dari generasi muda adalah cerminan keberhasilan dalam meneruskan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Jika bangsa Indonesia meninggalkan generasi muda pecandu rokok, bangsa ini juga akan dipimpin oleh seorang pemimpin yang sakit secara fisik ataupun mental. Kondisi demikian akan semakin mempermudah kaum neokolonialisme dan neoliberalisme menjajah bangsa Indonesia yang kaya ini.
Pada akhirnya, perhatian semua pihak tentunya sangat diperlukan guna menyelamatkan generasi muda di masa mendatang.
BENNI SETIAWAN Pemerhati Pendidikan
Kompas, Rabu, 16 Mei 2007.
Bahaya merokok pun tidak pernah terpikirkan olehnya. Ia hanya mengejar gengsi pergaulan hidup sesama teman. Tak jarang uang jajannya hanya habis untuk membeli rokok daripada untuk membeli buku-buku pelajaran dan bacaan. Fenomena semacam ini tak pelak membuat guru gusar. Peringatan hingga hukuman menjadi pemandangan setiap hari. Akan tetapi, mereka tidak jera dibuatnya. Fenomena merokok di kalangan pelajar ini mengindikasikan lemahnya moralitas pelajar sebagai tulang punggung bangsa Indonesia.
Mulai 1 Juli 2005, pemerintah mengumumkan keputusan untuk menaikkan cukai rokok 15-20 persen. Bahkan, tahun ini pemerintah akan menaikkan cukai rokok hingga 50 persen.
Kenaikan harga ini diharapkan mampu menekan jumlah pecandu rokok. Hal ini ditegaskan oleh Dr Khalilur Rahman, penanggung jawab pengendalian tembakau untuk WHO kawasan Selatan-Timur Asia (WHO-Searo). Beliau menyatakan, kenaikan harga rokok akan membuat mereka yang mulai mencoba merokok membatalkan niatnya, dan mereka yang sudah merokok akan berkurang atau berhenti karena tidak mampu membelinya lagi (Kompas, 31/05/2005).
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah semudah itu untuk mencegah dan membuat jera para perokok, apalagi perokok pemula. Terkait 30 penyakit
Persoalan rokok yang terkait dengan 30 jenis penyakit, antara lain hipertensi, gangguan jantung, stroke, gangguan pernapasan kronis, tuberkulosis, kanker, impotensi, keguguran, dan kelahiran prematur, tidak mudah diselesaikan.
Rokok bagaikan makanan pokok rakyat Indonesia. Maka, tak mudah mengubah makanan pokok tersebut. Ambil contoh, jika masyarakat Indonesia terbiasa mengonsumsi beras dan tiba-tiba diganti dengan roti atau gandum, seperti negara lain, hal itu bukan pekerjaan mudah.
Beberapa hal yang dapat dilakukan guna mencegahnya antara lain pertama, melarang suami merokok. Sebab, rokok sangat berbahaya bagi perkembangan janin dan ibu hamil. Larangan merokok ini merupakan bentuk penghormatan dan menghargai hak-hak orang lain, mulai dari lingkungan keluarga. Jika penghormatan terhadap lingkungan terkecil sudah menjadi kebiasaan, untuk menghormati lingkungan yang lebih besar akan lebih mudah.
Kedua, keteladanan kepada anak. Artinya, ketika larangan merokok menjadi peraturan keluarga, sang ayah juga tidak diperkenankan merokok di hadapan anak-anak. Jika ayah terpaksa harus merokok, langkah yang diambil adalah merokok ketika anak-anak tidak ada di rumah. Proses imitasi (meniru) dari figur ayah yang tidak merokok dapat merangsang anak untuk tidak merokok.
Ketiga, lingkungan masyarakat. Masyarakat adalah proses pembentukan karakter dan sifat anak. Apabila tatanan masyarakat baik, karakter dan sifat anak akan baik juga. Sebaliknya, jika tatanan masyarakat rusak, karakter dan sifat anak juga akan rusak.
Masyarakat sebagai keluarga kedua mempunyai peran cukup signifikan. Artinya, masyarakat seharusnya menjadi bahan rujukan bagi anak. Lingkungan yang mendukung untuk selalu mengingatkan bahaya rokok seharusnya menjadi agenda utama dalam proses pendidikan selanjutnya. Merokok adalah pekerjaan sia-sia serta merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitar (orang lain). Merokok akan merusak organ tubuh. Uang terbuang sia-sia. Alangkah lebih baik jika uang tersebut ditabung dan dibelanjakan barang yang lebih bermanfaat bagi hari esok.
Merokok juga membuat lingkungan kotor, baik dalam bentuk asap maupun debu rokok. Selain itu, merokok juga mengganggu ketertiban umum karena tidak menghormati hak-hak orang lain yang ingin menghirup udara bersih. Dengan demikian, merokok dapat dikaterogikan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Penanaman makna dan nilai penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain akan terbentuk dari lingkungan yang baik.
Keempat, penanaman nilai yang lebih akademis di lingkungan sekolah. Anak usia sekolah sudah saatnya dikenalkan dengan memberi arti lebih pada perilaku dan tata krama. Artinya, keragaman budaya masyarakat harus dimaknai secara lebih luas. Merokok adalah perbuatan tercela. Dengan merokok berarti kita telah membuang banyak uang untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Penanaman nilai
Merokok juga akan berakibat pada kecanduan yang lebih besar. Artinya, jika anak usia sekolah sudah berani merokok dengan hasil "korupsi" uang jajan dan uang sekolah, di tahun berikutnya mereka akan mencoba hal baru, sebagaimana ia mencoba rokok untuk pertama kali. Sebut saja, ia akan berani membeli barang-barang haram, seperti narkotika.
Penanaman nilai ini menjadi penting. Artinya, guru sebagai penanggung jawab di sekolah seharusnya mengajarkan etika yang baik terhadap peserta didik. Guru tidak boleh merokok di depan peserta didik, sebagaimana orangtua dan masyarakat memberi teladan.
Guru juga perlu memberi informasi secara ilmiah bahwa bahaya merokok telah merenggut 4,9 juta manusia pada 2000. Diperkirakan pada 2020 jumlah itu akan meningkat dua kali lipat. Kematian yang diakibatkan asap rokok paling banyak terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia.
Pencegahan dan cara hidup sehat sudah saatnya diajarkan sejak dini. Perubahan secara berkala dan sejak dini akan lebih terasa manfaatnya jika dibandingkan dengan perubahan secara instan.
Pencegahan yang dimulai dari generasi muda adalah cerminan keberhasilan dalam meneruskan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Jika bangsa Indonesia meninggalkan generasi muda pecandu rokok, bangsa ini juga akan dipimpin oleh seorang pemimpin yang sakit secara fisik ataupun mental. Kondisi demikian akan semakin mempermudah kaum neokolonialisme dan neoliberalisme menjajah bangsa Indonesia yang kaya ini.
Pada akhirnya, perhatian semua pihak tentunya sangat diperlukan guna menyelamatkan generasi muda di masa mendatang.
BENNI SETIAWAN Pemerhati Pendidikan
Kompas, Rabu, 16 Mei 2007.
Kurban
Rentetan peristiwa tahun 2006 tidak lepas dari bencana alam. Dimulai dari banjir meluluhlantakan Jember Jawa Timur dan Banjarnegera Jawa Tengah di awal tahun 2006. dan baru-baru ini banjir dan tanah longsor juga menelan korban jiwa di Madina. Selain korban jiwa, kerugian materiil tak terhitung lagi.
Pantas kalau negeri ini di sebut dengan negeri bencana. Hal ini dikarenakan bertubi-tubinya bencana alam dan penyakit menyerang bangsa Indonesia. Mulai dari Demam Berdarah (DB), kurang gizi dan kelaparan di Yahukimo beberapa waktu yang lalu. Hal ini juga, menandakan paradoksnya keadaan republik Indonesia.
Dalam tulisan ini tidak akan panjang lebar membahas hal tersebuit di atas. Tulisan ini akan mengurai persoalan di atas dengan semangat disyariatkannya kurban pada 10, 11,12, dan 13 Dzulhijjah.
Teladani Ibrahim
Semangat kurban ini pada dasarnya mengikuti apa yang telah diajarkan Ibrahim AS beberapa dekade tahun yang lalu. Ibrahim adalah seorang Hamba Tuhan yang sangat patuh terhadap segala perintahNya.
Di tengah keterpurukan moral Ibrahim berani menantang kaumnya yang menyembah berhala. Ia menggantungkan kapaknya di leher berhala yang berdiri menganggakang. Sedangkan berhal-berhala kecil yang ada disekelilingnya sengaja dihancurkan terlebih dahulu.
Perilaku Ibrahim ini tentunya membuat marah seluruh kaumnya. Ketika ditanya siapkah yang menghancurkan berhala-berhala tersebut, Ibrahim mengatakan dengan tenang bahwasanya yang mengahcurknnya adalah berhala yang paling besar dengan memakai kapak yang digantungkan di atas lehernya. Sontak, pengakuan ini dibantah oleh kaumnya. Tidak mungkin seorang berhala besar mampu menghancurkan berhal kecil di selilingnya. Ia adalah patung yang tidak dapat bergerak.
Ketika pengakuan ini keluar dari mulut kaumnya, Ibrahim kemudian melakukan dakwah suci agar mereka kembali menyembah Tuhan. Hal ini dikarenakan, berhala (patung) yang mereka sembah tidak mampu melindungi dirinya dari serangan orang lain.
Contoh kesetiaan Ibrahim terhadap Tuhannya juga ditunjukkan pada kisah, penyembelihan anaknya Ismail. Ismail adalah anak yang telah ia nantikan sekian ribu tahun. Ismail adalah buah doa dan keteguhan Ibrahim menjalankan syari'at Tuhan.
Ketika Ismail menganjak dewasa, dalam mimpi Ibrahim, ia diperintahkan oleh Tuhan untuk menyembelih anaknya. Ini adalah ujian yang kesekian kalinya untuk Ibrahim. Ketika, mimpinya dikonsultasikan kepada anaknya, sanga anak menjawa, kalau ini adalah syariat dari Tuhan saya rela untuk disembelih. Kisah penyembelihan Ismail inilah yang kemudian dijadikan rujukan disyariatkannya penyembelihan hewan kurban.
Apa yang dapat kita ambil dari kisah di atas? Umat manusia setidaknya meneladani apa yang telah dikerjakan Ibrahim. Ia adalah pribadi yang pantang menyerah dalam menghadapi ujian dari Tuhan. Ia selalu patuh dan taat terhadap apa yang diperintahakan Tuhan kepadanya. Ia juga rela untuk menyerahkan harta yang paling berharga (Ismail) dengan ikhlas guna memenuhi perintah Tuhan. Semangat keikhlasan Ibrahim untuk menyerahkan harta yang paling berharga demi memenuhi perintah Tuhan, setidaknya akan dapat menyelesaikan sedikit persoalan yang menumpuk pada bangsa ini.
Ambil contoh, bencana alam di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka kehilangan sanak saudara, mereka juga kehilangan harta benda. Mereka sekarang menjadi miskin yang sebenarnya. Artinya, secara psikologis ia miskin, karena kehilangan keluarga dan sanak saudara. Secara finansial, ia kehilangan harta benda yang telah diupayakan selama sekian puluh tahun.
Seseorang menjadi miskin yang diakibatkan oleh bencana alam inilah sebut dengan the new mustadhafin. Mereka inilah yang seharsunya mendapatkan perhatin lebih dari masyarakat luas. Kurban sebagaimana disyariatkan oleh Tuhan, pada hakekatnya adalah kesediaan untuk berbagi dengan harta bendanya yang paling berharga kepada orang lain. Kurban juga merupakan doktrin keagamaan yang harus kita ambil semangatnya. Menurut Prof. Whitehead, sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid (1987), menyatakan bahwa, agama itu, dari segi sifat doktrinalnya, dapatlah digambarkan sebagai suatu sistem mengubah budi pekerti, jika kebenaran-kebenaran umumnya ttersebut dipegang secara ikhlas secara sungguh-sungguh.
Kurban pada dasarnya adalah semangat untuk berdema kepada orang lain. Kedermaan dengan menyerahkan hartanya yang paling berhaga inilah yang akan menumbuhkan keluhuran budi. Kurban yang selama ini, berbentuk hewan pada dasarnya dapat diubah sesuai dengan kebutuhan. Bantuan yang dibutuhkan oleh saudara-saudara kita di Jember dan Banjarnegera, sekarang ini tidak berbentuk daging kambing ataupun sapi. Mereka sekarang membutuhkan bahan makanan yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan hidup. Bahan bangunan, untuk membangun rumah mereka yang roboh dan lain sebagainya. Maka, kurban kali ini dengan semangat menyerahkan harta yang paling berharga sebagaimana dicontohkan oleh Ibrahim, harus dapat diraskan oleh the new mustadhafin yang berada di berbagai wilayah Indonesia.
Hewan kurban seperti domba dan sapi, mungkin kurang dpat memberikan manfaat kepada korban bencana alam. Mereka lebih membutuhkan barang-barang yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan hidupnya. Di tengah cobaan bencana alam yang silih berganti di Indonesia, semoga semangat kurban dapat bermanfaat lebih kepada para korban bencana alam.
Bernni Setiawan* Anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
KPO/EDISI 119/JANUARI 2007
Pantas kalau negeri ini di sebut dengan negeri bencana. Hal ini dikarenakan bertubi-tubinya bencana alam dan penyakit menyerang bangsa Indonesia. Mulai dari Demam Berdarah (DB), kurang gizi dan kelaparan di Yahukimo beberapa waktu yang lalu. Hal ini juga, menandakan paradoksnya keadaan republik Indonesia.
Dalam tulisan ini tidak akan panjang lebar membahas hal tersebuit di atas. Tulisan ini akan mengurai persoalan di atas dengan semangat disyariatkannya kurban pada 10, 11,12, dan 13 Dzulhijjah.
Teladani Ibrahim
Semangat kurban ini pada dasarnya mengikuti apa yang telah diajarkan Ibrahim AS beberapa dekade tahun yang lalu. Ibrahim adalah seorang Hamba Tuhan yang sangat patuh terhadap segala perintahNya.
Di tengah keterpurukan moral Ibrahim berani menantang kaumnya yang menyembah berhala. Ia menggantungkan kapaknya di leher berhala yang berdiri menganggakang. Sedangkan berhal-berhala kecil yang ada disekelilingnya sengaja dihancurkan terlebih dahulu.
Perilaku Ibrahim ini tentunya membuat marah seluruh kaumnya. Ketika ditanya siapkah yang menghancurkan berhala-berhala tersebut, Ibrahim mengatakan dengan tenang bahwasanya yang mengahcurknnya adalah berhala yang paling besar dengan memakai kapak yang digantungkan di atas lehernya. Sontak, pengakuan ini dibantah oleh kaumnya. Tidak mungkin seorang berhala besar mampu menghancurkan berhal kecil di selilingnya. Ia adalah patung yang tidak dapat bergerak.
