Gagasan, Solo Pos, Senin, 27 Desember 2010 , Hal.4
Catatan akhir tahun keberagamaan Indonesia tahun 2010 dinilai kelam oleh beberapa lembaga. Moderate Muslim Society menilai tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia.
Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Yaitu pengusiran dua kasus, pembubaran kegiatan atas nama agama tiga kasus, diskriminasi karena keyakinan empat kasus, penyerangan dan perusakan 24 kasus, ancaman, tuntutan dan intimidasi 15 kasus, kriminalisasi paham keagamaan tiga kasus, penutupan dan penolakan rumah ibadah 24 kasus dan penghalangan kegiatan beribadah enam kasus.
Pantauan The Wahid Institute sepanjang tahun 2010 menemukan 63 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Ironisnya, pelaku pelanggaran kebebasan beragama paling banyak justru pemerintah daerah dan kepolisian (72 persen). Bentuk pelanggaran yang dilakukan meliputi pembatasan dan pemaksaan untuk meninggalkan keyakinan tertentu (25 kasus atau 40 persen), pencabutan izin atau pelanggaran menggunakan rumah ibadah (19 kasus atau 30 persen), serta pembiaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat terhadap umat beragama (14 kasus atau 22 persen).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana membangun harmoni kerukunan umat beragama agar tindak intoleransi dapat ditekan pada tahun mendatang?
Persaingan
Setiap terjadi konflik antarumat beragama, kita mengalami kesulitan untuk menemukan akar pokok penyebabnya. Bahkan penyebab utamanya seringkali berakar bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut nonteologis, terutama pada persaingan politik dan ekonomi dari para elite pemimpinnya.
Dengan demikian, pemicu utama dari setiap konflik antaragama bukan karena perbedaan doktrin ajaran, tetapi lebih pada perebutan pengaruh politik dan ekonomi dari masing-masing pemeluknya. Celakanya, seperti dipaparkan oleh Lester Kurtz dalam Gods in the Global Village (1995), religious conflict can be extraordinarily bitter, and is aften destructive because the parties to the dispute view themselves as respresentative of supraindividual claims, of flighting not for themselves but only for a cause which can give the conflict a radicalism and mercilessness.
Lebih lanjut, Kurtz menjelaskan watak dari konflik antaragama cenderung mengabaikan kualitas kesalehan individu yang dimusuhi dan bahkan yang sering terjadi adalah baik yang memerangi maupun yang diperangi sama-sama rendah kualitas keberagamaannya.
Di sini yang menjadi garis pembeda hanyalah sebuah sikap prejudice dan sebuah kategori yang sangat artifisial dan menyesatkan, yaitu setiap orang yang dianggap “bukan kelompok kita” harus dimusnahkan. Karena konflik agama sifatnya sangat emosional dan destruktif maka emosi massa yang terlibat akan sangat mudah dikobarkan dengan cara dihasut.
Bagi pihak yang merasa dirugikan sulit untuk berdamai sebelum melakukan pembalasan setimpal, sedangkan pihak yang merasa unggul akan semakin agresif agar lawan benar-benar lumpuh, sehingga peluang pembalasan semakin menyempit.
Semangat untuk saling memusnahkan akan bertambah ketika faktor keyakinan eskatologis ikut andil, yaitu anggapan siapa yang berhasil membunuh lawan berarti pintu surga sudah menunggu. Demikian absurd dan kompleksnya pertikaian antaragama sehingga setiap konflik antaragama cenderung merusak prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia (Komaruddin Hidayat: 2006).
Konflik antaragama yang dibumbui oleh motif ekonomi dan politik hanya akan semakin memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan Indonesia sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi maka persoalan keagamaan hanya dijadikan kedok kebrutalan pihak-pihak yang tidak bertangung jawab.
Piagam Madinah
Namun demikian, intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama. Apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Kelompok minoritas belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai ancaman bagi kehidupan umat beragama.
Padahal kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dalam konsepsi Islam (Piagam Madinah) misalnya, Nabi Muhammad melarang umat Islam memusuhi dan memerangi kaum kafir dhimi (kelompok minoritas Madinah kala itu). Jika mereka dimusuhi maka ia akan berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad.
Menilik semangat Piagam Madinah dalam membangun masyarakat madani ini maka tidak ada pembedaaan antara minoritas dan mayoritas. Semua umat beragama mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Semua umat beragama sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kualitas keimanan dan pengabdian kepada Tuhannya.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan wajib memberikan kemudahan bagi umat beragama beribadat secara tenang tanpa tekanan. Salah satunya dengan mempermudah pendirian rumah ibadah tanpa syarat yang neka-neka dan njlimet, serta menjamin kebebasan guna melaksanakan agama sebagaimana amanat UUD 1945.
Peristiwa intoleransi tidak boleh terulang di kemudian hari. Sudah saatnya semua pihak sadar bahwa kerukunan umat beragama merupakan modal sosial bangsa Indonesia. Jika hal ini tercederai oleh kelompok-kelompok yang mengaku beragama, maka perlu dipertanyakan komitmen mereka terhadap agama yang mereka yakini.
Dan jika pemerintah membiarkan hal ini tetap terjadi maka kondisi kebangsaan Indonesia akan runtuh karena sikap pemerintah yang tidak tegas dan membiarkan masyarakatnya “berperang” atas nama agama.
- Oleh : Benni Setiawan Peneliti Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Jumat, 31 Desember 2010
Teologi Antikemiskinan
Opini, Jurnal Nasional, 15 Desember 2010
HIDUP miskin tentu bukan pilihan. Namun, sampai saat ini bangsa Indonesia masih bertarung melawan kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia menurut Bank Dunia dengan kriteria penghasilan US$2 per hari mencapai lebih dari 124 juta orang atau 56 persen dari total penduduk Indonesia 230 juta. Akibat kemiskinan ini, menurut UNICEF, 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses sanitasi dasar dan 55 juta orang, tidak memiliki akses sumber air aman. Menurut sumber itu, keadaan ini menyebabkan setiap tahun 100 ribu anak berusia di bawah tiga tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Juga setiap hari ada sekitar 5.000 anak di bawah umur lima tahun meninggal karena diare itu. Pertanyaan kemudian, bagaimana agama sebagai way of life (sistem hidup) dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan?
Beberapa Pendekatan
Dalam kacamata (pendekatan) konservatif kemiskinan sebagai gejala nasib. Menurut pendekatan budaya menyatakan, kemiskinan sebagai warisan dan mentalitas seseorang. Namun, dua pendekatan ini ditolak pendekatan struktural. Pendekatan struktural menyatakan, kemiskinan sebagai produk struktur yang timpang (tidak adil), yang diciptakan oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Haedar Nashir, dalam perspektif agama Islam, kemiskinan kondisi keduafaan, yakni dha'if atau lemah secara ekonomi dan mustadhaf atau tertindas secara politik. Hingga kemiskinan termasuk keadaan lemah secara sosial-ekonomi dan politik sekaligus. Gejala dhaif (lemah, jamak: duafa) selalu terkait mustadh'af (tertindas), yang terkait proses istidh'af (proses yang menciptakan keduafaan) dan kekuatan mustadhif (pelaku yang memperlemah atau menindas orang lain).
Melihat realitas ini, saat peran agama dalam membebaskan warga dari belenggu kemiskinan. Agama sebagai sebuah sistem nilai tentu mempunyai kewenangan menyelesaikan persoalan ini. Ini karena agama tidak hanya berhubungan ibadah ritual, melainkan ibadah atau hubungan antarsesama manusia dan lingkungan (hablu mina Allah wa hablu minan nas).
Islam, misal, mengajarkan kepada umat manusia peduli kepada kaum miskin. Ancaman bagi orang yang tidak peduli dengan kaum miskin termasuk orang yang mendustakan agama.
Hal ini tampak jelas dalam Al Quran Surat Al Maun (107) 1-3 yang artinya "Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Bagaimana mengimplementasikan ayat itu? Islam mengajarkan kepada umat membayar zakat. Yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat mal (harta benda). Pembayaran dan penggelolaan zakat dengan sistem konvensional sudah saatnya diakhiri. Artinya, pengumpulan dan pembagian zakat yang kurang dirasakan manfaat oleh kaum miskin dapat ubah.
Menurut Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam menyatakan, zakat yang nilai ibadahnya diberikan kepada orang lain yang tidak mampu yang seagama masih bersifat subyektif. Maka, makna zakat harus diobyektifkan agar bisa diterima siapa saja. Makna zakat berdimensi sosial. Zakat bisa digunakan menekan angka kemiskinan yang tidak memandang agama.