Ketika pengakuan ini keluar dari mulut kaumnya, Ibrahim kemudian melakukan dakwah suci agar mereka kembali menyembah Tuhan. Hal ini dikarenakan, berhala (patung) yang mereka sembah tidak mampu melindungi dirinya dari serangan orang lain.
Contoh kesetiaan Ibrahim terhadap Tuhannya juga ditunjukkan pada kisah, penyembelihan anaknya Ismail. Ismail adalah anak yang telah ia nantikan sekian ribu tahun. Ismail adalah buah doa dan keteguhan Ibrahim menjalankan syari'at Tuhan.
Ketika Ismail menganjak dewasa, dalam mimpi Ibrahim, ia diperintahkan oleh Tuhan untuk menyembelih anaknya. Ini adalah ujian yang kesekian kalinya untuk Ibrahim. Ketika, mimpinya dikonsultasikan kepada anaknya, sanga anak menjawa, kalau ini adalah syariat dari Tuhan saya rela untuk disembelih. Kisah penyembelihan Ismail inilah yang kemudian dijadikan rujukan disyariatkannya penyembelihan hewan kurban.
Apa yang dapat kita ambil dari kisah di atas? Umat manusia setidaknya meneladani apa yang telah dikerjakan Ibrahim. Ia adalah pribadi yang pantang menyerah dalam menghadapi ujian dari Tuhan. Ia selalu patuh dan taat terhadap apa yang diperintahakan Tuhan kepadanya. Ia juga rela untuk menyerahkan harta yang paling berharga (Ismail) dengan ikhlas guna memenuhi perintah Tuhan. Semangat keikhlasan Ibrahim untuk menyerahkan harta yang paling berharga demi memenuhi perintah Tuhan, setidaknya akan dapat menyelesaikan sedikit persoalan yang menumpuk pada bangsa ini.
Ambil contoh, bencana alam di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka kehilangan sanak saudara, mereka juga kehilangan harta benda. Mereka sekarang menjadi miskin yang sebenarnya. Artinya, secara psikologis ia miskin, karena kehilangan keluarga dan sanak saudara. Secara finansial, ia kehilangan harta benda yang telah diupayakan selama sekian puluh tahun.
Seseorang menjadi miskin yang diakibatkan oleh bencana alam inilah sebut dengan the new mustadhafin. Mereka inilah yang seharsunya mendapatkan perhatin lebih dari masyarakat luas. Kurban sebagaimana disyariatkan oleh Tuhan, pada hakekatnya adalah kesediaan untuk berbagi dengan harta bendanya yang paling berharga kepada orang lain. Kurban juga merupakan doktrin keagamaan yang harus kita ambil semangatnya. Menurut Prof. Whitehead, sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid (1987), menyatakan bahwa, agama itu, dari segi sifat doktrinalnya, dapatlah digambarkan sebagai suatu sistem mengubah budi pekerti, jika kebenaran-kebenaran umumnya ttersebut dipegang secara ikhlas secara sungguh-sungguh.
Kurban pada dasarnya adalah semangat untuk berdema kepada orang lain. Kedermaan dengan menyerahkan hartanya yang paling berhaga inilah yang akan menumbuhkan keluhuran budi. Kurban yang selama ini, berbentuk hewan pada dasarnya dapat diubah sesuai dengan kebutuhan. Bantuan yang dibutuhkan oleh saudara-saudara kita di Jember dan Banjarnegera, sekarang ini tidak berbentuk daging kambing ataupun sapi. Mereka sekarang membutuhkan bahan makanan yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan hidup. Bahan bangunan, untuk membangun rumah mereka yang roboh dan lain sebagainya. Maka, kurban kali ini dengan semangat menyerahkan harta yang paling berharga sebagaimana dicontohkan oleh Ibrahim, harus dapat diraskan oleh the new mustadhafin yang berada di berbagai wilayah Indonesia.
Hewan kurban seperti domba dan sapi, mungkin kurang dpat memberikan manfaat kepada korban bencana alam. Mereka lebih membutuhkan barang-barang yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan hidupnya. Di tengah cobaan bencana alam yang silih berganti di Indonesia, semoga semangat kurban dapat bermanfaat lebih kepada para korban bencana alam.
Bernni Setiawan* Anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
KPO/EDISI 119/JANUARI 2007
Bersama Memberantas Buta Aksara
Sungguh berita buruk ketika Jawa Tengah termasuk salah satu provinsi penyumbang buta aksara tertinggi di Indonesia setelah Jawa Timur.
Jumlah penduduk buta aksara di Jawa Tengah mencapai 598.014 orang. Jumlah ini tersebar di 10 kabupaten, yaitu Brebes, Tegal, Cilacap, Pati, Sragen, Wonogiri, Banjarnegara, Blora, Batang, dan Boyolali.
Persoalan buta aksara bukanlah hal yang baru. Bahkan, di negara- negara Amerika Latin tingkat buta aksara mencapai 40 persen dari jumlah penduduk. Ambil contoh di Bolivia, Meksiko, Venezuela, Haiti, Peru, Guatemala, dan lain-lain.
Penyebab utama persoalan ini adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan telah banyak merenggut hak manusia. Artinya, karena kemiskinan seseorang tidak dapat menikmati haknya sebagai warga negara. Mereka hanya dijadikan komoditas politik untuk dapat mengucurkan dana dari pemerintah dalam negeri maupun luar negeri. Tetapi, dana-dana itu tidak pernah sampai ke tangan mereka.
Kemiskinan pula yang menjadikan seseorang enggan menyekolahkan anaknya. Hal ini disebabkan sekolah ialah sesuatu yang mahal. Alih- alih untuk sekolah, buat makan saja susah.
Keadaan tersebut di atas diperparah oleh anggapan sebagian masyarakat bahwa pendidikan tidak ada gunanya. Pandangan itu berupa mengenyam pendidikan yang tinggi pun pada akhirnya hanya menjadi kuli bangunan, ibu rumah tangga, dan ngemong anak-anak. Kerja di dapur, sumur, dan kasur.
Pendidikan belum mampu menyentuh hal yang hakiki. Pendidikan hanya dimaknai dalam konteks kerja dan mendapat posisi apa setelah sekolah. Pendidikan sebagai proses pencerdasan dan kemandirian masih sangat awam bagi masyarakat.
Masyarakat masih banyak yang terjebak oleh polarisasi kaum kapitalis. Artinya, pendidikan menjadi mahal sehingga orang miskin tidak dapat menikmatinya. Pendidikan dipersepsikan sebagai bagian dari dunia kerja. Setelah meraih gelar A, B, C, dan D, seseorang akan mampu memperoleh kedudukan E, F, G, dan H.
Keadaan tersebut di atas sudah saatnya diakhiri. Mengembalikan hakikat pendidikan sebagai sebuah proses pencerdasan dan kemandirian adalah kunci utamanya. Selain itu mengubah paradigma pendidikan yang berwujud sekolah formal menjadi pendidikan di setiap saat dan tempat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan guna menanggulangi buta aksara di Jawa Tengah adalah, pertama, komitmen pemerintah daerah untuk memajukan sektor pendidikan, yaitu dengan menyisihkan dana atau APBD 20 persen untuk pendidikan.
Kembali ke desa
Kepala daerah juga harus memiliki visi memajukan pendidikan. Apalagi, beberapa daerah di Jateng saat ini tengah melangsungkan hajatan pilkada. Masyarakat harus disadarkan untuk memilih pemimpin yang mempunyai komitmen membangun daerah dengan pendidikan sebagai andalannya.
Kedua, menggalakkan gerakan gemar membaca. Gerakan gemar membaca dapat dimulai dengan mengaktifkan kembali perpustakaan desa dan koran masuk desa. Perpustakaan desa yang dikelola kelurahan adalah modal untuk merangsang minat baca masyarakat. Selain itu, adanya koran masuk desa akan sangat membantu masyarakat menerima informasi dan perkembangan zaman.
Adanya keinginan sejumlah orang termasuk pemilik koran lokal untuk memberikan informasi aktual ke desa-desa sudah saatnya direspons oleh masyarakat. Koran-koran itu sudah saatnya dikelola dengan baik. Misalnya dengan membuat wadah untuk koran di tempat-tempat strategis. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dalam menjangkau.
Koran-koran yang sudah dibaca pun dapat dimanfaatkan dengan cara mengkliping setiap peristiwa yang penting. Pemuda desa yang berpendidikan tingkat menengah tentunya dapat melakukan aktivitas ini. Setiap desa atau bahkan dusun memiliki arsip yang dapat dijadikan sumber rujukan.
Program gemar membaca ini juga dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga ialah guru utama setiap individu. Menyediakan perpustakaan keluarga dan tempat-tempat khusus untuk membaca mungkin dapat dilakukan oleh setiap keluarga.
Ketiga, peran serta alumnus perguruan tinggi atau peserta didik yang bersekolah di luar kota. Putra daerah harus kembali ke desanya untuk membangun tatanan masyarakat baru. Kecenderungan tidak kembalinya putra daerah setelah belajar atau menempuh pendidikan tinggi akan semakin menambah "kegersangan" ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan daerah kota yang sudah tinggi tingkat melek hurufnya semakin dipenuhi intelektual berilmu tinggi.
Keadaan ini juga akan menimbulkan banyak ketimpangan. Banyak sekali orang berilmu di kota menjadi penganggur. Sedangkan di desa tenaga mereka masih sangat dibutuhkan. Masyarakat berpendidikan ini adalah aset desa yang harus menjadi tulang punggung masyarakat di masa yang akan datang. Keempat, peran serta organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Ormas ini mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Muhammadiyah dan NU dapat bekerja sama dengan organisasi otonomnya seperti Aisiyah, Nasiatul Aisiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) , Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Fatayat NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan seterusnya.
Ormas ini dapat melakukan program kerjanya melalui pimpinan ranting dan pimpinan cabang. Kelompok-kelompok pengajian yang selama ini ada dapat dijadikan modal untuk pendidikan membaca dan menulis. Mereka mudah tergerakkan atau tersadarkan oleh ikatan emosional ormas. Pada akhirnya persoalan buta aksara adalah persoalan bersama yang wajib segera diselesaikan. Perhatian semua pihak mengenai kondisi ini adalah kunci utamanya, tanpa adanya dukungan dan kesadaran dari masyarakat, penyakit sosial ini akan semakin parah dan akan menelan banyak korban.
Benni Setiawan Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia, Tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah
Kompas, Selasa, 27 Februari 2007
Jumlah penduduk buta aksara di Jawa Tengah mencapai 598.014 orang. Jumlah ini tersebar di 10 kabupaten, yaitu Brebes, Tegal, Cilacap, Pati, Sragen, Wonogiri, Banjarnegara, Blora, Batang, dan Boyolali.
Persoalan buta aksara bukanlah hal yang baru. Bahkan, di negara- negara Amerika Latin tingkat buta aksara mencapai 40 persen dari jumlah penduduk. Ambil contoh di Bolivia, Meksiko, Venezuela, Haiti, Peru, Guatemala, dan lain-lain.
Penyebab utama persoalan ini adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan telah banyak merenggut hak manusia. Artinya, karena kemiskinan seseorang tidak dapat menikmati haknya sebagai warga negara. Mereka hanya dijadikan komoditas politik untuk dapat mengucurkan dana dari pemerintah dalam negeri maupun luar negeri. Tetapi, dana-dana itu tidak pernah sampai ke tangan mereka.
Kemiskinan pula yang menjadikan seseorang enggan menyekolahkan anaknya. Hal ini disebabkan sekolah ialah sesuatu yang mahal. Alih- alih untuk sekolah, buat makan saja susah.
Keadaan tersebut di atas diperparah oleh anggapan sebagian masyarakat bahwa pendidikan tidak ada gunanya. Pandangan itu berupa mengenyam pendidikan yang tinggi pun pada akhirnya hanya menjadi kuli bangunan, ibu rumah tangga, dan ngemong anak-anak. Kerja di dapur, sumur, dan kasur.
Pendidikan belum mampu menyentuh hal yang hakiki. Pendidikan hanya dimaknai dalam konteks kerja dan mendapat posisi apa setelah sekolah. Pendidikan sebagai proses pencerdasan dan kemandirian masih sangat awam bagi masyarakat.
Masyarakat masih banyak yang terjebak oleh polarisasi kaum kapitalis. Artinya, pendidikan menjadi mahal sehingga orang miskin tidak dapat menikmatinya. Pendidikan dipersepsikan sebagai bagian dari dunia kerja. Setelah meraih gelar A, B, C, dan D, seseorang akan mampu memperoleh kedudukan E, F, G, dan H.
Keadaan tersebut di atas sudah saatnya diakhiri. Mengembalikan hakikat pendidikan sebagai sebuah proses pencerdasan dan kemandirian adalah kunci utamanya. Selain itu mengubah paradigma pendidikan yang berwujud sekolah formal menjadi pendidikan di setiap saat dan tempat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan guna menanggulangi buta aksara di Jawa Tengah adalah, pertama, komitmen pemerintah daerah untuk memajukan sektor pendidikan, yaitu dengan menyisihkan dana atau APBD 20 persen untuk pendidikan.
Kembali ke desa
Kepala daerah juga harus memiliki visi memajukan pendidikan. Apalagi, beberapa daerah di Jateng saat ini tengah melangsungkan hajatan pilkada. Masyarakat harus disadarkan untuk memilih pemimpin yang mempunyai komitmen membangun daerah dengan pendidikan sebagai andalannya.
Kedua, menggalakkan gerakan gemar membaca. Gerakan gemar membaca dapat dimulai dengan mengaktifkan kembali perpustakaan desa dan koran masuk desa. Perpustakaan desa yang dikelola kelurahan adalah modal untuk merangsang minat baca masyarakat. Selain itu, adanya koran masuk desa akan sangat membantu masyarakat menerima informasi dan perkembangan zaman.
Adanya keinginan sejumlah orang termasuk pemilik koran lokal untuk memberikan informasi aktual ke desa-desa sudah saatnya direspons oleh masyarakat. Koran-koran itu sudah saatnya dikelola dengan baik. Misalnya dengan membuat wadah untuk koran di tempat-tempat strategis. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dalam menjangkau.
Koran-koran yang sudah dibaca pun dapat dimanfaatkan dengan cara mengkliping setiap peristiwa yang penting. Pemuda desa yang berpendidikan tingkat menengah tentunya dapat melakukan aktivitas ini. Setiap desa atau bahkan dusun memiliki arsip yang dapat dijadikan sumber rujukan.
Program gemar membaca ini juga dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga ialah guru utama setiap individu. Menyediakan perpustakaan keluarga dan tempat-tempat khusus untuk membaca mungkin dapat dilakukan oleh setiap keluarga.