Komitmen Sosial
Ketika agama telah menjadi sebuah sistem dan mampu menjawab tantangan zaman tentu agama tidak akan terpinggirkan. Artinya, tesis Ernest Gellner (1994) menyatakan, agama akan terpinggirkan dalam masyarakat industrialisasi dan globalisasi, tidak akan terbukti. Kuntowijoyo (1999), menyebutkan, misi Islam paling besar adalah pembebasan. Ini berarti, Islam harus membebaskan manusia dari aliran kungkungan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Namun, karena dunia modern menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia, baik itu sistem produksi teknologi modern, sosial ekonomi maupun sistem-sistem lain yang menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan diri seperti manusia merdeka dan mulia.
Maka, Islam harus merevolusi diri, merombak semua itu. Yakni, dengan revolusi pembebasan. Dengan misi teologi seperti ini, Islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat mengisi kehampaan spiritual produk dunia modern industrial. Sungguh sudah saatnya, Islam kembali menyelamatkan manusia dari belenggu dunia modern. Untuk mengembalikan nilai-nilai Islam yang revolusioner di dalam teologi Islam sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Asghar Ali Engineer (1999) merekomendasikan, untuk mengembalikan seperti semula komitmen Islam terhadap terciptanya keadilan sosial ekonomi dan golongan masalah lemah.
Sudah saatnya agama bangkit dan mengubah dalam sistem sosial. Artinya, proses keberagamaan yang selama ini berkutat pada persoalan furuiyah sudah saatnya diubah. Agama harus bisa menjawab berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat, seperti kemiskinan. Kemiskinan, adalah persoalan wajib yang harus diselesaikan semua kalangan termasuk di dalam agama. Pasalnya, agama adalah sistem masyarakat yang melekat dan selalu hidup di tengah perkembangan zaman. Ketika agama tidak lagi menyentuh persoalan-persoalan ini, maka, ia akan banyak ditinggalkan oleh umat. Pada akhirnya, ketika komitmen sosial agama telah menjadi spirit dan ruh dalam masyarakat, kemiskinan akan hilang dari bumi Nusantara.
Benni Setiawan, Peneliti dan Pemerhati Masalah Sosial
HIDUP miskin tentu bukan pilihan. Namun, sampai saat ini bangsa Indonesia masih bertarung melawan kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia menurut Bank Dunia dengan kriteria penghasilan US$2 per hari mencapai lebih dari 124 juta orang atau 56 persen dari total penduduk Indonesia 230 juta. Akibat kemiskinan ini, menurut UNICEF, 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses sanitasi dasar dan 55 juta orang, tidak memiliki akses sumber air aman. Menurut sumber itu, keadaan ini menyebabkan setiap tahun 100 ribu anak berusia di bawah tiga tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Juga setiap hari ada sekitar 5.000 anak di bawah umur lima tahun meninggal karena diare itu. Pertanyaan kemudian, bagaimana agama sebagai way of life (sistem hidup) dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan?
Beberapa Pendekatan
Dalam kacamata (pendekatan) konservatif kemiskinan sebagai gejala nasib. Menurut pendekatan budaya menyatakan, kemiskinan sebagai warisan dan mentalitas seseorang. Namun, dua pendekatan ini ditolak pendekatan struktural. Pendekatan struktural menyatakan, kemiskinan sebagai produk struktur yang timpang (tidak adil), yang diciptakan oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Haedar Nashir, dalam perspektif agama Islam, kemiskinan kondisi keduafaan, yakni dha'if atau lemah secara ekonomi dan mustadhaf atau tertindas secara politik. Hingga kemiskinan termasuk keadaan lemah secara sosial-ekonomi dan politik sekaligus. Gejala dhaif (lemah, jamak: duafa) selalu terkait mustadh'af (tertindas), yang terkait proses istidh'af (proses yang menciptakan keduafaan) dan kekuatan mustadhif (pelaku yang memperlemah atau menindas orang lain).
Melihat realitas ini, saat peran agama dalam membebaskan warga dari belenggu kemiskinan. Agama sebagai sebuah sistem nilai tentu mempunyai kewenangan menyelesaikan persoalan ini. Ini karena agama tidak hanya berhubungan ibadah ritual, melainkan ibadah atau hubungan antarsesama manusia dan lingkungan (hablu mina Allah wa hablu minan nas).
Islam, misal, mengajarkan kepada umat manusia peduli kepada kaum miskin. Ancaman bagi orang yang tidak peduli dengan kaum miskin termasuk orang yang mendustakan agama.
Hal ini tampak jelas dalam Al Quran Surat Al Maun (107) 1-3 yang artinya "Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Bagaimana mengimplementasikan ayat itu? Islam mengajarkan kepada umat membayar zakat. Yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat mal (harta benda). Pembayaran dan penggelolaan zakat dengan sistem konvensional sudah saatnya diakhiri. Artinya, pengumpulan dan pembagian zakat yang kurang dirasakan manfaat oleh kaum miskin dapat ubah.
Menurut Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam menyatakan, zakat yang nilai ibadahnya diberikan kepada orang lain yang tidak mampu yang seagama masih bersifat subyektif. Maka, makna zakat harus diobyektifkan agar bisa diterima siapa saja. Makna zakat berdimensi sosial. Zakat bisa digunakan menekan angka kemiskinan yang tidak memandang agama.
Komitmen Sosial
Ketika agama telah menjadi sebuah sistem dan mampu menjawab tantangan zaman tentu agama tidak akan terpinggirkan. Artinya, tesis Ernest Gellner (1994) menyatakan, agama akan terpinggirkan dalam masyarakat industrialisasi dan globalisasi, tidak akan terbukti. Kuntowijoyo (1999), menyebutkan, misi Islam paling besar adalah pembebasan. Ini berarti, Islam harus membebaskan manusia dari aliran kungkungan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Namun, karena dunia modern menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia, baik itu sistem produksi teknologi modern, sosial ekonomi maupun sistem-sistem lain yang menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan diri seperti manusia merdeka dan mulia.
Maka, Islam harus merevolusi diri, merombak semua itu. Yakni, dengan revolusi pembebasan. Dengan misi teologi seperti ini, Islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat mengisi kehampaan spiritual produk dunia modern industrial. Sungguh sudah saatnya, Islam kembali menyelamatkan manusia dari belenggu dunia modern. Untuk mengembalikan nilai-nilai Islam yang revolusioner di dalam teologi Islam sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Asghar Ali Engineer (1999) merekomendasikan, untuk mengembalikan seperti semula komitmen Islam terhadap terciptanya keadilan sosial ekonomi dan golongan masalah lemah.
Sudah saatnya agama bangkit dan mengubah dalam sistem sosial. Artinya, proses keberagamaan yang selama ini berkutat pada persoalan furuiyah sudah saatnya diubah. Agama harus bisa menjawab berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat, seperti kemiskinan. Kemiskinan, adalah persoalan wajib yang harus diselesaikan semua kalangan termasuk di dalam agama. Pasalnya, agama adalah sistem masyarakat yang melekat dan selalu hidup di tengah perkembangan zaman. Ketika agama tidak lagi menyentuh persoalan-persoalan ini, maka, ia akan banyak ditinggalkan oleh umat. Pada akhirnya, ketika komitmen sosial agama telah menjadi spirit dan ruh dalam masyarakat, kemiskinan akan hilang dari bumi Nusantara.
Benni Setiawan, Peneliti dan Pemerhati Masalah Sosial
Rabu, 01 Desember 2010
Menyoal Mental Feodal
Harian Joglosemar, Senin, 08/11/2010
Benni Setiawan
Penulis buku,
tinggal di Sukoharjo
Memperoleh gelar kesarjanaan bagi seseorang merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Dengan gelar ini mereka dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Dengan gelar ini pula, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dapat naik pangkat dan jabatan. Tanpa harus menunggu empat tahun, ia dapat menduduki pangkat dan jabatan penting di pemerintahan. Dengan kenaikan pangkat dan jabatan maka pundi-pundi uang pun akan bertambah. Mereka dapat hidup sejahtera dengan gaji yang hampir setiap tahun naik.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan ini akan mengantarkan seseorang dalam posisi yang mulia di tengah masyarakat. Masyarakat (terutama ekonomi lemah) akan hormat dan patuh terhadap mereka. Seorang dengan gelar berjejer akan dengan mudah menduduki strata sosial yang tinggi di masyarakat, apalagi dia adalah seorang PNS (abdi negara).
Karena dorongan inilah sering kali seseorang menghalalkan segala cara guna mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan. Cara-cara pintas pun dilakukan. Seperti membeli kepada pembuat jasa ijazah palsu yang semakin menyemut di tengah riuhnya kota. Dengan uang Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, seseorang sudah dapat menyandingkan gelar di belakang nama mereka, tanpa harus kuliah.
Uang sebanyak itu tidak menjadi masalah besar bagi seseorang yang gila gelar dan kedudukan. Gelar bagi mereka merupakan kunci utama dalam mempertahankan hidup dan gengsi di tengah perubahan zaman yang semakin cepat.
Paradigma ini tak ubahnya saat masa kolonialisme dulu. Seseorang yang mempunyai gelar kebangsawanan akan dengan mudah mengakses ruang publik. Dengan gelar ini mereka dapat sekolah, menjadi abdi dalem, dan bergaul dengan masyarakat non-pribumi.
Tampaknya paradigma ini masih melekat kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Bahkan dalam sistem ketenagakerjaan. Ia lebih bernafsu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) daripada entrepreneurship (pengusaha). Menjadi PNS dalam pandangan masyarakat lebih mulia daripada yang lain. Karena mereka menduduki strata sosial non-pribumi. Maka tidak aneh jika di masa pendaftaran CPNS sebagaimana bulan ini, banyak generasi muda (fresh graduate) berlomba menjadi abdi negara.
Padahal dalam masyarakat kolonial (baca: feodal), PNS merupakan sebuah pekerjaan yang melayani hajat hidup penjajah. Mereka diangkat oleh penjajah untuk melanggengkan misi menguras sumber daya alam dan manusia bumi Nusantara. Seorang PNS tidak dapat mengatakan tidak kepada majikannya (penjajah, sekarang pemerintah), hatta itu pilihan politik. Mereka akan manut, tunduk takluk terhadap kemauan sang penguasa.
Harus Diakhiri
Mentalitas ini sudah saatnya diakhiri. Kita sudah merdeka 65 tahun. Ironis memang! Di tengah zaman global seperti ini masih ada orang yang berpikiran dan bermental feodal.
Kemudian apa yang dapat dilakukan guna mengakhiri periodeisasi feodalis ini? Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, kesadaran perguruan tinggi (PT) untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satu aturan wajib bagi sebuah PT adalah mengajukan akreditasi program studi (prodi) atau jurusan kepada direktorat perguruan tinggi (Dikti) setiap empat tahun sekali. Hanya (prodi) yang memenuhi kualifikasi saja yang boleh menyelenggarakan pendidikan. Dengan ini pula perkembangan prodi dapat terpantau dan meminimalisir terjadi pelanggaran seperti pembuatan ijazah palsu.
Namun, program akreditasi ini bukan ajang untuk membantai Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sebagaimana terjadi baru-baru ini. Akreditasi merupakan wahana koreksi antara institusi pendidikan tinggi dengan pemerintah. Ketika banyak PTS bangkrut karena ketidakmampuan membiayai operasional disebabkan sedikitnya jumlah mahasiswa, maka kewajiban pemerintah untuk membantu. Inilah kewajiban pemerintah sebagai pengayom masyarakat. Pendek kata, akreditasi merupakan hubungan simbiosis mutualisme antara penyelenggaraan PT dengan pemerintah.
Kedua, kepedulian media massa. Artinya, banyak penyelenggara pendidikan palsu sengaja mengiklankan produknya di media massa. Iklan yang tidak mendidik ini perlu ditolak. Hal ini karena media massa sebagai salah satu pilar demokrasi tentunya tidak mau disebut “calo” atau “broker” ijazah palsu karena menerima “iklan bodong”. Pemikiran pragmatis mendapatkan pemasukan besar dari iklan tentunya tidak boleh mengabaikan etika dan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, memaksimalkan peran serta kopertis/kopertais (koordinator perguruan tinggi agama Islam) di setiap wilayah. Jaringan pemalsu ijazah dapat diputus jika peran kopertis/kopertais bekerja secara maksimal. Pekerjaan kopertis/kopertais bukan hanya tukang stempel kenaikan pangkat dosen. Kopertis/kopertais bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan yang memadai dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah koordinasinya.
Jika kopertis/kopertais mampu memaksimalkan perannya dalam membina sebuah PT, maka sulit bagi jaringan pemalsu ijazah beroperasi dengan leluasa. Lebih dari itu, kopertis/kopertais tidak menjadi “macan ompong” yang tidak mempunyai kuasa dan kewenangan menindak sebuah PT nakal.
Keempat, keberanian pemerintah pusat dan daerah untuk memberhentikan pegawainya secara tidak hormat. Pegawai dengan ijazah palsu selain merusak citra pemerintah juga hanya akan menjadi problem bagi terselenggaranya pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Pegawai dengan ijazah palsu hanya ingin mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi. Mereka pasti tidak akan mampu bekerja maksimal, karena dalam benak dan niatnya hanya ingin mendapatkan penghidupan yang layak tanpa harus bekerja keras.
Pada akhirnya, gelar kesarjanaan ternyata masih menjadi barang mahal di tengah era globalisasi. Globalisasi dan modernisasi ternyata belum mampu menggerus mental feodal masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam. (***)
Benni Setiawan
Penulis buku,
tinggal di Sukoharjo
Memperoleh gelar kesarjanaan bagi seseorang merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Dengan gelar ini mereka dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Dengan gelar ini pula, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dapat naik pangkat dan jabatan. Tanpa harus menunggu empat tahun, ia dapat menduduki pangkat dan jabatan penting di pemerintahan. Dengan kenaikan pangkat dan jabatan maka pundi-pundi uang pun akan bertambah. Mereka dapat hidup sejahtera dengan gaji yang hampir setiap tahun naik.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan ini akan mengantarkan seseorang dalam posisi yang mulia di tengah masyarakat. Masyarakat (terutama ekonomi lemah) akan hormat dan patuh terhadap mereka. Seorang dengan gelar berjejer akan dengan mudah menduduki strata sosial yang tinggi di masyarakat, apalagi dia adalah seorang PNS (abdi negara).
Karena dorongan inilah sering kali seseorang menghalalkan segala cara guna mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan. Cara-cara pintas pun dilakukan. Seperti membeli kepada pembuat jasa ijazah palsu yang semakin menyemut di tengah riuhnya kota. Dengan uang Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, seseorang sudah dapat menyandingkan gelar di belakang nama mereka, tanpa harus kuliah.
Uang sebanyak itu tidak menjadi masalah besar bagi seseorang yang gila gelar dan kedudukan. Gelar bagi mereka merupakan kunci utama dalam mempertahankan hidup dan gengsi di tengah perubahan zaman yang semakin cepat.
Paradigma ini tak ubahnya saat masa kolonialisme dulu. Seseorang yang mempunyai gelar kebangsawanan akan dengan mudah mengakses ruang publik. Dengan gelar ini mereka dapat sekolah, menjadi abdi dalem, dan bergaul dengan masyarakat non-pribumi.
Tampaknya paradigma ini masih melekat kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Bahkan dalam sistem ketenagakerjaan. Ia lebih bernafsu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) daripada entrepreneurship (pengusaha). Menjadi PNS dalam pandangan masyarakat lebih mulia daripada yang lain. Karena mereka menduduki strata sosial non-pribumi. Maka tidak aneh jika di masa pendaftaran CPNS sebagaimana bulan ini, banyak generasi muda (fresh graduate) berlomba menjadi abdi negara.
Padahal dalam masyarakat kolonial (baca: feodal), PNS merupakan sebuah pekerjaan yang melayani hajat hidup penjajah. Mereka diangkat oleh penjajah untuk melanggengkan misi menguras sumber daya alam dan manusia bumi Nusantara. Seorang PNS tidak dapat mengatakan tidak kepada majikannya (penjajah, sekarang pemerintah), hatta itu pilihan politik. Mereka akan manut, tunduk takluk terhadap kemauan sang penguasa.
Harus Diakhiri
Mentalitas ini sudah saatnya diakhiri. Kita sudah merdeka 65 tahun. Ironis memang! Di tengah zaman global seperti ini masih ada orang yang berpikiran dan bermental feodal.