Ketiga, peran serta alumnus perguruan tinggi atau peserta didik yang bersekolah di luar kota. Putra daerah harus kembali ke desanya untuk membangun tatanan masyarakat baru. Kecenderungan tidak kembalinya putra daerah setelah belajar atau menempuh pendidikan tinggi akan semakin menambah "kegersangan" ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan daerah kota yang sudah tinggi tingkat melek hurufnya semakin dipenuhi intelektual berilmu tinggi.
Keadaan ini juga akan menimbulkan banyak ketimpangan. Banyak sekali orang berilmu di kota menjadi penganggur. Sedangkan di desa tenaga mereka masih sangat dibutuhkan. Masyarakat berpendidikan ini adalah aset desa yang harus menjadi tulang punggung masyarakat di masa yang akan datang. Keempat, peran serta organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Ormas ini mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Muhammadiyah dan NU dapat bekerja sama dengan organisasi otonomnya seperti Aisiyah, Nasiatul Aisiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) , Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Fatayat NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan seterusnya.
Ormas ini dapat melakukan program kerjanya melalui pimpinan ranting dan pimpinan cabang. Kelompok-kelompok pengajian yang selama ini ada dapat dijadikan modal untuk pendidikan membaca dan menulis. Mereka mudah tergerakkan atau tersadarkan oleh ikatan emosional ormas. Pada akhirnya persoalan buta aksara adalah persoalan bersama yang wajib segera diselesaikan. Perhatian semua pihak mengenai kondisi ini adalah kunci utamanya, tanpa adanya dukungan dan kesadaran dari masyarakat, penyakit sosial ini akan semakin parah dan akan menelan banyak korban.
Benni Setiawan Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia, Tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah
Kompas, Selasa, 27 Februari 2007
Gerakan Gemar Membaca dan Menulis
Maraknya jasa pembuatan skripsi, tesis dan bahkan disertasi menambah deretan potret pendidikan yang buram di Indonesia. Pembuatan skripsi berkedok jasa konsultasi, beberapa waktu lalu pernah diungkap dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta nasional. Jasa pembuatan skripsi ini tak ubahnya seperti perjanjian jual-beli barang, yang memerlukan berbagai syarat.
Ironisnya, jasa pembuatan skripsi itu justru tumbuh subur di kota-kota yang konon dinyatakan sebagai kota pelajar, seperti, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, Bandung, dan sebagainya. Jasa ini lebih vulgar dalam menawarkan jasanya dengan menempel papan nama dan spanduk di pohon-pohon dan di tepi jalan. Bahkan di Yogyakarta, masalah ini sering dikeluhkan oleh warga sekitar, karena menganggu atau memperburuk citra kota pendidikan.
Jasa pembuatan skripsi ini lahir atas dasar permintaan. Dalam teori ekonomi, permintaan akan sebanding, seimbang atau berbanding lurus dengan penyediaan barang atau jasa. Tumbuh suburnya jasa pembuatan skripsi ini seakan menunjukkan lemahnya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.
Mahasiswa tidak lagi mempunyai kemandirian atau rasa percaya diri untuk membuat skripsi dari hasil jerih payahnya sendiri. Mereka tidak mau bersusah payah membaca dan menganalisis bahan atau data, karena banyaknya kemudahan yang diberikan oleh jasa pembuatan skripsi. Cukup dengan membayar satu hingga dua juta rupiah, skripsi telah jadi. Mahasiswa tinggal duduk manis atau bermain dan menikmati dunia gemerlap saat.
Maraknya jasa pembuatan skripsi adalah bukti nyata degradasi moral generasi bangsa. Artinya, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi doyan membaca dan menulis. Aktivitas membuat tugas akhir atau skripsi adalah menulis. Menulis harus didahului oleh aktivitas membaca. Tanpa membaca, seseorang akan kesulitan dalam merangkai kata-kata menjadi kata baru yang lebih bermakna. Hilangnya budaya menulis berkaitan erat dengan budaya membaca. Hal ini dikarenakan membaca dan menulis adalah aktivitas yang saling berkaitan erat.
Budaya Baca yang Rendah
Mahasiswa di zaman sekarang ini lebih banyak melakukan aktivitas yang kurang bermanfaat. Contohnya, hura-hura dan banyak menghabiskan waktu di mall dan klub-klub malam. Pikiran bahwa, mahasiswa adalah golongan elit bangsa dijadikan alasan untuk bersenang-senang di masa muda.
Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya budaya mengerjakan tugas kuliah. Jika, dalam sebuah mata kuliah ada tugas membuat makalah kelompok misalnya, kebanyakan mahasiswa saling melempar tugas. Kemudian mereka memberikan tugas kelompok ini kepada salah satu orang dalam kelompoknya, atau dengan pembagian tugas: A mencari buku dan bahan referensi; B mengerjakan bahan; C mengetik makalah; D memfoto copy; E menjadi moderator dalam presentasi makalah, dan seterusnya.
Dalam praktiknya mereka juga tidak menyediakan waktu untuk sekadar berdiskusi agar hasil makalahnya menjadi lebih baik. Mereka, sekali lagi, lebih banyak disibukkan oleh hal-hal yang kurang bermanfaat dan menyepelekan tugas-tugas kuliah tersebut.
Di samping itu, mahasiswa juga masih banyak yang binggung mengenai bagaimana membuat makalah yang baik. Hal ini diperparah oleh tenaga pengajar (dosen) yang acuh tak acuh. Dosen seringkali tidak memberikan pengarahan terlebih dahulu mengenai apa itu makalah, bagaimana cara membuatnya, apa fungsi footnote, bodynote, endnote dan seterusnya. Mahasiswa pun tidak punya banyak inisiatif untuk bertanya atau membaca buku mengenai hal tersebut.
Keadaaan yang demikian akan berpengaruh pada hasil akhir studi mahasiswa. Di awal studinya, mahasiswa sudah tidak paham tentang bagaimana membuat makalah, tidak banyak membaca buku, tidak banyak pergaulan dalam diskusi dan seterusnya. Pada akhir studi mereka mencari jalan pintas untuk menyelesaikan tugas akhirnya (skripsi) dengan mempergunakan jasa pembuatan skripsi.
Tidaklah aneh jika lulusan perguruan tinggi di Indonesia begitu memprihatinkan. Lulusan perguruan tinggi (S1) pada tahun 2005 sebanyak 385.418 menjadi pengangguran terbuka. Mungkin salah satu penyebabnya adalah hilangnya kemandirian mahasiswa untuk berkreativitas dengan banyak membaca dan menulis.
Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas, misalnya Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, dan Bandung sebagai penyandang predikat kota pendidikan memprakarsai adanya budaya gemar membaca dan menulis. Budaya membaca dan menulis dapat disosialisasikan mulai dari lingkungan keluarga. Di setiap keluarga ada sebuah ruangan khusus yang menyediakan buku-buku dan koran yang diletakkan di sebuah tempat khusus pula, sehingga memudahkan untuk diambil dan dibaca.
Mengenalkan sejak dini budaya membaca ini tentunya akan merangsang anak untuk selalu menyimak dan mengikuti perkembangan berita dan pemikiran. Dengan demikian, ketika ia sudah masuk ke jenjang yang lebih tinggi tidak gagap lagi dengan perkembangan tehnologi informasi.
Perpustakaan Sekolah
Selanjutnya adalah lingkungan sekolah yang kondusif. Artinya, setiap anggota masyarakat sekolah hendaknya mengedepankan aspek atau budaya membaca di lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggairahkan kembali perpustakaan sebagai tempat yang nyaman untuk belajar di waktu istirahat.
Kebanyakan perpustakaan yang ada di sekolah, seringkali hanya dijadikan ajang atau tempat menghukum bagi peserta didik yang terlambat dan melanggar peraturan sekolah lainnya. Peserta didik yang terlambat dimasukkan ke ruang perpustakaan untuk dihukum dan diberi nasehat oleh guru bimbingan konseling (BK).
Parahnya, di sekolah-sekolah yang belum terkondisi budaya membacanya seringkali ditemui buku-buku yang mulai menguning, dimakan rayap, rusak dan tidak teratur. Tidak adanya penjaga perpustakaan menambah semakin tidak nyamannya kondisi perpustakaan.
Perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku paket yang dibagikan setiap tahun kepada peserta didik. Bahkan pintu perpustakaan seringkali tertutup rapat dan dikunci karena tidak ada pengunjung.
Guru-guru di sekolah hendaknya mengajarkan dan merangsang peserta didik untuk belajar membaca dan menulis. Hal yang dapat dilakukan adalah, guru memberi tugas kepada peserta didik untuk membaca sebuah buku dan merangkumnya atau menilai buku tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dengan memberi tugas untuk mencari dan membaca buku-buku dan menuliskannya kembali akan dapat melatih peserta didik kreatif.
Hal ini terutama dapat dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia. Sebagaimana diketahui, guru Bahasa Indonesia seringkali mengajarkan peserta didiknya hal-hal yang sebenarnya sudah dipahami oleh peserta didiknya. Tidak aneh jika banyak kritik yang dilayangkan kepada guru Bahasa Indonesia, bahwa ia hanya mengajarkan bahasa yang sehari-hari sudah dipelajari dari orangtuanya. Guru bahasa Indonesia miskin strategi pembelajaran, sehingga, peserta didik semakin tidak paham dan jauh dari karya sastra bahasa Indonesia.
Murid-murid SD-SMA sekarang sudah tidak lagi mengenai siapa Sutan Takdir Ali Syahbana, Hamka dan karya-karyanya. Mereka lebih mengenal tokoh-tokoh kartun seperti Sinchan, Conan dan tokoh komik lainnya. Karya sastra pujangga Indonesia hanya menjadi sekadar soal ujian yang dihafal tanpa dipelajari dan diambil pelajarannya (petuah bijaknya).
Berikutnya pihak yang harus mulai melakukan gerakan gemar membaca dan menulis adalah masyarakat. Di beberapa wilayah kota dan pelosok desa banyak ditemui papan koran umum dan mading (majalah dinding). Dengan bekal ini masyarakat bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Membaca koran harian dan mencoba menuliskannya kembali, kemudian ditempel di mading akan menjadi nilai tersendiri.
Ketika gerakan membaca dan menulis sudah terkondisi sedemikian rupa, maka plagiator dan atau jasa pembuatan skripsi yang membodohkan mahasiswa itu dapat dicegah sejak dini. Gerakan membaca dan menulis juga akan mendorong terciptanya masyarakat yang kritis dan terdidik. Lebih dari itu, gerakan ini akan mendukung program pemerintah untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari buta aksara sebelum tahun 2010, sehingga dapat memenuhi target Millenium Development Goals (MDGs) sebelum 2015.l
Penulis adalah Pendidik di Universitas Muhammadiyah Jember.
Suara Muhammadiyah, No 2 15-31 Januari 2008.
Ironisnya, jasa pembuatan skripsi itu justru tumbuh subur di kota-kota yang konon dinyatakan sebagai kota pelajar, seperti, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, Bandung, dan sebagainya. Jasa ini lebih vulgar dalam menawarkan jasanya dengan menempel papan nama dan spanduk di pohon-pohon dan di tepi jalan. Bahkan di Yogyakarta, masalah ini sering dikeluhkan oleh warga sekitar, karena menganggu atau memperburuk citra kota pendidikan.
Jasa pembuatan skripsi ini lahir atas dasar permintaan. Dalam teori ekonomi, permintaan akan sebanding, seimbang atau berbanding lurus dengan penyediaan barang atau jasa. Tumbuh suburnya jasa pembuatan skripsi ini seakan menunjukkan lemahnya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.
Mahasiswa tidak lagi mempunyai kemandirian atau rasa percaya diri untuk membuat skripsi dari hasil jerih payahnya sendiri. Mereka tidak mau bersusah payah membaca dan menganalisis bahan atau data, karena banyaknya kemudahan yang diberikan oleh jasa pembuatan skripsi. Cukup dengan membayar satu hingga dua juta rupiah, skripsi telah jadi. Mahasiswa tinggal duduk manis atau bermain dan menikmati dunia gemerlap saat.
Maraknya jasa pembuatan skripsi adalah bukti nyata degradasi moral generasi bangsa. Artinya, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi doyan membaca dan menulis. Aktivitas membuat tugas akhir atau skripsi adalah menulis. Menulis harus didahului oleh aktivitas membaca. Tanpa membaca, seseorang akan kesulitan dalam merangkai kata-kata menjadi kata baru yang lebih bermakna. Hilangnya budaya menulis berkaitan erat dengan budaya membaca. Hal ini dikarenakan membaca dan menulis adalah aktivitas yang saling berkaitan erat.
Budaya Baca yang Rendah
Mahasiswa di zaman sekarang ini lebih banyak melakukan aktivitas yang kurang bermanfaat. Contohnya, hura-hura dan banyak menghabiskan waktu di mall dan klub-klub malam. Pikiran bahwa, mahasiswa adalah golongan elit bangsa dijadikan alasan untuk bersenang-senang di masa muda.
Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya budaya mengerjakan tugas kuliah. Jika, dalam sebuah mata kuliah ada tugas membuat makalah kelompok misalnya, kebanyakan mahasiswa saling melempar tugas. Kemudian mereka memberikan tugas kelompok ini kepada salah satu orang dalam kelompoknya, atau dengan pembagian tugas: A mencari buku dan bahan referensi; B mengerjakan bahan; C mengetik makalah; D memfoto copy; E menjadi moderator dalam presentasi makalah, dan seterusnya.
Dalam praktiknya mereka juga tidak menyediakan waktu untuk sekadar berdiskusi agar hasil makalahnya menjadi lebih baik. Mereka, sekali lagi, lebih banyak disibukkan oleh hal-hal yang kurang bermanfaat dan menyepelekan tugas-tugas kuliah tersebut.
Di samping itu, mahasiswa juga masih banyak yang binggung mengenai bagaimana membuat makalah yang baik. Hal ini diperparah oleh tenaga pengajar (dosen) yang acuh tak acuh. Dosen seringkali tidak memberikan pengarahan terlebih dahulu mengenai apa itu makalah, bagaimana cara membuatnya, apa fungsi footnote, bodynote, endnote dan seterusnya. Mahasiswa pun tidak punya banyak inisiatif untuk bertanya atau membaca buku mengenai hal tersebut.
Keadaaan yang demikian akan berpengaruh pada hasil akhir studi mahasiswa. Di awal studinya, mahasiswa sudah tidak paham tentang bagaimana membuat makalah, tidak banyak membaca buku, tidak banyak pergaulan dalam diskusi dan seterusnya. Pada akhir studi mereka mencari jalan pintas untuk menyelesaikan tugas akhirnya (skripsi) dengan mempergunakan jasa pembuatan skripsi.
Tidaklah aneh jika lulusan perguruan tinggi di Indonesia begitu memprihatinkan. Lulusan perguruan tinggi (S1) pada tahun 2005 sebanyak 385.418 menjadi pengangguran terbuka. Mungkin salah satu penyebabnya adalah hilangnya kemandirian mahasiswa untuk berkreativitas dengan banyak membaca dan menulis.
Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas, misalnya Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, dan Bandung sebagai penyandang predikat kota pendidikan memprakarsai adanya budaya gemar membaca dan menulis. Budaya membaca dan menulis dapat disosialisasikan mulai dari lingkungan keluarga. Di setiap keluarga ada sebuah ruangan khusus yang menyediakan buku-buku dan koran yang diletakkan di sebuah tempat khusus pula, sehingga memudahkan untuk diambil dan dibaca.
Mengenalkan sejak dini budaya membaca ini tentunya akan merangsang anak untuk selalu menyimak dan mengikuti perkembangan berita dan pemikiran. Dengan demikian, ketika ia sudah masuk ke jenjang yang lebih tinggi tidak gagap lagi dengan perkembangan tehnologi informasi.
Perpustakaan Sekolah
Selanjutnya adalah lingkungan sekolah yang kondusif. Artinya, setiap anggota masyarakat sekolah hendaknya mengedepankan aspek atau budaya membaca di lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggairahkan kembali perpustakaan sebagai tempat yang nyaman untuk belajar di waktu istirahat.
Kebanyakan perpustakaan yang ada di sekolah, seringkali hanya dijadikan ajang atau tempat menghukum bagi peserta didik yang terlambat dan melanggar peraturan sekolah lainnya. Peserta didik yang terlambat dimasukkan ke ruang perpustakaan untuk dihukum dan diberi nasehat oleh guru bimbingan konseling (BK).
Parahnya, di sekolah-sekolah yang belum terkondisi budaya membacanya seringkali ditemui buku-buku yang mulai menguning, dimakan rayap, rusak dan tidak teratur. Tidak adanya penjaga perpustakaan menambah semakin tidak nyamannya kondisi perpustakaan.
Perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku paket yang dibagikan setiap tahun kepada peserta didik. Bahkan pintu perpustakaan seringkali tertutup rapat dan dikunci karena tidak ada pengunjung.
Guru-guru di sekolah hendaknya mengajarkan dan merangsang peserta didik untuk belajar membaca dan menulis. Hal yang dapat dilakukan adalah, guru memberi tugas kepada peserta didik untuk membaca sebuah buku dan merangkumnya atau menilai buku tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dengan memberi tugas untuk mencari dan membaca buku-buku dan menuliskannya kembali akan dapat melatih peserta didik kreatif.
Hal ini terutama dapat dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia. Sebagaimana diketahui, guru Bahasa Indonesia seringkali mengajarkan peserta didiknya hal-hal yang sebenarnya sudah dipahami oleh peserta didiknya. Tidak aneh jika banyak kritik yang dilayangkan kepada guru Bahasa Indonesia, bahwa ia hanya mengajarkan bahasa yang sehari-hari sudah dipelajari dari orangtuanya. Guru bahasa Indonesia miskin strategi pembelajaran, sehingga, peserta didik semakin tidak paham dan jauh dari karya sastra bahasa Indonesia.
Murid-murid SD-SMA sekarang sudah tidak lagi mengenai siapa Sutan Takdir Ali Syahbana, Hamka dan karya-karyanya. Mereka lebih mengenal tokoh-tokoh kartun seperti Sinchan, Conan dan tokoh komik lainnya. Karya sastra pujangga Indonesia hanya menjadi sekadar soal ujian yang dihafal tanpa dipelajari dan diambil pelajarannya (petuah bijaknya).
Berikutnya pihak yang harus mulai melakukan gerakan gemar membaca dan menulis adalah masyarakat. Di beberapa wilayah kota dan pelosok desa banyak ditemui papan koran umum dan mading (majalah dinding). Dengan bekal ini masyarakat bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Membaca koran harian dan mencoba menuliskannya kembali, kemudian ditempel di mading akan menjadi nilai tersendiri.
Ketika gerakan membaca dan menulis sudah terkondisi sedemikian rupa, maka plagiator dan atau jasa pembuatan skripsi yang membodohkan mahasiswa itu dapat dicegah sejak dini. Gerakan membaca dan menulis juga akan mendorong terciptanya masyarakat yang kritis dan terdidik. Lebih dari itu, gerakan ini akan mendukung program pemerintah untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari buta aksara sebelum tahun 2010, sehingga dapat memenuhi target Millenium Development Goals (MDGs) sebelum 2015.l
Penulis adalah Pendidik di Universitas Muhammadiyah Jember.
Suara Muhammadiyah, No 2 15-31 Januari 2008.
Minggu, 20 Januari 2008
Mengungkap Sejarah Ho dalam Kebudayaan Nias
Buku:
Mengungkap Sejarah Ho dalam Kebudayaan Nias
(14/01/2008 - 18:44 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja):
Judul : Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis
Penulis : Victor Zebua
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : 1 Desember 2006
Tebal : x + 158 halaman
Menyebut nama Nias, kita akan selalu ingat dengan bencana gempa dan tsunami beberapa tahun yang lalu. Nias termasuk dalam daerah yang mengalami kerusakan cukup parah akibat bencana alam tersebut selain Aceh. Walaupun mengalami kerusakan yang cukup parah, Nias ternyata memiliki sejarah kebudayaan yang adi luhung. Hal ini dapat ditemukan melalui mite Ho dalam kebudayaan Nias.
Menurut warga Nias, Ho adalah Dewa Bumi yang diturunkan untuk mengurusi kehidupan bumi terutama bumi Nias. Namun, ada perbedaaan pandangan mengenai siapa sebenarnya Ho. Hal ini dikarenakan, banyaknya cerita yang ada di tengah masyarakat Nias.
Adalah Victor Zebua yang telah mampu mengungkap siapa sebenarnya Ho, dari mana asalnya, apakah dia benar dewa yang diutus untuk mengurusi bumi Nias sebagaimana anggapan masyarakat, atau dia hanya manusia biasa yang hidup di tengah masyarakat Nias. Berdasarkan penelitian dan referensi yang cukup kaya Victor berhasil menemukan kebenaran tersebut.
Kajian antropologis yang digunakan oleh Victor menjadikan buku ini mampu menemukan kejelasan dalam mengungkap kebenaran mite Nias. Victor juga memaparkan dengan lugas latar belakang Sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Menurut Faugoli yang dikutip penulis, ada tiga macam Sawuyu di zaman kuno. Pertama, Sondrara Hare yaitu orang yang terlilit utang pada rentenir (orang kaya atau raja). Seseorang bekerja pada rentenir dan gajinya dipotong untuk melunasi utang. Bila sudah lunas dibebaskan. Kedua, Holito, ialah orang yang dihukum mati menurut adat, namun jika ada yang membayar holi-holi (penebus jiwa), si terhukum akan dibebaskan. Status Sawuyu ini turun-temurun hingga ke anak cucu. Ketiga, Sawuyu tawanan perang yang menjadi budak raja. Status budak ini juga turun-temurun hingga ke anak cucu. Oleh Yoshiko Yamamoto, tiga macam Sawuyu tersebut dirumuskan dengan tiga kata kunci, yaitu utang, kriminal, dan tawanan.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki empat unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.
Sedangkan, Bronislaw Malinowski mengatakan ada empat unsur pokok yang meliputi: sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya; organisasi ekonomi; alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama); dan organisasi kekuatan (politik).
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Sawayu merupakan wujud kebudayaan berupa gagasan, aktivitas dan artefak. Sebagaimana pendapat J.J Hoenigman.
Buku karya Victor Zebua ini merupakan kritik terhadap penelitian Peter Suzuki dalam buku The Religious System and Culture of Nias, Indonesia (1959). Menurut Victor, penelitian Suzuki kurang dapat diterima dan mendasar dikarenakan ia tidak pernah datang ke Nias. Ia hanya "manut" apa yang dikatakan oleh promotornya P E de Jos Seling de Jong saja, tanpa melakukan kritik dan pemahaman secara mendalam.
Sebagai sebuah buku dengan gaya antropologi tentunya buku ini memiliki banyak kelebihan. Diantaranya, bahasa antropologis yang mudah dicerna dan dipahami oleh pembaca awam sekali pun. Buku ini juga semakin mengokohkan betapa Indonesia memiliki seribu satu sejarah budaya yang unik dan menarik untuk dikaji. Pengkajian ragam sejarah budaya nusantara akan dapat menghasilkan pemahaman dan kecintaan yang mendalam terhadap tanah air Indonesia.
Pada akhirnya, buku ini dapat dijadikan referensi dalam mengungkap sejarah kebudayaan Nias. Lebih lanjut, buku ini semakin menambah koleksi buku antropologi yang masih jarang di Indonesia.
*)Benni Setiawan, Pembaca sedikit buku.
Mengungkap Sejarah Ho dalam Kebudayaan Nias
(14/01/2008 - 18:44 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja):
Judul : Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis
Penulis : Victor Zebua
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : 1 Desember 2006
Tebal : x + 158 halaman
Menyebut nama Nias, kita akan selalu ingat dengan bencana gempa dan tsunami beberapa tahun yang lalu. Nias termasuk dalam daerah yang mengalami kerusakan cukup parah akibat bencana alam tersebut selain Aceh. Walaupun mengalami kerusakan yang cukup parah, Nias ternyata memiliki sejarah kebudayaan yang adi luhung. Hal ini dapat ditemukan melalui mite Ho dalam kebudayaan Nias.
Menurut warga Nias, Ho adalah Dewa Bumi yang diturunkan untuk mengurusi kehidupan bumi terutama bumi Nias. Namun, ada perbedaaan pandangan mengenai siapa sebenarnya Ho. Hal ini dikarenakan, banyaknya cerita yang ada di tengah masyarakat Nias.
Adalah Victor Zebua yang telah mampu mengungkap siapa sebenarnya Ho, dari mana asalnya, apakah dia benar dewa yang diutus untuk mengurusi bumi Nias sebagaimana anggapan masyarakat, atau dia hanya manusia biasa yang hidup di tengah masyarakat Nias. Berdasarkan penelitian dan referensi yang cukup kaya Victor berhasil menemukan kebenaran tersebut.
Kajian antropologis yang digunakan oleh Victor menjadikan buku ini mampu menemukan kejelasan dalam mengungkap kebenaran mite Nias. Victor juga memaparkan dengan lugas latar belakang Sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Menurut Faugoli yang dikutip penulis, ada tiga macam Sawuyu di zaman kuno. Pertama, Sondrara Hare yaitu orang yang terlilit utang pada rentenir (orang kaya atau raja). Seseorang bekerja pada rentenir dan gajinya dipotong untuk melunasi utang. Bila sudah lunas dibebaskan. Kedua, Holito, ialah orang yang dihukum mati menurut adat, namun jika ada yang membayar holi-holi (penebus jiwa), si terhukum akan dibebaskan. Status Sawuyu ini turun-temurun hingga ke anak cucu. Ketiga, Sawuyu tawanan perang yang menjadi budak raja. Status budak ini juga turun-temurun hingga ke anak cucu. Oleh Yoshiko Yamamoto, tiga macam Sawuyu tersebut dirumuskan dengan tiga kata kunci, yaitu utang, kriminal, dan tawanan.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki empat unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.
Sedangkan, Bronislaw Malinowski mengatakan ada empat unsur pokok yang meliputi: sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya; organisasi ekonomi; alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama); dan organisasi kekuatan (politik).
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Sawayu merupakan wujud kebudayaan berupa gagasan, aktivitas dan artefak. Sebagaimana pendapat J.J Hoenigman.
Buku karya Victor Zebua ini merupakan kritik terhadap penelitian Peter Suzuki dalam buku The Religious System and Culture of Nias, Indonesia (1959). Menurut Victor, penelitian Suzuki kurang dapat diterima dan mendasar dikarenakan ia tidak pernah datang ke Nias. Ia hanya "manut" apa yang dikatakan oleh promotornya P E de Jos Seling de Jong saja, tanpa melakukan kritik dan pemahaman secara mendalam.
Sebagai sebuah buku dengan gaya antropologi tentunya buku ini memiliki banyak kelebihan. Diantaranya, bahasa antropologis yang mudah dicerna dan dipahami oleh pembaca awam sekali pun. Buku ini juga semakin mengokohkan betapa Indonesia memiliki seribu satu sejarah budaya yang unik dan menarik untuk dikaji. Pengkajian ragam sejarah budaya nusantara akan dapat menghasilkan pemahaman dan kecintaan yang mendalam terhadap tanah air Indonesia.
Pada akhirnya, buku ini dapat dijadikan referensi dalam mengungkap sejarah kebudayaan Nias. Lebih lanjut, buku ini semakin menambah koleksi buku antropologi yang masih jarang di Indonesia.
*)Benni Setiawan, Pembaca sedikit buku.
Senin, 14 Januari 2008
Membaca Massa Depan PDI Perjuangan
Membaca Massa Depan PDI Perjuangan
Oleh Benni Setiawan*)
Seputar Indonesia, Jum'at 11 Januari 2007
Setelah berhasil dengan kritik ”tebar pesona” saat HUT Ke-34 partai demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P) beberapa tahun lalu, kembali Mbak Mega mengkritik gaya kepemimpinan SBY dengan “janji setinggi langit, pencapaian di kaki bukit”. Ungkapan lugas penuh makna saat rapat koordinasi nasional (Rakornas) PDI-P pada September 2007 lalu.
Kritikan Mantan Presiden RI ke-5 ini didasarkan pada asumsi bahwa APBN setiap tahun naik akan tetapi, angka kemiskinan dan pengangguran masih saja tinggi. Data kemiskinan menurut Tim Indonesia Bangkit pada tahun 2007 adalah 42,1 juta jiwa. Data ini berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh badan pusat statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin berkurang dari 39,30 juta pada tahun 2006 menjadi 37,17 juta pada tahun 2007. Artinya terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau satu persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun. Sedangkan angka pengangguran menurut BPS turun 384.000 orang, dari 10,93 juta orang pada Agustus 2006 menjadi 10,55 juta orang pada Februari 2007.
Sedangkan angka kemiskinan dan pengangguran pada tahun 2005 sebagai patokan kritik Ketua Umum PDI-P untuk SBY adalah sebanyak 35,1 juta jiwa dan penduduk hampir miskin 26,2 juta jiwa. Sedangkan jumlah pengangguran mencapai 10,8 juta orang. Sedangkan pengangguran setengah terbuka mencapai 29,6 juta orang. Jadi jumlah penganggur mencapai 40,4 juta orang.