Kemudian apa yang dapat dilakukan guna mengakhiri periodeisasi feodalis ini? Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, kesadaran perguruan tinggi (PT) untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satu aturan wajib bagi sebuah PT adalah mengajukan akreditasi program studi (prodi) atau jurusan kepada direktorat perguruan tinggi (Dikti) setiap empat tahun sekali. Hanya (prodi) yang memenuhi kualifikasi saja yang boleh menyelenggarakan pendidikan. Dengan ini pula perkembangan prodi dapat terpantau dan meminimalisir terjadi pelanggaran seperti pembuatan ijazah palsu.
Namun, program akreditasi ini bukan ajang untuk membantai Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sebagaimana terjadi baru-baru ini. Akreditasi merupakan wahana koreksi antara institusi pendidikan tinggi dengan pemerintah. Ketika banyak PTS bangkrut karena ketidakmampuan membiayai operasional disebabkan sedikitnya jumlah mahasiswa, maka kewajiban pemerintah untuk membantu. Inilah kewajiban pemerintah sebagai pengayom masyarakat. Pendek kata, akreditasi merupakan hubungan simbiosis mutualisme antara penyelenggaraan PT dengan pemerintah.
Kedua, kepedulian media massa. Artinya, banyak penyelenggara pendidikan palsu sengaja mengiklankan produknya di media massa. Iklan yang tidak mendidik ini perlu ditolak. Hal ini karena media massa sebagai salah satu pilar demokrasi tentunya tidak mau disebut “calo” atau “broker” ijazah palsu karena menerima “iklan bodong”. Pemikiran pragmatis mendapatkan pemasukan besar dari iklan tentunya tidak boleh mengabaikan etika dan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, memaksimalkan peran serta kopertis/kopertais (koordinator perguruan tinggi agama Islam) di setiap wilayah. Jaringan pemalsu ijazah dapat diputus jika peran kopertis/kopertais bekerja secara maksimal. Pekerjaan kopertis/kopertais bukan hanya tukang stempel kenaikan pangkat dosen. Kopertis/kopertais bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan yang memadai dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah koordinasinya.
Jika kopertis/kopertais mampu memaksimalkan perannya dalam membina sebuah PT, maka sulit bagi jaringan pemalsu ijazah beroperasi dengan leluasa. Lebih dari itu, kopertis/kopertais tidak menjadi “macan ompong” yang tidak mempunyai kuasa dan kewenangan menindak sebuah PT nakal.
Keempat, keberanian pemerintah pusat dan daerah untuk memberhentikan pegawainya secara tidak hormat. Pegawai dengan ijazah palsu selain merusak citra pemerintah juga hanya akan menjadi problem bagi terselenggaranya pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Pegawai dengan ijazah palsu hanya ingin mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi. Mereka pasti tidak akan mampu bekerja maksimal, karena dalam benak dan niatnya hanya ingin mendapatkan penghidupan yang layak tanpa harus bekerja keras.
Pada akhirnya, gelar kesarjanaan ternyata masih menjadi barang mahal di tengah era globalisasi. Globalisasi dan modernisasi ternyata belum mampu menggerus mental feodal masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam. (***)
Kamis, 18 November 2010
Mewujudkan pendidikan karakter
Wawasan, Sabtu, 30 October 2010
PENYAKIT bangsa ini sungguh kronis. Salah satu penyakit itu adalah degradasi moral mulai dari pucuk pimpinan hingga masyarakat bawah. Lihatlah betapa praktik korupsi di Indonesia sudah menjadi gurita. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat penting di berbagai departemen, namun juga pekerja kelas ”coro”. Sebagaimana terjadi di Kementerian Keuangan yang menyeret nama Gayus Tambunan.
Korupsi juga telah menyebar hingga ke pelosok daerah. Pimpinan daerah (bupati/wali kota) banyak terseret dalam pusaran korupsi sistemik. Namun, di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, beberapa koruptor dibebaskan saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-65. Belum lagi ulah beberapa anggota dewan yang plesir (melancong) ke luar negeri dengan dalih kunjungan kerja.
Persoalan kebangsaan ini sudah saatnya diselesaikan secara arif dan bijaksana. Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana menyelesaikan persoalan dan penyakit bangsa Indonesia ini? Salah satunya adalah dengan mengajarkan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Menurut pendapat ini, tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foerster. Pertama, keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Itu dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Karakter itulah yang menentukan bentuk seorang pribadi dalam segala tindakannya (Doni A. Koesoema: 2010).
Maka dari itu, menurut Driyarkara, pada diri manusia yang harus dididik adalah bakatbakat tabiat baik, misalnya cinta pada sesama manusia, rendah hati, cintah Tanah Air, dan lain-lain. Manusia tidak mesti ditentukan oleh tabiattabiatnya.
Dialah yang harus membangun budi pekertinya sendiri. Sebelumnya, hal ini terutama dilakukan oleh manusia itu sendiri. Sang pendidik hanya memberi petunjuk dan pimpinan, dan ini hanya sementara saja sehingga manusia muda itu cukup terbentuk untuk berdiri dan berjalan sendiri. Untuk menggunakan tabiat baik itu, manusia harus mempergunakan budinya. Budi harus disadarkan dengan diisi oleh nilai-nilai ini.
Nilai-nilai ini tidak cukup hanya diisikan dengan cara yang abstrak. Dibutuhkan latihan yang praktis, lagi lama. Dengan jalan ini, maka hidup menjadi westengestaltung, atau penjelmaan nilai-nilai (A. Sudiarja SJ, dkk (peny) Karya Lengkap Driyarkara: 2006). Nilai-nilai praktis ini dapat dibangun melalui lingkungan terkecil dalam diri setiap manusia, yaitu rumah tangga dan keluarga.
Lingkungan inilah yang mempunyai peran penting dalam mendidik manusia muda menjadi mandiri. Orangtua dapat mengajarkan halhal kecil melalui sikap, tutur kata yang lembut dan baik, dan berinteraksi sosial. Di sinilah masa penting pembentukan karakter. Yaitu umur 0-8 tahun (golden age).
Sekolah Dasar
Maka tidak aneh jika Romo Mangunwijaya menekankan arti penting tingkat dasar (Sekolah Dasar). Dari sinilah cikal bakar terbentuknya karakter manusia disemai. Sebagaimana cerita Lintang dalam Laskar Pelangi, yang terus bersemangat menatap masa depan bermula dari sekolah SD Muhammadiyah Gantong.
Namun sampai saat ini kita masih menyaksikan pendidikan di tingkat SD sungguh menyedihkan. Banyak bangunan sekolah reot dan hampir roboh. Satu guru memenang hampir seluruh mata pelajaran dengan gaji rendah, kurikulum yang tidak tertata rapi, dan minimnya perhatian pemerintah.
Maka dari itu, pembenahan sistem pendidikan harus dimulai dari tingkat dasar. Guruguru SD harus lebih banyak mendapat porsi beasiswa dalam menempuh program strata satu (S1) dan S2. Ketika SD di Indonesia dipenuhi oleh guru-guru yang mumpuni dalam bidangnya, maka persoalan bangsa ini sedikit demi sedikit akan terurai.
Pendidikan tingkat SD merupakan benteng bagi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi cerdas dan berkarakter. Jika pemerintah tidak segera membenahi pendidikan di tingkat SD dan cenderung mengabaikannya, maka akan sulit bagi bangsa ini bangkit dari keterpurukan.
Pada akhirnya, mewujudkan pendidikan karakter yang akan membekas lama adalah di SD. Membenahi sistem pendidikan tingkat dasar merupakan investasi bagi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi penerus berkarakter. f Benni Setiawan Peneliti, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia dan Agenda Pendidikan Nasional
PENYAKIT bangsa ini sungguh kronis. Salah satu penyakit itu adalah degradasi moral mulai dari pucuk pimpinan hingga masyarakat bawah. Lihatlah betapa praktik korupsi di Indonesia sudah menjadi gurita. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat penting di berbagai departemen, namun juga pekerja kelas ”coro”. Sebagaimana terjadi di Kementerian Keuangan yang menyeret nama Gayus Tambunan.
Korupsi juga telah menyebar hingga ke pelosok daerah. Pimpinan daerah (bupati/wali kota) banyak terseret dalam pusaran korupsi sistemik. Namun, di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, beberapa koruptor dibebaskan saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-65. Belum lagi ulah beberapa anggota dewan yang plesir (melancong) ke luar negeri dengan dalih kunjungan kerja.
Persoalan kebangsaan ini sudah saatnya diselesaikan secara arif dan bijaksana. Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana menyelesaikan persoalan dan penyakit bangsa Indonesia ini? Salah satunya adalah dengan mengajarkan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Menurut pendapat ini, tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foerster. Pertama, keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Itu dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Karakter itulah yang menentukan bentuk seorang pribadi dalam segala tindakannya (Doni A. Koesoema: 2010).
Maka dari itu, menurut Driyarkara, pada diri manusia yang harus dididik adalah bakatbakat tabiat baik, misalnya cinta pada sesama manusia, rendah hati, cintah Tanah Air, dan lain-lain. Manusia tidak mesti ditentukan oleh tabiattabiatnya.
Dialah yang harus membangun budi pekertinya sendiri. Sebelumnya, hal ini terutama dilakukan oleh manusia itu sendiri. Sang pendidik hanya memberi petunjuk dan pimpinan, dan ini hanya sementara saja sehingga manusia muda itu cukup terbentuk untuk berdiri dan berjalan sendiri. Untuk menggunakan tabiat baik itu, manusia harus mempergunakan budinya. Budi harus disadarkan dengan diisi oleh nilai-nilai ini.
Nilai-nilai ini tidak cukup hanya diisikan dengan cara yang abstrak. Dibutuhkan latihan yang praktis, lagi lama. Dengan jalan ini, maka hidup menjadi westengestaltung, atau penjelmaan nilai-nilai (A. Sudiarja SJ, dkk (peny) Karya Lengkap Driyarkara: 2006). Nilai-nilai praktis ini dapat dibangun melalui lingkungan terkecil dalam diri setiap manusia, yaitu rumah tangga dan keluarga.
Lingkungan inilah yang mempunyai peran penting dalam mendidik manusia muda menjadi mandiri. Orangtua dapat mengajarkan halhal kecil melalui sikap, tutur kata yang lembut dan baik, dan berinteraksi sosial. Di sinilah masa penting pembentukan karakter. Yaitu umur 0-8 tahun (golden age).
Sekolah Dasar
Maka tidak aneh jika Romo Mangunwijaya menekankan arti penting tingkat dasar (Sekolah Dasar). Dari sinilah cikal bakar terbentuknya karakter manusia disemai. Sebagaimana cerita Lintang dalam Laskar Pelangi, yang terus bersemangat menatap masa depan bermula dari sekolah SD Muhammadiyah Gantong.
Namun sampai saat ini kita masih menyaksikan pendidikan di tingkat SD sungguh menyedihkan. Banyak bangunan sekolah reot dan hampir roboh. Satu guru memenang hampir seluruh mata pelajaran dengan gaji rendah, kurikulum yang tidak tertata rapi, dan minimnya perhatian pemerintah.
Maka dari itu, pembenahan sistem pendidikan harus dimulai dari tingkat dasar. Guruguru SD harus lebih banyak mendapat porsi beasiswa dalam menempuh program strata satu (S1) dan S2. Ketika SD di Indonesia dipenuhi oleh guru-guru yang mumpuni dalam bidangnya, maka persoalan bangsa ini sedikit demi sedikit akan terurai.
Pendidikan tingkat SD merupakan benteng bagi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi cerdas dan berkarakter. Jika pemerintah tidak segera membenahi pendidikan di tingkat SD dan cenderung mengabaikannya, maka akan sulit bagi bangsa ini bangkit dari keterpurukan.
Pada akhirnya, mewujudkan pendidikan karakter yang akan membekas lama adalah di SD. Membenahi sistem pendidikan tingkat dasar merupakan investasi bagi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi penerus berkarakter. f Benni Setiawan Peneliti, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia dan Agenda Pendidikan Nasional
Transformasi Teologis ala Mbah Maridjan
Jurnal Nasional, Rabu, 10 Nov 2010
Oleh Benni Setiawan
GUNUNG Merapi dan Mbah Maridjan seperti dua sejoli. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ketika Merapi erupsi, masyarakat akan ingat sosok Mbah Maridjan.
“Apa kabar? Dia sedang apa? Apakah dia tetap bertahan dan enggan mengungsi? Apakah Mbah Maridjan selamat dari erupsi Merapi?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab oleh berita media massa cetak dan elektronik. Selasa Pahing, (26/10), Mbah Maridjan berpulang menghadap Sang Khalik dalam posisi sujud. Walaupun Mbah Maridjan telah berpulang. Namun, laki-laki sepuh yang riang dan santun ini meninggalkan sebuah pelajaran hidup dalam kepemimpinan khusus hal transformasi teologis. Salah satunya tampak ketika menjawab beberapa pertanyaan mengenai keteguhan tetap tinggal di lereng Merapi.
Pelajaran Kepemimpinan
Mbah Maridjan sejak erupsi Merapi tahun 2006--yang menjadikan nama dia tenar dan menjadi selebritis--tetap teguh pendirian tidak mau mengungsi. Ketika ditanya mengapa enggan mengungsi, dia menjawab bahwa tugasnya menjaga Merapi. Sebagaimana tugas yang dimandatkan Sri Sultan Hamangkubuwana IX. Merapi tidak berbahaya, karena gunung teraktif di dunia ini memberi manfaat (numrapi).
Pascaerupsi tanah-tanah di sekitar Merapi menjadi subur. Penambang akan mendapatkan material (pasir dan batu) yang melimpah dari sisa-sisa erupsi. Maka berkah Merapi ini harus disyukuri. Salah satunya bagi Mbah Maridjan adalah tetap tinggal di kediaman. Jika Mbah Maridjan turun gunung dan ikut serta mengungsi, dia akan diguyu cah cilik (diterwakan anak kecil). Dengan lagak lucu, dia mempraktikan, “Mbah Maridjan ngungsi, Mbah Maridjan ngungsi”, sambil tepuk tangan. Menerima amanat harus dijaga dengan taruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang, colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.
Apa yang diimani Mbah Maridjan ini memberi pelajaran kepada siapa saja, bahwa pantang bagi seorang pemimpin untuk lari dari tanggung jawab. Dia harus menunaikan amanatnya walaupun harus dibayar dengan kematian.
Manunggaling Kawula Gusti
Lebih dari itu, satu hari sebelum meninggal dunia, dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta Mbah Maridjan menjawab pertanyaan secara filosofis. Mengapa Mbah Maridjan tidak mau ikut mengungsi, apakah tidak takut mati? Mbah Maridjan menjawab jika nyawa masih sayang raga, maka dia tidak akan ditinggal (meninggal dunia).
Apa yang dikatakan Mbah Maridjan ini meminjam istilah Zoetmoelders, merupakan konsep manunggaling kawula Gusti (menyatu hamba dengan Tuhan). Konsepsi ini hanya dimiliki orang-orang yang telah mempunyai kearifan atau kewaskitaan. Tidak sembarang orang dapat mempunyai konsepsi ini. Mbah Maridjan memandang apa yang sedang terjadi di Merapi hal biasa. “Merapi lagi mbangun” (Merapi sedang membangun),” katanya. Maka dia selalu mengantar sesaji setiap tahun untuk Sing Mbaurekso Merapi. Sebagai juru kunci (Abdi Dalem) dia pemimpin upacara itu. Ritual ini untuk menjaga mikrokosmos dan makrokosmos antara Sing Mbaurekso dengan Keraton Yogyakarta.
Sing Mbaurekso adalah Tuhan Penguasa Jagat. Dia sumber keselamatan dan pemberi rizki. Maka warga masyarakat harus selalu memberikan sesaji (persembahan) kepada Tuhan sebagai perantara agar diselamatkan dan diberi rizki yang melimpah dari-Nya.
Sedangkan Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan rakyat atau hamba yang harus selalu patuh dan taat kepada Tuhan. Tanpa ketaatan dan kepatuhan, Tuhan akan murka dan mendatangkan musibah. Mbah Maridjan melakukan ritual ini dengan penuh kepercayaan bahwa dia Abdi Dalem yang sekaligus penganut agama Islam. Dia harus menggelar ritual sesuai adat istiadat dan tidak lupa merapalkan doa-doa. Sebagaimana kaum santri, meminjam istilah Clifford Geetz sebagai perwujudkan kaum muslim.