Memang jika dilihat dari data tersebut tidak ada perubahan berarti dari tahun ke tahun selama pemerintahan SBY. SBY cenderung hanya mempertahankan citra positif daripada bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Rakyat hanya disuguhi data-data yang banyak timpang (tidak singkron) dengan keadaan dan penderitaan rakyat. Bahkan baru-baru ini kembali ditemukan perkampungan miskin dengan anak busung lapar di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini menjadi sederet bukti ketidakmampuan SBY mengembang amanah rakyat. Belum lagi penderitaan rakyat Indonesia akibat bencana alam yang tak kunjung berakhir.
Amanah rakyat yang telah diberikan kepada SBY pada pemilu 2004 belum mampu diemban dengan baik. Banyak pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan. Seperti, masalah kedaulatan negara yang telah dikebiri oleh Singapura, Malaysia dan Australia, persoalan banyaknya TKI yang disiksa oleh majikannya di Malaysia dan Arab Saudi, dan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang berbuntut pada ketidakmampuan memberi gizi kepada anak-anaknya dan busung lapar.
Sekadar menyegarkan ingatan SBY berjanji akan meningkatkan devisa negara dan mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran dari tahun ke tahun. SBY juga berjanji menjaga stabilitas harga-harga kebutuhan pokok, pada saat kampanye tahun 2004. Apa yang terjadi sekarang? Harga-harga kebutuhan pokok tidak terkendali, kelangkaan minyak tanah merata di seluruh wilayah Indonesia, kekeringan dan kelaparan sebagaimana terjadi di NTT, dan bencana alam silih berganti menerpa semesta alam Indonesia.
Janji-janji kesejahteraan sekarang tinggal kenangan yang pahit untuk dikenang. Rakyat semakin menderita akibat kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, konversi minyak tanah ke gas, dan kebijakan-kebijakan lain yang tidak pro-rakyat. Kebijakan yang selama ini ada hanya pro-pengusaha dan pihak asing sebagai penyokong pemerintahan SBY.
Maka tidak aneh jika, partai oposisi seperti PDI Perjuangan melancarkan kritikan keras mengenai hal ini. Pemerintah dinilai telah gagal mengemban amanah rakyat. Pemerintah hanya pandai membuat janji-janji dan miskin realisasi.
Kritikan ini sudah selayaknya dijadikan “cambuk” bagi pemerintah. SBY. Selaku Presiden SBY sudah saatnya banyak melakukan sesuatu yang benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat. SBY tidak boleh hanya diam dan tersenyum menghadapi kritikan dari Istri Taufik Kiemas ini. Sudah saatnya, kritikan ini dijadikan momentum untuk bangkit dari keterpurukan. Kritikan ini sudah saatnya dianggap sebagai kepedulian rakyat terhadap SBY.
Politik pencitraan
Melalui kritikan ini berarti rakyat masih peduli dengan pemerintahan yang sedang berlangsung. Kritikan jangan dianggap sebagai sensasi menuju 2009. Lebih dari itu, kritikan yang dilancarkan oleh PDI Perjuangan adalah pertanda pemerintahan kali belum serius mengurusi rakyat. Dan masih ada waktu sekitar 1,5 tahun untuk memperbaiki kinerja. Jika dalam waktu singkat ini SBY masih saja terbuai oleh “politik pencitraan” maka ia akan ditinggalkan oleh masyarakat dengan sendirinya. Dan jangan harap di tahun 2009, mendapat simpati dari rakyat.
Rakyat Indonesia sudah bosan dengan janj-janji. Sudah banyak janji yang telah diingkari pemerintah. Tahun 2008 dan 2009 adalah tahun pertaruhan bagi elit partai atau elit politik. Jika di tahun ini elit politik masih saja melakukan hobi janji manis dan tidak segera melakukan perubahan, berarti tahun ini adalah tahun “kematian karir politik” mereka. Jika pada tahun ini mereka mampu bekerja sungguh-sungguh dan memperhatikan pemihakannya kepada rakyat, ia akan mendapat simpati dan dukungan rakyat di tahun 2009. Pendek kata, tahun ini adalah pertaruhan nama baik bagi elit politik.
Lebih lanjut, ketika kritikan ini hanya dianggap angin lalu pada dasarnya akan menguntungkan pihak Megawati dan PDI Perjuangan. Hal ini dikarenakan, Mega dan PDI Perjuangan adalah barisan oposisi yang telah jauh-jauh hari menyatakan ingin menang pada pemilu 2009 dan memposisikan Megawati sebagai calon Presidennya.
Kritikan yang sulit disangkal oleh SBY ini adalah senjata untuk mematahkan kalau tidak mau disebut menyudahi karir politik SBY. Walaupun beberapa survei menunjukkan SBY masih di atas calon-calon presiden lain termasuk Mega.
Dengan posisi ini, PDI Perjuangan harus memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Jika dalam waktu 1,5 tahun ini PDI Perjuangan tidak merespon perubahan peta politik dengan baik, maka ia akan tetap menjadi partai opisisi di tahun pemerintahan 2009-2014. Hal ini dikarenakan, PDI Perjuangan kalah dalam pemilihan anggota legislative dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pemilu 2009 pada dasarnya akan menjadi batu ujian yang amat berat bagi Mega dan massa depan PDI Perjuangan. Hal ini dikarenakan, ketika Mega kalah pada pemilu 2009 tidak ada kesempatan lagi baginya untuk maju di pemilu 2014. Hal ini juga akan berakibat pada kekuatan PDI perjuangan di massa yang akan datang. PDI Perjuangan akan ditinggal oleh Mega. Ironisnya hingga kini PDI Perjuangan belum menyiapkan kader ideologis yang dapat mewarisi semangat keluarga Soekarno.
PDI Perjuangan mulai dari sekarang sudah saatnya menyiapkan kader terbaiknya sebagai calon pengganti Ibu Mega. Baik dari intern keluarga Soekarno maupun di luar klein Soekarno. Hal ini mengingat estafet kepemimpinan partai tidak akan selamanya dipegang oleh Mega. Suatu saat harus ada pengganti Mega yang mampu mempertahankan ideologi PDI Perjuangan dan basis massanya.
Maka dari itu, mulailah bekerja untuk kepentingan rakyat. Jangan bodohi rakyat. Rakyat adalah hakim adil yang akan mampu menghakimi tingkah laku pejabat dan elit politik.
*)Benni Setiawan, Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera.
Oleh Benni Setiawan*)
Seputar Indonesia, Jum'at 11 Januari 2007
Setelah berhasil dengan kritik ”tebar pesona” saat HUT Ke-34 partai demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P) beberapa tahun lalu, kembali Mbak Mega mengkritik gaya kepemimpinan SBY dengan “janji setinggi langit, pencapaian di kaki bukit”. Ungkapan lugas penuh makna saat rapat koordinasi nasional (Rakornas) PDI-P pada September 2007 lalu.
Kritikan Mantan Presiden RI ke-5 ini didasarkan pada asumsi bahwa APBN setiap tahun naik akan tetapi, angka kemiskinan dan pengangguran masih saja tinggi. Data kemiskinan menurut Tim Indonesia Bangkit pada tahun 2007 adalah 42,1 juta jiwa. Data ini berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh badan pusat statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin berkurang dari 39,30 juta pada tahun 2006 menjadi 37,17 juta pada tahun 2007. Artinya terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau satu persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun. Sedangkan angka pengangguran menurut BPS turun 384.000 orang, dari 10,93 juta orang pada Agustus 2006 menjadi 10,55 juta orang pada Februari 2007.
Sedangkan angka kemiskinan dan pengangguran pada tahun 2005 sebagai patokan kritik Ketua Umum PDI-P untuk SBY adalah sebanyak 35,1 juta jiwa dan penduduk hampir miskin 26,2 juta jiwa. Sedangkan jumlah pengangguran mencapai 10,8 juta orang. Sedangkan pengangguran setengah terbuka mencapai 29,6 juta orang. Jadi jumlah penganggur mencapai 40,4 juta orang.
Memang jika dilihat dari data tersebut tidak ada perubahan berarti dari tahun ke tahun selama pemerintahan SBY. SBY cenderung hanya mempertahankan citra positif daripada bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Rakyat hanya disuguhi data-data yang banyak timpang (tidak singkron) dengan keadaan dan penderitaan rakyat. Bahkan baru-baru ini kembali ditemukan perkampungan miskin dengan anak busung lapar di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini menjadi sederet bukti ketidakmampuan SBY mengembang amanah rakyat. Belum lagi penderitaan rakyat Indonesia akibat bencana alam yang tak kunjung berakhir.
Amanah rakyat yang telah diberikan kepada SBY pada pemilu 2004 belum mampu diemban dengan baik. Banyak pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan. Seperti, masalah kedaulatan negara yang telah dikebiri oleh Singapura, Malaysia dan Australia, persoalan banyaknya TKI yang disiksa oleh majikannya di Malaysia dan Arab Saudi, dan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang berbuntut pada ketidakmampuan memberi gizi kepada anak-anaknya dan busung lapar.
Sekadar menyegarkan ingatan SBY berjanji akan meningkatkan devisa negara dan mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran dari tahun ke tahun. SBY juga berjanji menjaga stabilitas harga-harga kebutuhan pokok, pada saat kampanye tahun 2004. Apa yang terjadi sekarang? Harga-harga kebutuhan pokok tidak terkendali, kelangkaan minyak tanah merata di seluruh wilayah Indonesia, kekeringan dan kelaparan sebagaimana terjadi di NTT, dan bencana alam silih berganti menerpa semesta alam Indonesia.
Janji-janji kesejahteraan sekarang tinggal kenangan yang pahit untuk dikenang. Rakyat semakin menderita akibat kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, konversi minyak tanah ke gas, dan kebijakan-kebijakan lain yang tidak pro-rakyat. Kebijakan yang selama ini ada hanya pro-pengusaha dan pihak asing sebagai penyokong pemerintahan SBY.
Maka tidak aneh jika, partai oposisi seperti PDI Perjuangan melancarkan kritikan keras mengenai hal ini. Pemerintah dinilai telah gagal mengemban amanah rakyat. Pemerintah hanya pandai membuat janji-janji dan miskin realisasi.
Kritikan ini sudah selayaknya dijadikan “cambuk” bagi pemerintah. SBY. Selaku Presiden SBY sudah saatnya banyak melakukan sesuatu yang benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat. SBY tidak boleh hanya diam dan tersenyum menghadapi kritikan dari Istri Taufik Kiemas ini. Sudah saatnya, kritikan ini dijadikan momentum untuk bangkit dari keterpurukan. Kritikan ini sudah saatnya dianggap sebagai kepedulian rakyat terhadap SBY.
Politik pencitraan
Melalui kritikan ini berarti rakyat masih peduli dengan pemerintahan yang sedang berlangsung. Kritikan jangan dianggap sebagai sensasi menuju 2009. Lebih dari itu, kritikan yang dilancarkan oleh PDI Perjuangan adalah pertanda pemerintahan kali belum serius mengurusi rakyat. Dan masih ada waktu sekitar 1,5 tahun untuk memperbaiki kinerja. Jika dalam waktu singkat ini SBY masih saja terbuai oleh “politik pencitraan” maka ia akan ditinggalkan oleh masyarakat dengan sendirinya. Dan jangan harap di tahun 2009, mendapat simpati dari rakyat.
Rakyat Indonesia sudah bosan dengan janj-janji. Sudah banyak janji yang telah diingkari pemerintah. Tahun 2008 dan 2009 adalah tahun pertaruhan bagi elit partai atau elit politik. Jika di tahun ini elit politik masih saja melakukan hobi janji manis dan tidak segera melakukan perubahan, berarti tahun ini adalah tahun “kematian karir politik” mereka. Jika pada tahun ini mereka mampu bekerja sungguh-sungguh dan memperhatikan pemihakannya kepada rakyat, ia akan mendapat simpati dan dukungan rakyat di tahun 2009. Pendek kata, tahun ini adalah pertaruhan nama baik bagi elit politik.
Lebih lanjut, ketika kritikan ini hanya dianggap angin lalu pada dasarnya akan menguntungkan pihak Megawati dan PDI Perjuangan. Hal ini dikarenakan, Mega dan PDI Perjuangan adalah barisan oposisi yang telah jauh-jauh hari menyatakan ingin menang pada pemilu 2009 dan memposisikan Megawati sebagai calon Presidennya.
Kritikan yang sulit disangkal oleh SBY ini adalah senjata untuk mematahkan kalau tidak mau disebut menyudahi karir politik SBY. Walaupun beberapa survei menunjukkan SBY masih di atas calon-calon presiden lain termasuk Mega.
Dengan posisi ini, PDI Perjuangan harus memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Jika dalam waktu 1,5 tahun ini PDI Perjuangan tidak merespon perubahan peta politik dengan baik, maka ia akan tetap menjadi partai opisisi di tahun pemerintahan 2009-2014. Hal ini dikarenakan, PDI Perjuangan kalah dalam pemilihan anggota legislative dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pemilu 2009 pada dasarnya akan menjadi batu ujian yang amat berat bagi Mega dan massa depan PDI Perjuangan. Hal ini dikarenakan, ketika Mega kalah pada pemilu 2009 tidak ada kesempatan lagi baginya untuk maju di pemilu 2014. Hal ini juga akan berakibat pada kekuatan PDI perjuangan di massa yang akan datang. PDI Perjuangan akan ditinggal oleh Mega. Ironisnya hingga kini PDI Perjuangan belum menyiapkan kader ideologis yang dapat mewarisi semangat keluarga Soekarno.
PDI Perjuangan mulai dari sekarang sudah saatnya menyiapkan kader terbaiknya sebagai calon pengganti Ibu Mega. Baik dari intern keluarga Soekarno maupun di luar klein Soekarno. Hal ini mengingat estafet kepemimpinan partai tidak akan selamanya dipegang oleh Mega. Suatu saat harus ada pengganti Mega yang mampu mempertahankan ideologi PDI Perjuangan dan basis massanya.
Maka dari itu, mulailah bekerja untuk kepentingan rakyat. Jangan bodohi rakyat. Rakyat adalah hakim adil yang akan mampu menghakimi tingkah laku pejabat dan elit politik.
*)Benni Setiawan, Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera.
Kamis, 10 Januari 2008
Banjir, Bukti Kepongahan Pemerintah
Banjir, Bukti Kepongahan Pemerintah
Koran Internet, Selasa, 08 Januari 08
Masih segar dalam ingatan kita betapa banjir bandang telah melumpuhkan Jakarta pada Februari 2007. Ratusan korban jiwa meninggal dunia. Kerugian dunia usaha saat itu mencapai Rp. 22 triliun. Baru-baru ini ibu kota Jakarta kembali terendam banjir. Banjir kali ini bukan hanya kiriman dari daerah Bogor (Jawa Barat) juga banjir akibat pasang air laut.
Tidak hanya di Jakarta, banjir juga meluluhlantakkan Solo Raya (Solo, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, Karanganyar, Boyolali), Kudus (Jawa Tengah) dan beberapa wilayah di Jawa Timur seperti Ngawi, Madiun, Lamongan hingga Gresik. Banjir di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur ini akibat meluapnya air aliran sungai Bengawan Solo.
Sepertinya banjir telah menjadi ritual akhir tahunan di republik ini. Sebelumnya banjir dan tanah longsor juga menerpa semesta alam Jember (Jawa Timur) dan Banjarnegara (Jawa Tengah) pada tahun 2006.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banjir dan tanah longsor mendominasi bencana tahun 2006-2007, khususnya di pulau Jawa. Bencana itu terjadi di lebih dari 2.850 desa pada 61 kabupaten/kota. Jumlah bencana itu meningkat jika dibandingkan dengan periode tahun 2000-2003, yakni pada 1.288 desa.
Ironisnya, pemerintah sepertinya tidak ambil pusing dengan persoalan ini. Hal ini tampak dari tidak adanya solusi dan lambannya evakuasi korban banjir. Malahan, sepertinya, pemerintah membiarkan bencana alam ini terjadi dari Sabang hingga Merauke. Dengan berbagai bencana yang silih berganti pemerintah akan mendapatkan kucuran dana hibah dari negara donor dan luar negeri sehingga pundi-pundi keuangan negara bertambah dan dapat dikorupsi.
Terlepas dari itu semua mengapa banjir di Indonesia terus terjadi? Apa yang salah di negeri ini?
Ketika banjir menerjang Solo Raya, penulis sempat bertemu dengan seseorang yang menyatakan bahwa adanya banjir di Solo menjadi pertanda akan adanya kekisruhan dan gonjang-ganjing di republik ini. Sejak penulis terdiam, dengan akal sehat penulis mencoba merasionalkan apa yang dikatakan seseorang tadi. Dan ternyata benar, banjir ini menandakan adanya ketidakberesan dalam sistem pemerintahan di republik ini.
Betapa tidak, pemerintah sekarang lebih disibukkan oleh urusan 2009 dari pada memikirkan kesejahteraan rakyat. Pejabat di badan legislatif ribut soal tunjangan pengganti rumah dinas yang sedang direnovasi, pejabat di lembaga yudikatif bermain mata dengan cukong kayu dan menginginkan kenaikan gaji hingga 100 persen, pejabat di daerah berebut dana pemekaran wilayah, saling klaim kemenangan dan kekuasaan atas pilkada dan seterusnya.
Ironisnya, pemimpin bangsa yang dipercaya untuk mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim (COP-13/UNFCCC) di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu dengan sengaja menghambur-hamburkan uang rakyat. Konferensi yang diharapkan dapat mencari titik temu dan solusi mengenai dampak perubahan iklim malah digunakan sebagai ajang liburan dan pesta di tengah penderitaan rakyat.
Betapa tidak. Uang rakyat sebesar Rp. 2,2 miliar hanya digunakan untuk membayar penginapan. Rombongan inti istana kepresidenan yang berjumlah 80 orang menyewa lima private estate dan 39 vila.
Biaya menginap masing-masing private estate dengan tiga tempat tidur yang dikelilingi taman dan kolam itu sesuai dengan tariff dalam brosur resort adalah 2.600 dollar Amerika Serikat per malam. Biaya vila dengan satu tempat tidur dan pemandangan laut lepas 700 dollar AS per malam.
Dengan perhitungan itu, biaya per hari seluruh anggota rombongan kepresidenan adalah 13.000 dollar AS (2.600 X 5) ditambah 27.300 dollar AS (700 X 39), atau 40.300 dollar AS. Dengan kurs Rp. 9.200 per dollar AS, biaya menginap per hari rombongan adalah Rp. 370.760.000.
Dengan hitungan menginap lima hari, biaya yang harus dikeluarkan untuk penginapan sebesar Rp. 1.853.800.000. dengan kepatuhan membayar pajak 21 persen, total biaya penginapan lima hari di Four Seasons Resort mencapai Rp. 2.243.098.000 (Rp. 2,2 miliar). Sungguh angka yang cukup fantastis untuk membayar biaya tidur saja.
Padahal di luar sana banyak rakyat yang mati akibat sistem pemerintah yang tidak memihak. Rakyat kelaparan, kekeringan, banjir dan tanah longsor, tidur di bawah kolong jembatan, telah menjadi biasa. Pejabat pemerintahan yang konon dipilih oleh rakyat hura-hura dan memanjakan diri dengan menginap di tempat mewah.
Kembali pada renungan yang disampaikan oleh seseorang yang saya temui di Solo beberapa waktu lalu. Keadaan ini menjadi pertanda gonjang-ganjing dalam sistem pemerintahan, tidak seimbangnya makrokosmos bumi, yang memerintah semakin menikmati berbagai fasilitas dan kemewahan, yang diperintah semakin terjepi oleh keadaan yang tidak menguntungkan.
Kepongahan pemerintah
Kepongahan kalau tidak mau disebut keserakahan pejabat pemerintah inilah yang menyebabkan seribu satu bencana silih berganti di negeri ini. Kepongahan pemerintah dalam menggunakan fasilitas negera tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan. Konferensi Tingkat Tinggi tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini terbukti dengan semakin seringnya intensitas bencana di Indonesia. Bagaimana mau memperjuangkan kelestarian lingkungan jika apa yang ada dibenak dan otak pejabat kita adalah uang dan fasilitas yang nyaman.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah benar pemerintahan saat ini telah berhasil menegakkan hukum dan pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih, adanya peningkatan kualitas pendidikan, kemiskinan dan pengangguran semakin menurun? Sebagaimana yang mencuat dalam laporan akhir tahun partai pendukung pemerintah.
Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menilai kinerja mereka. Dan sebagai bagian dari rakyat, penulis menghimbau jangan pilih mereka lagi. Sudah banyak dosa yang mereka perbuat atas kehidupan makrokosmos bumi Indonesia!
*)Benni Setiawan, peneliti sosial
Koran Internet, Selasa, 08 Januari 08
Masih segar dalam ingatan kita betapa banjir bandang telah melumpuhkan Jakarta pada Februari 2007. Ratusan korban jiwa meninggal dunia. Kerugian dunia usaha saat itu mencapai Rp. 22 triliun. Baru-baru ini ibu kota Jakarta kembali terendam banjir. Banjir kali ini bukan hanya kiriman dari daerah Bogor (Jawa Barat) juga banjir akibat pasang air laut.
Tidak hanya di Jakarta, banjir juga meluluhlantakkan Solo Raya (Solo, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, Karanganyar, Boyolali), Kudus (Jawa Tengah) dan beberapa wilayah di Jawa Timur seperti Ngawi, Madiun, Lamongan hingga Gresik. Banjir di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur ini akibat meluapnya air aliran sungai Bengawan Solo.
Sepertinya banjir telah menjadi ritual akhir tahunan di republik ini. Sebelumnya banjir dan tanah longsor juga menerpa semesta alam Jember (Jawa Timur) dan Banjarnegara (Jawa Tengah) pada tahun 2006.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banjir dan tanah longsor mendominasi bencana tahun 2006-2007, khususnya di pulau Jawa. Bencana itu terjadi di lebih dari 2.850 desa pada 61 kabupaten/kota. Jumlah bencana itu meningkat jika dibandingkan dengan periode tahun 2000-2003, yakni pada 1.288 desa.
Ironisnya, pemerintah sepertinya tidak ambil pusing dengan persoalan ini. Hal ini tampak dari tidak adanya solusi dan lambannya evakuasi korban banjir. Malahan, sepertinya, pemerintah membiarkan bencana alam ini terjadi dari Sabang hingga Merauke. Dengan berbagai bencana yang silih berganti pemerintah akan mendapatkan kucuran dana hibah dari negara donor dan luar negeri sehingga pundi-pundi keuangan negara bertambah dan dapat dikorupsi.
Terlepas dari itu semua mengapa banjir di Indonesia terus terjadi? Apa yang salah di negeri ini?
Ketika banjir menerjang Solo Raya, penulis sempat bertemu dengan seseorang yang menyatakan bahwa adanya banjir di Solo menjadi pertanda akan adanya kekisruhan dan gonjang-ganjing di republik ini. Sejak penulis terdiam, dengan akal sehat penulis mencoba merasionalkan apa yang dikatakan seseorang tadi. Dan ternyata benar, banjir ini menandakan adanya ketidakberesan dalam sistem pemerintahan di republik ini.
Betapa tidak, pemerintah sekarang lebih disibukkan oleh urusan 2009 dari pada memikirkan kesejahteraan rakyat. Pejabat di badan legislatif ribut soal tunjangan pengganti rumah dinas yang sedang direnovasi, pejabat di lembaga yudikatif bermain mata dengan cukong kayu dan menginginkan kenaikan gaji hingga 100 persen, pejabat di daerah berebut dana pemekaran wilayah, saling klaim kemenangan dan kekuasaan atas pilkada dan seterusnya.
Ironisnya, pemimpin bangsa yang dipercaya untuk mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim (COP-13/UNFCCC) di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu dengan sengaja menghambur-hamburkan uang rakyat. Konferensi yang diharapkan dapat mencari titik temu dan solusi mengenai dampak perubahan iklim malah digunakan sebagai ajang liburan dan pesta di tengah penderitaan rakyat.
Betapa tidak. Uang rakyat sebesar Rp. 2,2 miliar hanya digunakan untuk membayar penginapan. Rombongan inti istana kepresidenan yang berjumlah 80 orang menyewa lima private estate dan 39 vila.
Biaya menginap masing-masing private estate dengan tiga tempat tidur yang dikelilingi taman dan kolam itu sesuai dengan tariff dalam brosur resort adalah 2.600 dollar Amerika Serikat per malam. Biaya vila dengan satu tempat tidur dan pemandangan laut lepas 700 dollar AS per malam.
Dengan perhitungan itu, biaya per hari seluruh anggota rombongan kepresidenan adalah 13.000 dollar AS (2.600 X 5) ditambah 27.300 dollar AS (700 X 39), atau 40.300 dollar AS. Dengan kurs Rp. 9.200 per dollar AS, biaya menginap per hari rombongan adalah Rp. 370.760.000.
Dengan hitungan menginap lima hari, biaya yang harus dikeluarkan untuk penginapan sebesar Rp. 1.853.800.000. dengan kepatuhan membayar pajak 21 persen, total biaya penginapan lima hari di Four Seasons Resort mencapai Rp. 2.243.098.000 (Rp. 2,2 miliar). Sungguh angka yang cukup fantastis untuk membayar biaya tidur saja.
Padahal di luar sana banyak rakyat yang mati akibat sistem pemerintah yang tidak memihak. Rakyat kelaparan, kekeringan, banjir dan tanah longsor, tidur di bawah kolong jembatan, telah menjadi biasa. Pejabat pemerintahan yang konon dipilih oleh rakyat hura-hura dan memanjakan diri dengan menginap di tempat mewah.
Kembali pada renungan yang disampaikan oleh seseorang yang saya temui di Solo beberapa waktu lalu. Keadaan ini menjadi pertanda gonjang-ganjing dalam sistem pemerintahan, tidak seimbangnya makrokosmos bumi, yang memerintah semakin menikmati berbagai fasilitas dan kemewahan, yang diperintah semakin terjepi oleh keadaan yang tidak menguntungkan.
Kepongahan pemerintah
Kepongahan kalau tidak mau disebut keserakahan pejabat pemerintah inilah yang menyebabkan seribu satu bencana silih berganti di negeri ini. Kepongahan pemerintah dalam menggunakan fasilitas negera tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan. Konferensi Tingkat Tinggi tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini terbukti dengan semakin seringnya intensitas bencana di Indonesia. Bagaimana mau memperjuangkan kelestarian lingkungan jika apa yang ada dibenak dan otak pejabat kita adalah uang dan fasilitas yang nyaman.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah benar pemerintahan saat ini telah berhasil menegakkan hukum dan pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih, adanya peningkatan kualitas pendidikan, kemiskinan dan pengangguran semakin menurun? Sebagaimana yang mencuat dalam laporan akhir tahun partai pendukung pemerintah.
Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menilai kinerja mereka. Dan sebagai bagian dari rakyat, penulis menghimbau jangan pilih mereka lagi. Sudah banyak dosa yang mereka perbuat atas kehidupan makrokosmos bumi Indonesia!
*)Benni Setiawan, peneliti sosial
Menjadi Selibater yang Seksual
Menjadi Selibater yang Seksual
Benni Setiawan *) (08/01/2008 - 10:11 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja): Judul buku : Seksualitas Kaum Berjubah
Penulis : Paul Suparno, S.J.
Tebal buku : 167.
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Terbit : Cetakan I, 2007.
Seksualitas adalah bagian dari hidup kita sebagai manusia. Seksualitas menyangkut bagaimana kita menerima diri kita sebagai perempuan atau laki-laki, bagaimana kita berfikir tentang api hidup dalam diri kita yang menggerakkan kita untuk berelasi dengan orang lain, bagaimana kita berkomunikasi dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan, bagaimana kita membangun keakraban dengan orang lain. Pendek kata, seksualitas adalah menyangkut diri kita secara penuh.
Bagaimana dengan kaum selibat (hidup tanpa menikah) bergulat dengan seksualitas? Buku yang ditulis oleh Mantan Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Paul Suparno ini mengupas secara mendalam mengenai hal tersebut.
Seksualitas dalam buku ini diartikan sebagai seluruh keberadaaan diri kita sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Maka, menyangkut penampilan tubuh kita, bagaimana kita merasa aman dan bangga terhadap diri kita, penerimaan diri secara utuh; bagaimana kita berfikir tentang diri kita, orang lain, dan juga Tuhan; bagaimana kita berelasi dan membangun relasi yang mendalam dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan.
Seksulitas menyangkut penerimaan diri kita seperti adanya sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Dengan demikian, seksualitas bukan hanya seks atau soal kelamin, tetapi seluruh keberadaan kita sebagai pribadi manusia (hlm. 18).
Jika seksualitas hanya dimaknai sebagai seks dan soal kelamin maka hal ini akan dianggap sebagai gangguan dalam hidup membiara, bahkan menjadi godaan utama.
Dengan demikian, pandangan bahwa seksualitas hanya berhubungan dengan kelamin adalah keliru dan tidak tepat. Lebih lanjut, pengertian yang mendalam mengenai seksualitas akan berhubungan erat dengan spiritualitas.
Spiritualitas adalah hubungan kita dengan Tuhan yang mempengaruhi seluruh aspek hidup kita, termasuk seksualitas. Timmerman menjelaskan spiritualitas sebagai pemberian roh. McBrien menyatakan spiritualitas sebagai “berkaitan dengan gaya hidup seseorang yang dengan suatu cara mengalami Tuhan dan hidupnya diubah oleh pengalamannya itu”.