Transformasi Teologis
Pola ini sealur benang merah dengan pola transformasi teologis “Islam-Jawa” Wali Sanga. Misal, tetap memelihara pelbagai bentuk selamatan tetapi "rohnya" sudah diganti dengan ajaran tauhid. Dengan pola transformasinya--hasil ijtihadnya--itu, Mbah Maridjan berusaha memelihara agar umat tak terperosok ke dalam syirik. Tradisi Jawa tetap terpelihara, tatanan keraton tetap dihormati dan dilestarikan, tetapi tak terjadi gejolak sosial (Kompas, 29 Oktober 2010).
Mbah Maridjan telah pergi. Namun spirit nguri-nguri kebudayaan khusus Jawa dan sikap keislaman patut kita apresiasi. Dia telah mampu melakukan transformasi teologis "Jawa-Islam" tanpa harus mengurangi keagungan antarkeduanya.
Mbah Maridjan merupakan sedikit di antara pemimpin bangsa saat ini yang mampu memberi teladan baik. Dia pantang meninggalkan gelanggang yang merupakan tanggung jawabnya. Dia meyakini, Merapi bukan hantu yang menakutkan, melainkan sebuah gunung tempat bersemayam Sing Mbaurekso dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar. Inilah yang disebut Ahmad Syafii Ma‘arif, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai satu kata dengan perbuatan. Selamat jalan Mbah Maridjan. Doa kami senantiasa menyertai kepergianmu menghadap Sang Maha Pencipta. Wallahu a‘lam.
Peneliti, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Oleh Benni Setiawan
GUNUNG Merapi dan Mbah Maridjan seperti dua sejoli. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ketika Merapi erupsi, masyarakat akan ingat sosok Mbah Maridjan.
“Apa kabar? Dia sedang apa? Apakah dia tetap bertahan dan enggan mengungsi? Apakah Mbah Maridjan selamat dari erupsi Merapi?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab oleh berita media massa cetak dan elektronik. Selasa Pahing, (26/10), Mbah Maridjan berpulang menghadap Sang Khalik dalam posisi sujud. Walaupun Mbah Maridjan telah berpulang. Namun, laki-laki sepuh yang riang dan santun ini meninggalkan sebuah pelajaran hidup dalam kepemimpinan khusus hal transformasi teologis. Salah satunya tampak ketika menjawab beberapa pertanyaan mengenai keteguhan tetap tinggal di lereng Merapi.
Pelajaran Kepemimpinan
Mbah Maridjan sejak erupsi Merapi tahun 2006--yang menjadikan nama dia tenar dan menjadi selebritis--tetap teguh pendirian tidak mau mengungsi. Ketika ditanya mengapa enggan mengungsi, dia menjawab bahwa tugasnya menjaga Merapi. Sebagaimana tugas yang dimandatkan Sri Sultan Hamangkubuwana IX. Merapi tidak berbahaya, karena gunung teraktif di dunia ini memberi manfaat (numrapi).
Pascaerupsi tanah-tanah di sekitar Merapi menjadi subur. Penambang akan mendapatkan material (pasir dan batu) yang melimpah dari sisa-sisa erupsi. Maka berkah Merapi ini harus disyukuri. Salah satunya bagi Mbah Maridjan adalah tetap tinggal di kediaman. Jika Mbah Maridjan turun gunung dan ikut serta mengungsi, dia akan diguyu cah cilik (diterwakan anak kecil). Dengan lagak lucu, dia mempraktikan, “Mbah Maridjan ngungsi, Mbah Maridjan ngungsi”, sambil tepuk tangan. Menerima amanat harus dijaga dengan taruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang, colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.
Apa yang diimani Mbah Maridjan ini memberi pelajaran kepada siapa saja, bahwa pantang bagi seorang pemimpin untuk lari dari tanggung jawab. Dia harus menunaikan amanatnya walaupun harus dibayar dengan kematian.
Manunggaling Kawula Gusti
Lebih dari itu, satu hari sebelum meninggal dunia, dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta Mbah Maridjan menjawab pertanyaan secara filosofis. Mengapa Mbah Maridjan tidak mau ikut mengungsi, apakah tidak takut mati? Mbah Maridjan menjawab jika nyawa masih sayang raga, maka dia tidak akan ditinggal (meninggal dunia).
Apa yang dikatakan Mbah Maridjan ini meminjam istilah Zoetmoelders, merupakan konsep manunggaling kawula Gusti (menyatu hamba dengan Tuhan). Konsepsi ini hanya dimiliki orang-orang yang telah mempunyai kearifan atau kewaskitaan. Tidak sembarang orang dapat mempunyai konsepsi ini. Mbah Maridjan memandang apa yang sedang terjadi di Merapi hal biasa. “Merapi lagi mbangun” (Merapi sedang membangun),” katanya. Maka dia selalu mengantar sesaji setiap tahun untuk Sing Mbaurekso Merapi. Sebagai juru kunci (Abdi Dalem) dia pemimpin upacara itu. Ritual ini untuk menjaga mikrokosmos dan makrokosmos antara Sing Mbaurekso dengan Keraton Yogyakarta.
Sing Mbaurekso adalah Tuhan Penguasa Jagat. Dia sumber keselamatan dan pemberi rizki. Maka warga masyarakat harus selalu memberikan sesaji (persembahan) kepada Tuhan sebagai perantara agar diselamatkan dan diberi rizki yang melimpah dari-Nya.
Sedangkan Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan rakyat atau hamba yang harus selalu patuh dan taat kepada Tuhan. Tanpa ketaatan dan kepatuhan, Tuhan akan murka dan mendatangkan musibah. Mbah Maridjan melakukan ritual ini dengan penuh kepercayaan bahwa dia Abdi Dalem yang sekaligus penganut agama Islam. Dia harus menggelar ritual sesuai adat istiadat dan tidak lupa merapalkan doa-doa. Sebagaimana kaum santri, meminjam istilah Clifford Geetz sebagai perwujudkan kaum muslim.
Transformasi Teologis
Pola ini sealur benang merah dengan pola transformasi teologis “Islam-Jawa” Wali Sanga. Misal, tetap memelihara pelbagai bentuk selamatan tetapi "rohnya" sudah diganti dengan ajaran tauhid. Dengan pola transformasinya--hasil ijtihadnya--itu, Mbah Maridjan berusaha memelihara agar umat tak terperosok ke dalam syirik. Tradisi Jawa tetap terpelihara, tatanan keraton tetap dihormati dan dilestarikan, tetapi tak terjadi gejolak sosial (Kompas, 29 Oktober 2010).
Mbah Maridjan telah pergi. Namun spirit nguri-nguri kebudayaan khusus Jawa dan sikap keislaman patut kita apresiasi. Dia telah mampu melakukan transformasi teologis "Jawa-Islam" tanpa harus mengurangi keagungan antarkeduanya.
Mbah Maridjan merupakan sedikit di antara pemimpin bangsa saat ini yang mampu memberi teladan baik. Dia pantang meninggalkan gelanggang yang merupakan tanggung jawabnya. Dia meyakini, Merapi bukan hantu yang menakutkan, melainkan sebuah gunung tempat bersemayam Sing Mbaurekso dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar. Inilah yang disebut Ahmad Syafii Ma‘arif, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai satu kata dengan perbuatan. Selamat jalan Mbah Maridjan. Doa kami senantiasa menyertai kepergianmu menghadap Sang Maha Pencipta. Wallahu a‘lam.
Peneliti, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Minggu, 29 Agustus 2010
Anomali Pilkada
Jurnal Nasional, Opini, Rabu, 25 Aug 2010
SEJAK 2005 nyaris tiada hari tanpa pemilihan kepala daerah (pilkada). Selama 2005-2008 telah digelar 484 pilkada. Tahun ini diperkirakan ada 244 pilkada. Rinciannya, tujuh pilkada provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghitung, biaya pilkada 2010-2014 mencapai Rp15 triliun.
Fenomena mahalnya biaya politik pilkada ini memperlihatkan demokrasi di Indonesia masih materialistis, belum substansial. KPU kabupaten/kota tahun 2010 menganggarkan Rp7 miliar sampai Rp10 miliar, KPU provinsi menganggarkan Rp50 miliar sampai Rp70 miliar. Dari sisi Panwas, dana yang dibutuhkan Rp3 miliar untuk kabupaten/kota dan Rp20 miliar untuk provinsi.
Selain biaya oleh pemerintah, calon pun harus menguras pundi-pundi kekayaan. Setidaknya setiap calon bupati harus mengeluarkan uang Rp5 miliar-Rp10 miliar. Bagi yang tidak berkantong tebal, disarankan tidak maju atau berlaga di pilkada.