Dia mengatakan bahwa tidak ada spiritualitas kristiani autentik dapat dibangun pada pengertian dualistik. Kita adalah manusia utuh yang berjiwa dan berbadan. Meminjam ungkapan Driyarkara, kita ini sungguh badan yang menjiwa, dan jiwa yang membadan. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian, kalau kita sudah ingin mengembangkan hidup kita sebagai seorang kristiani yang penuh, kita harus menghayati dengan seluruh kemanusiaan kita, yang berspiritualitas dan berseksual. Itulah dua semangat dalam kesatuan diri kita (hlm. 44).
Inti utama seksualitas manusia adalah bahwa kita membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, kita selalu ingin membangun relasi mendalam dengan orang lain, alam dan Tuhan sendiri. Relasi inilah yang perlu dikembangkan dalam hidup sebagai biarawan-biarawati. Maka, pengembangan intimacy yang sehat penting, justru untuk membantu kita berkembang seimbang dalam seksualitas.
Intimacy menyangkut relasi yang dalam antara dua pribadi, yang berjalan dalam waktu panjang, dan memungkinkan mereka berubah karena relasi itu. Ada kedekatan pribadi, ada keterbukaan untuk berubah (hlm. 52).
Cara untuk membangun intimacy yang sehat dalam hidup membiara antara lain; pertama, menumbuhkan keinginan untuk dipengaruhi oleh orang lain. Jika kita tidak mau dipengaruhi orang lain, kita tidak akan dapat membangun intimacy.
Kedua, menerima realitas dan perasaaan dalam tubuh kita. Kita perlu menerima dengan gembira kenyataan diri kita, baik perasaan yang kita alami maupun keadaan tubuh kita.
Ketiga, kembangkan asketis yang sehat. Askese akan membantu orang semakin mengenal secara mendalam dirinya, dan menghindari dari keinginan yang tidak teratur. Dalam keadaan seperti itu, membangun intimacy yang sehat lebih mudah karena orang sungguh bebas dari dalam batinya.
Keempat, hadapi loneliness atau kesepian. Salah satu akibat dari kegagalan intimacy adalah orang dapat mengalami kesepian. Kesepian itu perlu dihadapi.
Kelima, jangan represi, jangan menekan atau menolak keinginan untuk membangun intimacy yang sehat.
Keenam, ambil risiko dalam perjuangan intimacy. Risiko selalu ada, dan kalau kita ingin maju, itu perlu dihadapi (hlm. 60).
Dengan memahami realitas diri dan lingkungan yang baik, seseorang akan dapat menjadi kaum selibat yang baik.
Buku yang ditulis dengan tata bahasa yang menawan dan dilengkapi dengan hasil temuan (data) yang cukup menjadikan buku ini layak dibaca oleh siapapun.
Pada akhirnya dengan hadirnya buku ini semoga kita semakin sadar akan tantangan hidup membiara di zaman ini, yang semakin besar. Semoga kita semakin gembira, bahagian karena menjadi seorang selibater yang seksual.
*) Pembaca sedikit buku.
Benni Setiawan *) (08/01/2008 - 10:11 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja): Judul buku : Seksualitas Kaum Berjubah
Penulis : Paul Suparno, S.J.
Tebal buku : 167.
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Terbit : Cetakan I, 2007.
Seksualitas adalah bagian dari hidup kita sebagai manusia. Seksualitas menyangkut bagaimana kita menerima diri kita sebagai perempuan atau laki-laki, bagaimana kita berfikir tentang api hidup dalam diri kita yang menggerakkan kita untuk berelasi dengan orang lain, bagaimana kita berkomunikasi dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan, bagaimana kita membangun keakraban dengan orang lain. Pendek kata, seksualitas adalah menyangkut diri kita secara penuh.
Bagaimana dengan kaum selibat (hidup tanpa menikah) bergulat dengan seksualitas? Buku yang ditulis oleh Mantan Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Paul Suparno ini mengupas secara mendalam mengenai hal tersebut.
Seksualitas dalam buku ini diartikan sebagai seluruh keberadaaan diri kita sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Maka, menyangkut penampilan tubuh kita, bagaimana kita merasa aman dan bangga terhadap diri kita, penerimaan diri secara utuh; bagaimana kita berfikir tentang diri kita, orang lain, dan juga Tuhan; bagaimana kita berelasi dan membangun relasi yang mendalam dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan.
Seksulitas menyangkut penerimaan diri kita seperti adanya sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Dengan demikian, seksualitas bukan hanya seks atau soal kelamin, tetapi seluruh keberadaan kita sebagai pribadi manusia (hlm. 18).
Jika seksualitas hanya dimaknai sebagai seks dan soal kelamin maka hal ini akan dianggap sebagai gangguan dalam hidup membiara, bahkan menjadi godaan utama.
Dengan demikian, pandangan bahwa seksualitas hanya berhubungan dengan kelamin adalah keliru dan tidak tepat. Lebih lanjut, pengertian yang mendalam mengenai seksualitas akan berhubungan erat dengan spiritualitas.
Spiritualitas adalah hubungan kita dengan Tuhan yang mempengaruhi seluruh aspek hidup kita, termasuk seksualitas. Timmerman menjelaskan spiritualitas sebagai pemberian roh. McBrien menyatakan spiritualitas sebagai “berkaitan dengan gaya hidup seseorang yang dengan suatu cara mengalami Tuhan dan hidupnya diubah oleh pengalamannya itu”.
Dia mengatakan bahwa tidak ada spiritualitas kristiani autentik dapat dibangun pada pengertian dualistik. Kita adalah manusia utuh yang berjiwa dan berbadan. Meminjam ungkapan Driyarkara, kita ini sungguh badan yang menjiwa, dan jiwa yang membadan. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian, kalau kita sudah ingin mengembangkan hidup kita sebagai seorang kristiani yang penuh, kita harus menghayati dengan seluruh kemanusiaan kita, yang berspiritualitas dan berseksual. Itulah dua semangat dalam kesatuan diri kita (hlm. 44).
Inti utama seksualitas manusia adalah bahwa kita membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, kita selalu ingin membangun relasi mendalam dengan orang lain, alam dan Tuhan sendiri. Relasi inilah yang perlu dikembangkan dalam hidup sebagai biarawan-biarawati. Maka, pengembangan intimacy yang sehat penting, justru untuk membantu kita berkembang seimbang dalam seksualitas.
Intimacy menyangkut relasi yang dalam antara dua pribadi, yang berjalan dalam waktu panjang, dan memungkinkan mereka berubah karena relasi itu. Ada kedekatan pribadi, ada keterbukaan untuk berubah (hlm. 52).
Cara untuk membangun intimacy yang sehat dalam hidup membiara antara lain; pertama, menumbuhkan keinginan untuk dipengaruhi oleh orang lain. Jika kita tidak mau dipengaruhi orang lain, kita tidak akan dapat membangun intimacy.
Kedua, menerima realitas dan perasaaan dalam tubuh kita. Kita perlu menerima dengan gembira kenyataan diri kita, baik perasaan yang kita alami maupun keadaan tubuh kita.
Ketiga, kembangkan asketis yang sehat. Askese akan membantu orang semakin mengenal secara mendalam dirinya, dan menghindari dari keinginan yang tidak teratur. Dalam keadaan seperti itu, membangun intimacy yang sehat lebih mudah karena orang sungguh bebas dari dalam batinya.
Keempat, hadapi loneliness atau kesepian. Salah satu akibat dari kegagalan intimacy adalah orang dapat mengalami kesepian. Kesepian itu perlu dihadapi.
Kelima, jangan represi, jangan menekan atau menolak keinginan untuk membangun intimacy yang sehat.
Keenam, ambil risiko dalam perjuangan intimacy. Risiko selalu ada, dan kalau kita ingin maju, itu perlu dihadapi (hlm. 60).
Dengan memahami realitas diri dan lingkungan yang baik, seseorang akan dapat menjadi kaum selibat yang baik.
Buku yang ditulis dengan tata bahasa yang menawan dan dilengkapi dengan hasil temuan (data) yang cukup menjadikan buku ini layak dibaca oleh siapapun.
Pada akhirnya dengan hadirnya buku ini semoga kita semakin sadar akan tantangan hidup membiara di zaman ini, yang semakin besar. Semoga kita semakin gembira, bahagian karena menjadi seorang selibater yang seksual.
*) Pembaca sedikit buku.
Sabtu, 05 Januari 2008
Dicari Parlemen Propendidikan
Dicari Parlemen Propendidikan
oleh Benni Setiawan Harian Joglosemar, pada 04-01-2008
Refleksi Harian Joglosemar beberapa waktu lalu dengan judul Kembalikan Buat Rakyat mengisyaratkan bahwa anggota parlemen Indonesia mementingkan “aku” ketimbang “kita”. Hal ini tampak pada pemberian tunjangan rumah dinas bagi anggota DPR. Tunjangan ini diberikan sebagai pengganti karena rumah dinas mereka direnovasi.
Sebelumnya DPR juga berencana merenovasi gedung DPR di Senayan. Alasannya, gedung wakil rakyat ini perlu diperbaiki karena usianya yang sudah tua dan banyak cat yang mulai mengelupas. Gedung DPR juga perlu dilengkapi dengan sarana yang lebih baik, seperti sarana WC yang lebih bersih dan asri. Anggaran yang diajukan dalam program ini sebesar 40 miliar. Sebuah angka yang cukup besar.
Ironisnya, banyak sekolah di Indonesia hampir roboh yang dapat mencelakai keselamatan peserta didik dibiarkan begitu saja. Bahkan dibiarkan untuk segera roboh.
Sekolah sebagai sarana pokok kegiatan belajar mengajar (pendidikan) sepertinya tidak mendapat tempat di hati anggota dewan. Mereka lebih memedulikan keindahan dan kenyamanan kantornya di Senayan. Mereka belum puas dengan berbagai fasilitas kantor yang tidak dimiliki oleh kantor-kantor lain.
Penangguhan renovasi sekolah ini tidak segera direspon dengan baik oleh pemerintah terpilih. Banyak sekolah yang sudah tua mulai roboh. Bahkan, seorang siswi sebuah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Sragen Jawa Tengah tewas akibat atap sekolahnya roboh.
Menurut data dari departemen pendidikan nasional (Depdiknas), sebanyak 50 persen bangunan sekolah SD dan MI seluruh indonesia rusak parah. Sedangkan 18 persen lebih bangunan SMP dan MTs juga mengalami nasib yang sama. Pemerintah pusat pun hanya menyediakan dana tidak lebih dari 16 miliar. Sisanya ditanggung oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sedangkan menurut data Dinas Pendidikan Jawa Tengah menunjukkan jumlah gedung sekolah yang rusak akibat gempa mencapai 665 buah, terdiri dari yang hancur sebanyak 81 sekolah, 345 rusak berat, dan 239 rusak ringan.
Belum hilang dari ingatan jumlah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Klaten yang rusak akibat gempa mencapai 841 sekolahan, sementara yang baru dibangun berjumlah 627, sisanya sebanyak 214 sekolah masih rusak dan hingga kini belum dibangun.
Timpang
Sungguh timpang melihat kondisi bangsa ini. Gedung sekolah sebagai jantung kegiatan belajar mengajar yang sudah roboh dibiarkan roboh. Sedangkan gedung DPR di Senayan yang masih bagus dan megah akan segera direnovasi dengan dana 40 miliar. Apalagi uang yang seharusnya untuk membangun sekolah digunakan untuk tunjagan rumah dinas anggota DPR. Padahal mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui gedung sekolah lebih penting daripada sekadar memanjakan anggota dewan dengan berbagai fasilitas yang sudah lebih dari cukup.
Keadaan ini semakin menegaskan bahwa pemerintahan saat ini tidak berpihak kepada rakyat. Rakyat dibiarkan banting tulang dan memeras keringat untuk bertahan hidup dan mendapatkan pendidikan layak. Sedangkan DPR sebagai wakil rakyat bergelimangan fasilitas dan kemewahan.
Rakyat Indonesia dibiarkan bodoh dengan kondisi sebodoh-bodohnya. Yaitu dengan bodoh tanpa harus sekolah, karena gedung sekolah yang ada di desanya sudah roboh sekian tahun yang lalu. Lebih lanjut, di desa-desa sudah banyak guru yang tidak lagi mau mengajar. Ia sudah tidak tahan lagi hidup di bawah garis kemiskinan. Guru-guru terpaksa kembali menggarap sepetak tanah hasil warisan orangtua. Gaji guru tidak cukup untuk sekadar membuat dapur mengepul.
Ironisnya, dana bantuan yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun gedung baru dan membayar gaji guru dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Dana-dana tersebut tidak pernah cair dan sampai kepada pihak sekolah. Kalaupun ada, dana tersebut sudah tinggal 60 atau bahkan 50 persen dari anggaran asli.
Tidak ada satu pun anggota DPR yang terhormat membantu meringankan beban penderitaan rakyat. Mereka malah mengajukan anggaran kepada pemerintah melalui APBN untuk merenovasi gedung DPR yang sudah megah dan membangun rumah dinasnya. Mereka merasa malu jika ada kunjungan anggota DPR dari negara lain. Akan tetapi, mereka tidak merasa malu jika anak bangsa Indonesia bodoh karena tidak adanya sarana kegiatan belajar mengajar.
Selamat datang kebodohan
Sepertinya, pemerintah sengaja membuat bangsa ini bodoh terus menerus. Dengan kebodohan rakyat Indonesia, pemerintah dapat berkuasa lebih lama lagi. Bertahan dalam waktu lama dalam pemerintahan akan menguntungkan dan menambah pundi-pundi uang yang mengalir deras setiap hari. Lebih dari itu, dengan bodohnya masyarakat, pemerintah akan mudah untuk membuat program kerja fiktif yang dapat mengkayakan dirinya dan golongannya.
Mana buktinya jika pemerintah melakukan hal yang demikian? Selain anggaran renovasi gedung DPR sebesar 40 miliar dan tunjangan rumah dinas, anggota DPR (parlemen) menyetujui anggaran pendidikan pada tahun 2008. Ironinsnya, anggaran pendidikan tahun 2008 lebih kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007.
Disebutkan anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2008 ditetapkan Rp 48,3 triliun, atau 5,7 persen dari total belanja pemerintah yang sebesar Rp 836 triliun.
Ironis memang ditengah masih banyaknya masyarakat buta aksara di Indonesia (mencapai 14,59 juta orang), pemerintah kita mengurangi anggaran pendidikan dan berlomba-lomba mempercantik gedung DPR di Senayan dan rumah dinas ”wakil rakyat yang terhormat”.
Pada akhirnya, yang ada di negeri ini adalah ketimpangan antara yang miskin dan kaya. Pemerintah berlomba mempercantik diri, sedangkan rakyat terseok dengan kondisi sekolah yang roboh.