Fenomena mahalnya biaya politik pilkada sebelumnya dikemukakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dia melontarkan, adanya paradoks antara biaya pilkada mahal dan tuntutan pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mendagri mengungkapkan, menjadi seorang gubernur, dibutuhkan dana Rp100 miliar, gaji gubernur Rp8,7 juta per bulan.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sistem dalam rintisan demokrasi Indonesia seperti pilkada berbiaya besar? Apakah sistem ini perlu diganti?
Kualitas Rendah
Pilkada yang menguras pundi-pundi kekayaan calon mengindikasikan pemilihan langsung di Indonesia berkualitas rendah--untuk tidak menyebut buruk. Belum ada kesadaran mendasar bahwa pilihan demokrasi ini untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironisnya, ini berlaku di seluruh level. Di level masyarakat, biasa pilkada menjadi ajang mengajukan berbagai macam proposal untuk kepentingan umum/masyarakat maupun pribadi. Mereka tidak pernah berpikir uang yang dikeluarkan calon berasal dari mana atau bagaimana nanti cara mengembalikan jika itu uang pinjaman/utang. Ini diperparah perilaku broker politik yang selalu menunggu momentum menguras harta calon pemimpin.
Di level calon pemimpin daerah pun terjebak dalam kubangan ini. Pemimpin yang seharusnya mampu memberikan teladan, malah menjadi bagian terbesar dalam menyalurkan hasrat membagikan uang demi sebuah kemenangan. Banyak pemimpin berpandangan, uang akan mampu mengalahkan segalanya, termasuk idealisme dalam menentukan pilihan. Calon pemimpin daerah pun terlalu berlebihan dalam sosialasi kepada masyarakat. Ini dapat dilihat dari pemasangan baliho hingga pelosok kampung. Pemasangan baliho secara berlebihan membutuhkan banyak biaya, padahal manfaat sangat sedikit atau tidak signifikan. Belum lagi membayar biaya kampanye di berbagai media massa, cetak dan noncetak.
Ruang Publik Politik
Jika demikian, apakah sistem ini perlu diganti? Tentu tidak. Sistem ini hanya butuh dibenahi. Beberapa hal yang perlu diagendakan, pertama, menciptakan ruang publik politis. Habermas menyatakan, ruang publik politis tidak lain hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengan sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif publik yang terdiri dari warga negara.
Ruang publik politis itu memungkinkan para warga menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu--sebagai kondisi komunikasi--bukanlah institusi juga organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Ia adalah momen politis atau keadaan yang dapat diakses oleh semua orang--ruang otonom yang berbeda dengan negara dan pasar. Dalam kerangka ruang publik inilah, Habermas membayangkan ada proses komunikasi yang menumbuhkan kekuatan solidaritas. Yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanan terhadap sumber-sumber lain, yaitu uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar tercapai sebuah keseimbangan (F Budi Hardiman: 2010).
Kedua, kesadaran calon tidak menjadikan uang sebagai senjata andalan. Menjadikan uang sebagai senjata andalan mencerminkan calon tidak memiliki basis massa jelas. Dia adalah calon pemimpin instan. Jika berniat mencalonkan diri, ada baiknya jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri atau melakukan investasi yang baik bagi masyarakat. Banyak calon terpilih di masyarakat, sebagaimana di sebuah Kabupaten di Padang Sumatera Barat tahun 2005, hanya berbekal uang jutaan rupiah mampu meraih kemenangan. Ini karena calon bupati terpilih lama dikenal baik masyarakat. Bahkan sang bupati maju didorong masyarakat itu sendiri.
Pendek kata, menjadi pemimpin berkualitas membutuhkan investasi lama. Tidak sekadar satu atau dua bulan dengan money politics atau serangan fajar.
Calon pemimpin harus tahu posisi dan manfaat bagi daerah. Dia adalah pengemban amanat rakyat dan konstitusi. Jadi setiap langkah harus mencerminkan kepribadian dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Dengan ini menjadi pemimpin tidaklah gampang.
Ketiga, kesadaran masyarakat. Momentum pilkada merupakan saat sebagian besar masa depan daerah dipertaruhkan. Maka jika orientasi hanya mengeruk kekayaan calon atau bahkan nek ora ono duit ora milih, sama artinya menjual daerah dengan harga sangat murah. Lebih dari itu, jika paradigma masyarakat masih berorientasi uang, rintisan demokrasi Indonesia akan berubah menjadi anarki dan petaka. Sebagaimana pengalaman hari ini, banyak pilkada berujung amuk massa, dan meninggalnya lingkaran dalam calon akibat stres berkepanjangan.
Pada akhirnya, pilkada adalah momentum memilih calon berdasarkan kebutuhan daerah. Juga visi misi yang diusung calon pemimpin guna kemajuan daerah. Jika pilkada masih penuh politik uang, harapan menjadikan daerah terdepan dalam inovasi dan mampu bersaing di pasar bebas akan sirna. Lebih jauh, rintisan demokrasi Indonesia dan cita-cita luhur akan rusak.
Benni Setiawan
Peneliti, Penulis Buku Pilkada dan Investasi Demokrasi (2006)
SEJAK 2005 nyaris tiada hari tanpa pemilihan kepala daerah (pilkada). Selama 2005-2008 telah digelar 484 pilkada. Tahun ini diperkirakan ada 244 pilkada. Rinciannya, tujuh pilkada provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghitung, biaya pilkada 2010-2014 mencapai Rp15 triliun.
Fenomena mahalnya biaya politik pilkada ini memperlihatkan demokrasi di Indonesia masih materialistis, belum substansial. KPU kabupaten/kota tahun 2010 menganggarkan Rp7 miliar sampai Rp10 miliar, KPU provinsi menganggarkan Rp50 miliar sampai Rp70 miliar. Dari sisi Panwas, dana yang dibutuhkan Rp3 miliar untuk kabupaten/kota dan Rp20 miliar untuk provinsi.
Selain biaya oleh pemerintah, calon pun harus menguras pundi-pundi kekayaan. Setidaknya setiap calon bupati harus mengeluarkan uang Rp5 miliar-Rp10 miliar. Bagi yang tidak berkantong tebal, disarankan tidak maju atau berlaga di pilkada.
Fenomena mahalnya biaya politik pilkada sebelumnya dikemukakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dia melontarkan, adanya paradoks antara biaya pilkada mahal dan tuntutan pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mendagri mengungkapkan, menjadi seorang gubernur, dibutuhkan dana Rp100 miliar, gaji gubernur Rp8,7 juta per bulan.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sistem dalam rintisan demokrasi Indonesia seperti pilkada berbiaya besar? Apakah sistem ini perlu diganti?
Kualitas Rendah
Pilkada yang menguras pundi-pundi kekayaan calon mengindikasikan pemilihan langsung di Indonesia berkualitas rendah--untuk tidak menyebut buruk. Belum ada kesadaran mendasar bahwa pilihan demokrasi ini untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironisnya, ini berlaku di seluruh level. Di level masyarakat, biasa pilkada menjadi ajang mengajukan berbagai macam proposal untuk kepentingan umum/masyarakat maupun pribadi. Mereka tidak pernah berpikir uang yang dikeluarkan calon berasal dari mana atau bagaimana nanti cara mengembalikan jika itu uang pinjaman/utang. Ini diperparah perilaku broker politik yang selalu menunggu momentum menguras harta calon pemimpin.
Di level calon pemimpin daerah pun terjebak dalam kubangan ini. Pemimpin yang seharusnya mampu memberikan teladan, malah menjadi bagian terbesar dalam menyalurkan hasrat membagikan uang demi sebuah kemenangan. Banyak pemimpin berpandangan, uang akan mampu mengalahkan segalanya, termasuk idealisme dalam menentukan pilihan. Calon pemimpin daerah pun terlalu berlebihan dalam sosialasi kepada masyarakat. Ini dapat dilihat dari pemasangan baliho hingga pelosok kampung. Pemasangan baliho secara berlebihan membutuhkan banyak biaya, padahal manfaat sangat sedikit atau tidak signifikan. Belum lagi membayar biaya kampanye di berbagai media massa, cetak dan noncetak.
Ruang Publik Politik
Jika demikian, apakah sistem ini perlu diganti? Tentu tidak. Sistem ini hanya butuh dibenahi. Beberapa hal yang perlu diagendakan, pertama, menciptakan ruang publik politis. Habermas menyatakan, ruang publik politis tidak lain hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengan sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif publik yang terdiri dari warga negara.