Penulis adalah penulis buku
Manifesto Pendidikan Indonesia, tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah
oleh Benni Setiawan Harian Joglosemar, pada 04-01-2008
Refleksi Harian Joglosemar beberapa waktu lalu dengan judul Kembalikan Buat Rakyat mengisyaratkan bahwa anggota parlemen Indonesia mementingkan “aku” ketimbang “kita”. Hal ini tampak pada pemberian tunjangan rumah dinas bagi anggota DPR. Tunjangan ini diberikan sebagai pengganti karena rumah dinas mereka direnovasi.
Sebelumnya DPR juga berencana merenovasi gedung DPR di Senayan. Alasannya, gedung wakil rakyat ini perlu diperbaiki karena usianya yang sudah tua dan banyak cat yang mulai mengelupas. Gedung DPR juga perlu dilengkapi dengan sarana yang lebih baik, seperti sarana WC yang lebih bersih dan asri. Anggaran yang diajukan dalam program ini sebesar 40 miliar. Sebuah angka yang cukup besar.
Ironisnya, banyak sekolah di Indonesia hampir roboh yang dapat mencelakai keselamatan peserta didik dibiarkan begitu saja. Bahkan dibiarkan untuk segera roboh.
Sekolah sebagai sarana pokok kegiatan belajar mengajar (pendidikan) sepertinya tidak mendapat tempat di hati anggota dewan. Mereka lebih memedulikan keindahan dan kenyamanan kantornya di Senayan. Mereka belum puas dengan berbagai fasilitas kantor yang tidak dimiliki oleh kantor-kantor lain.
Penangguhan renovasi sekolah ini tidak segera direspon dengan baik oleh pemerintah terpilih. Banyak sekolah yang sudah tua mulai roboh. Bahkan, seorang siswi sebuah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Sragen Jawa Tengah tewas akibat atap sekolahnya roboh.
Menurut data dari departemen pendidikan nasional (Depdiknas), sebanyak 50 persen bangunan sekolah SD dan MI seluruh indonesia rusak parah. Sedangkan 18 persen lebih bangunan SMP dan MTs juga mengalami nasib yang sama. Pemerintah pusat pun hanya menyediakan dana tidak lebih dari 16 miliar. Sisanya ditanggung oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sedangkan menurut data Dinas Pendidikan Jawa Tengah menunjukkan jumlah gedung sekolah yang rusak akibat gempa mencapai 665 buah, terdiri dari yang hancur sebanyak 81 sekolah, 345 rusak berat, dan 239 rusak ringan.
Belum hilang dari ingatan jumlah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Klaten yang rusak akibat gempa mencapai 841 sekolahan, sementara yang baru dibangun berjumlah 627, sisanya sebanyak 214 sekolah masih rusak dan hingga kini belum dibangun.
Timpang
Sungguh timpang melihat kondisi bangsa ini. Gedung sekolah sebagai jantung kegiatan belajar mengajar yang sudah roboh dibiarkan roboh. Sedangkan gedung DPR di Senayan yang masih bagus dan megah akan segera direnovasi dengan dana 40 miliar. Apalagi uang yang seharusnya untuk membangun sekolah digunakan untuk tunjagan rumah dinas anggota DPR. Padahal mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui gedung sekolah lebih penting daripada sekadar memanjakan anggota dewan dengan berbagai fasilitas yang sudah lebih dari cukup.
Keadaan ini semakin menegaskan bahwa pemerintahan saat ini tidak berpihak kepada rakyat. Rakyat dibiarkan banting tulang dan memeras keringat untuk bertahan hidup dan mendapatkan pendidikan layak. Sedangkan DPR sebagai wakil rakyat bergelimangan fasilitas dan kemewahan.
Rakyat Indonesia dibiarkan bodoh dengan kondisi sebodoh-bodohnya. Yaitu dengan bodoh tanpa harus sekolah, karena gedung sekolah yang ada di desanya sudah roboh sekian tahun yang lalu. Lebih lanjut, di desa-desa sudah banyak guru yang tidak lagi mau mengajar. Ia sudah tidak tahan lagi hidup di bawah garis kemiskinan. Guru-guru terpaksa kembali menggarap sepetak tanah hasil warisan orangtua. Gaji guru tidak cukup untuk sekadar membuat dapur mengepul.
Ironisnya, dana bantuan yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun gedung baru dan membayar gaji guru dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Dana-dana tersebut tidak pernah cair dan sampai kepada pihak sekolah. Kalaupun ada, dana tersebut sudah tinggal 60 atau bahkan 50 persen dari anggaran asli.
Tidak ada satu pun anggota DPR yang terhormat membantu meringankan beban penderitaan rakyat. Mereka malah mengajukan anggaran kepada pemerintah melalui APBN untuk merenovasi gedung DPR yang sudah megah dan membangun rumah dinasnya. Mereka merasa malu jika ada kunjungan anggota DPR dari negara lain. Akan tetapi, mereka tidak merasa malu jika anak bangsa Indonesia bodoh karena tidak adanya sarana kegiatan belajar mengajar.
Selamat datang kebodohan
Sepertinya, pemerintah sengaja membuat bangsa ini bodoh terus menerus. Dengan kebodohan rakyat Indonesia, pemerintah dapat berkuasa lebih lama lagi. Bertahan dalam waktu lama dalam pemerintahan akan menguntungkan dan menambah pundi-pundi uang yang mengalir deras setiap hari. Lebih dari itu, dengan bodohnya masyarakat, pemerintah akan mudah untuk membuat program kerja fiktif yang dapat mengkayakan dirinya dan golongannya.
Mana buktinya jika pemerintah melakukan hal yang demikian? Selain anggaran renovasi gedung DPR sebesar 40 miliar dan tunjangan rumah dinas, anggota DPR (parlemen) menyetujui anggaran pendidikan pada tahun 2008. Ironinsnya, anggaran pendidikan tahun 2008 lebih kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007.
Disebutkan anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2008 ditetapkan Rp 48,3 triliun, atau 5,7 persen dari total belanja pemerintah yang sebesar Rp 836 triliun.
Ironis memang ditengah masih banyaknya masyarakat buta aksara di Indonesia (mencapai 14,59 juta orang), pemerintah kita mengurangi anggaran pendidikan dan berlomba-lomba mempercantik gedung DPR di Senayan dan rumah dinas ”wakil rakyat yang terhormat”.
Pada akhirnya, yang ada di negeri ini adalah ketimpangan antara yang miskin dan kaya. Pemerintah berlomba mempercantik diri, sedangkan rakyat terseok dengan kondisi sekolah yang roboh.
Penulis adalah penulis buku
Manifesto Pendidikan Indonesia, tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah
Rabu, 02 Januari 2008
Banyak Jalan Menuju Tuhan
Buku:
Banyak Jalan Menuju Tuhan
Benni Setiawan*) (02/01/2008 - 16:29 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja): Belum lekang dari ingatan kita betapa banyak aliran keagamaan dianggap sesat dan menyesatkan oleh otoritas negara dalam hal ini majelis ulama Indonesia (MUI). Dengan mengeluarkan fatwa haram, MUI bak “Tuhan baru” yang secara spontan diikuti oleh umatnya.
Tidak mengheran apabila bersamaan dengan keluarnya fatwa sesat banyak umat yang berbodong-bondong menghakimi dengan tindak kekerasan. Mereka tidak segan untuk memukul, menciderai bahkan membakar rumah-rumah tempat persembunyian anggota kelompok yang dianggap sesat dan menyesatkan. Sebagaimana terjadi baru-baru ini jemaah Ahmadiyah di Sukabumi Jawa Barat di serang oleh sekelompok orang yang mengatasnamaka agama.
Belum lagi persoalan pengerusakan dan pengusiran umat Kristen di beberapa daerah. Mereka dianggap tidak memiliki izin mendirikan tempat ibadah dan keberadaannya menganggu ketertiban masyarakat.
Sungguh ironis memang keadaan ini tumbuh subur di negeri yang konon plural. Keanekaragaman budaya, tradisi, bahkan agama seakan ingin disatukan. Padahal menyatukan yang plural sebagai realitas hidup bermasyarakat adalah pekerjaan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Menyatukan entitas yang plural hanya akan mengerdilkan kelompok minoritas. Lebih lanjut, akan banyak terjadi kesewenang-wenangan yang pada akhirnya mengarah kepada tindakan yang bertentangan dengan norma-norma kehidupan.
Keadaan ini tentunya harus segera dihentikan. Artinya, harus ada gerakan baru atas pemahaman keagamaan yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan daripada pengagungan ritus dan simbol-simbol agama.
Maka, hadirnya buku ini ingin mengembalikan semangat keagamaan yang berdimensi kemanusiaan tersebut. Buku yang ditulis oleh Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini mengajak kepada umat beragama untuk menyadari bahwa hidup beragama pada dasarnya bukan hanya pada pemaknaan ritus-ritus yang sakral saja, apalagi, hanya mengangung-agung simbol-simbol keagamaan. Hidup beragama adalah hidup dalam dimensi sosial yang luas. Seseorang yang mengaku beragama harus dapat menjaga hubungan dan kehormatan dirinya dihadapan Tuhan dan umat manusia. Jadi tidak hanya baik secara vertikal tetapi juga baik secara horisontal.
Maka, menurut penulis buku ini yang juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), umat beragama harus mampu keluar dari bingkai simbolisme agama. Ia harus berani menafsir (mengoreksi) proses keagamaan yang selama ini diyakini
Dengan proses ini akan terjadi kesepahaman bahwa semua agama adalah rahmatan lil alamin (keberkahan bagi semua alam). Jika sudah demikian, tidak akan ada lagi tindak “penyesatan” dan kekerasan intern umat beragama dan antar pemeluk agama. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya Tuhan itu Esa, akan tetapi banyak jalan menuju keselamatan (Tuhan). Maka tidak dapat dihindari ragam kepercayaan dan cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan proses ini, seseorang akan mampu beragama dengan baik, yaitu tidak hanya terbelenggu kepada ritus dan symbol agama melainkan mampu mentransformasikannya di dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai kemanusiaan.
Walaupun merupakan buku kumpulan tulisan yang berserak di berbagai media massa yang tidak dapat menghindar dari pengulangan kata dan bahasan, buku ini tetap layak untuk dibaca dan didiskusikan lebih lanjut.
Pada akhirnya, buku yang diulas dengan gaya bahasa bertutur tanpa mengurui ini patut dibaca bagi mereka yang masih menyatakan sebagai umat beragama dan berkeyakinan bahwa beragama adalah proses yang tidak bertepi, sebagaimana dalam prolog yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif al-Maun Institute Moeslim Abdurrahman.
Judul Buku : Satu Tuhan Seribu Tafsir
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 174 Halaman
*) Pembaca sedikit buku.
Banyak Jalan Menuju Tuhan
Benni Setiawan*) (02/01/2008 - 16:29 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja): Belum lekang dari ingatan kita betapa banyak aliran keagamaan dianggap sesat dan menyesatkan oleh otoritas negara dalam hal ini majelis ulama Indonesia (MUI). Dengan mengeluarkan fatwa haram, MUI bak “Tuhan baru” yang secara spontan diikuti oleh umatnya.
Tidak mengheran apabila bersamaan dengan keluarnya fatwa sesat banyak umat yang berbodong-bondong menghakimi dengan tindak kekerasan. Mereka tidak segan untuk memukul, menciderai bahkan membakar rumah-rumah tempat persembunyian anggota kelompok yang dianggap sesat dan menyesatkan. Sebagaimana terjadi baru-baru ini jemaah Ahmadiyah di Sukabumi Jawa Barat di serang oleh sekelompok orang yang mengatasnamaka agama.
Belum lagi persoalan pengerusakan dan pengusiran umat Kristen di beberapa daerah. Mereka dianggap tidak memiliki izin mendirikan tempat ibadah dan keberadaannya menganggu ketertiban masyarakat.
Sungguh ironis memang keadaan ini tumbuh subur di negeri yang konon plural. Keanekaragaman budaya, tradisi, bahkan agama seakan ingin disatukan. Padahal menyatukan yang plural sebagai realitas hidup bermasyarakat adalah pekerjaan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Menyatukan entitas yang plural hanya akan mengerdilkan kelompok minoritas. Lebih lanjut, akan banyak terjadi kesewenang-wenangan yang pada akhirnya mengarah kepada tindakan yang bertentangan dengan norma-norma kehidupan.
Keadaan ini tentunya harus segera dihentikan. Artinya, harus ada gerakan baru atas pemahaman keagamaan yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan daripada pengagungan ritus dan simbol-simbol agama.
Maka, hadirnya buku ini ingin mengembalikan semangat keagamaan yang berdimensi kemanusiaan tersebut. Buku yang ditulis oleh Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini mengajak kepada umat beragama untuk menyadari bahwa hidup beragama pada dasarnya bukan hanya pada pemaknaan ritus-ritus yang sakral saja, apalagi, hanya mengangung-agung simbol-simbol keagamaan. Hidup beragama adalah hidup dalam dimensi sosial yang luas. Seseorang yang mengaku beragama harus dapat menjaga hubungan dan kehormatan dirinya dihadapan Tuhan dan umat manusia. Jadi tidak hanya baik secara vertikal tetapi juga baik secara horisontal.
Maka, menurut penulis buku ini yang juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), umat beragama harus mampu keluar dari bingkai simbolisme agama. Ia harus berani menafsir (mengoreksi) proses keagamaan yang selama ini diyakini
Dengan proses ini akan terjadi kesepahaman bahwa semua agama adalah rahmatan lil alamin (keberkahan bagi semua alam). Jika sudah demikian, tidak akan ada lagi tindak “penyesatan” dan kekerasan intern umat beragama dan antar pemeluk agama. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya Tuhan itu Esa, akan tetapi banyak jalan menuju keselamatan (Tuhan). Maka tidak dapat dihindari ragam kepercayaan dan cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan proses ini, seseorang akan mampu beragama dengan baik, yaitu tidak hanya terbelenggu kepada ritus dan symbol agama melainkan mampu mentransformasikannya di dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai kemanusiaan.
Walaupun merupakan buku kumpulan tulisan yang berserak di berbagai media massa yang tidak dapat menghindar dari pengulangan kata dan bahasan, buku ini tetap layak untuk dibaca dan didiskusikan lebih lanjut.
Pada akhirnya, buku yang diulas dengan gaya bahasa bertutur tanpa mengurui ini patut dibaca bagi mereka yang masih menyatakan sebagai umat beragama dan berkeyakinan bahwa beragama adalah proses yang tidak bertepi, sebagaimana dalam prolog yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif al-Maun Institute Moeslim Abdurrahman.
Judul Buku : Satu Tuhan Seribu Tafsir
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 174 Halaman
*) Pembaca sedikit buku.