Ruang publik politis itu memungkinkan para warga menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu--sebagai kondisi komunikasi--bukanlah institusi juga organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Ia adalah momen politis atau keadaan yang dapat diakses oleh semua orang--ruang otonom yang berbeda dengan negara dan pasar. Dalam kerangka ruang publik inilah, Habermas membayangkan ada proses komunikasi yang menumbuhkan kekuatan solidaritas. Yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanan terhadap sumber-sumber lain, yaitu uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar tercapai sebuah keseimbangan (F Budi Hardiman: 2010).
Kedua, kesadaran calon tidak menjadikan uang sebagai senjata andalan. Menjadikan uang sebagai senjata andalan mencerminkan calon tidak memiliki basis massa jelas. Dia adalah calon pemimpin instan. Jika berniat mencalonkan diri, ada baiknya jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri atau melakukan investasi yang baik bagi masyarakat. Banyak calon terpilih di masyarakat, sebagaimana di sebuah Kabupaten di Padang Sumatera Barat tahun 2005, hanya berbekal uang jutaan rupiah mampu meraih kemenangan. Ini karena calon bupati terpilih lama dikenal baik masyarakat. Bahkan sang bupati maju didorong masyarakat itu sendiri.
Pendek kata, menjadi pemimpin berkualitas membutuhkan investasi lama. Tidak sekadar satu atau dua bulan dengan money politics atau serangan fajar.
Calon pemimpin harus tahu posisi dan manfaat bagi daerah. Dia adalah pengemban amanat rakyat dan konstitusi. Jadi setiap langkah harus mencerminkan kepribadian dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Dengan ini menjadi pemimpin tidaklah gampang.
Ketiga, kesadaran masyarakat. Momentum pilkada merupakan saat sebagian besar masa depan daerah dipertaruhkan. Maka jika orientasi hanya mengeruk kekayaan calon atau bahkan nek ora ono duit ora milih, sama artinya menjual daerah dengan harga sangat murah. Lebih dari itu, jika paradigma masyarakat masih berorientasi uang, rintisan demokrasi Indonesia akan berubah menjadi anarki dan petaka. Sebagaimana pengalaman hari ini, banyak pilkada berujung amuk massa, dan meninggalnya lingkaran dalam calon akibat stres berkepanjangan.
Pada akhirnya, pilkada adalah momentum memilih calon berdasarkan kebutuhan daerah. Juga visi misi yang diusung calon pemimpin guna kemajuan daerah. Jika pilkada masih penuh politik uang, harapan menjadikan daerah terdepan dalam inovasi dan mampu bersaing di pasar bebas akan sirna. Lebih jauh, rintisan demokrasi Indonesia dan cita-cita luhur akan rusak.
Benni Setiawan
Peneliti, Penulis Buku Pilkada dan Investasi Demokrasi (2006)
Jumat, 30 Juli 2010
Membangun Pendidikan Karakter
Jurnal Nasional, Selasa, 27 Jul 2010
BELUM lekang dari ingatan kasus video porno mirip Ariel-Cut Tary- Luna Maya. Kini sudah beredar video mesum mirip artis Ariel-Bunga Citra Lestari, dan oral seks yang diperagakan artis mirip Shireen Sungkar. Kasus ini tak pelak menyita perhatian media. Banyak kasus korupsi yang “kalah pamor” dengan video panas mirip artis.
Selain itu, kita juga menyaksikan betapa masyarakat Indonesia sudah tidak terkendali. Mereka mudah marah dan meluapkan emosi dengan merusak dan membakar aset negara. Sebagaimana disaksikan dalam pilkada di berbagai daerah. Seperti terjadi di Mojokerto Jawa Timur, Bima Nusa Tenggara Barat, dan Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Pertanyaan muncul bagaimana menyelesaikan persoalan kebangsaan ini?
Epistemologi Pendidikan Karakter
Salah satu yang dapat menyelesaikan persoalan pelik itu adalah membangun kembali pendidikan karakter. Phillips dalam The Great Learning (2000:11), menyebut pendidikan karakter sebagai if there is righteousness in the geart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the chacacter, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang dihadapi ini, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis membangun kembali jati diri bangsa. Dan menggalang pembentukan karakter masyarakat Indonesia. Penting segera dikemukakan -sebagaimana terihat dalam pernyataan Phillips- pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumah tangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu langkah pertama harus dilakukan menyambung kembali hubungan dan educational network yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentuk watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah kasih sayang (Azyumardi Azra: 2010).
Di sinilah inti pendidikan karakter. Yaitu dimulai dari lingkungan terkecil, rumah tangga dan keluarga. Dalam lingkungan rumah tangga dan keluarga, orang tua berkewajiban mengembangkan dan menanamkan nilai seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab. Juga rasa hormat terhadap diri maupun orang lain bersama nilai-nilai kinerja pendukung seperti ketekunan, etos kerja tinggi, dan kegigihan -sebagai basis karakter yang baik.
Cara paling mudah membangun anak sejak pagi hari, dan melatih mereka membersihkan kamar tidur sendiri, beribadat, dan membantu pekerjaan orang tua di pagi hari. Mendisiplinkan anak sejak dini akan mampu membentuk karakter anak mandiri.
Orang tua pun berkewajiban memberi contoh dan teladan baik dalam berhubungan. Orang tua perlu berkata dengan tutur lembut, namun tegas, mengajak anak bersosialisasi, dan mengenalkan hal-hal baru kepadanya. Langkah-langkah sederhana inilah yang akan membantu tumbuh kembang anak menjadi pribadi berkarakter.
Pelajaran Sejarah
Demikian pula di sekolah. Sekolah harus berkomitmen mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Lalu mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikan, sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai ini di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai nilai-nilai inti (Khoiruddin Bashori: 2010).
Pendidikan karakter pun dapat diajarkan melalui mata pelajar sejarah di sekolah. Mata pelajaran sejarah sudah saatnya diajarkan secara benar dan baik oleh guru. Model pengajaran sejarah saat ini seolah menafikan sejarah sebagai peristiwa yang sarat makna kehidupan. Alhasil, peristiwa sejarah yang seharusnya dipenuhi nilai-nilai perjuangan, kegagalan dan keberhasilan, kesalahan dan keunggulan, serta semangat tak terpatahkan memperjuangkan suatu kebenaran oleh para pelaku sejarah justru tidak diajarkan kepada peserta didik.
Penggalian nilai dan makna dalam setiap peristiwa sejarah merupakan keniscayaan. Materi pendidikan sejarah tidak boleh menempatkan pelaku sejarah sekadar sebagai sebuah nama yang berupaya mengubah jalan kehidupan umat manusia, tanpa mengindahkan nilai-nilai yang dimiliki pelaku (Kompas, 9 Juli 2010).
Maka dari itu, dibutuhkan kreativitas guru dalam mengolah bahan ajar sejarah menjadi lebih menarik. Guru dapat mengajak peserta didik mengetahui sejarah tempat tinggal masing-masing, dengan menugaskan peserta didik mewawancarai aparat atau sesepuh desa. Jadi, mereka mendapat dua nilai plus sekaligus. Yaitu, pengetahuan tentang sejarah itu sendiri, dan berusaha bersosialisasi dan mengenal tokoh masyarakat setempat. Demikian pula masyarakat. Masyarakat itu keluarga kedua bagi peserta didik. Masyarakat perlu menanamkan nilai dengan memberi teladan baik kepada peserta didik.
Kerja sama (networking) yang baik antara ketiga komponen pendidikan ini, akan mampu meminimalisasi dampak buruk pergaulan bebas sebagaimana yang direpresentasikan dalam peredaran video porno artis atau mirip artis.
Masyarakat akan mampu berpikir arif dan bijaksana dalam menerima kekalahan dan mencoba bangkit dari keterpurukan dengan semangat baru. Bukan melampiaskan dengan hal-hal kurang terpuji. Pada akhirnya, semoga dengan pendidikan karakter bangsa ini kembali mampu menghayati jati diri dan mengamalkan nilai-nilai luhur. Hingga yang disaksikan hari tidak akan terulang di kemudian hari.
Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=138495&pagecomment=1
BELUM lekang dari ingatan kasus video porno mirip Ariel-Cut Tary- Luna Maya. Kini sudah beredar video mesum mirip artis Ariel-Bunga Citra Lestari, dan oral seks yang diperagakan artis mirip Shireen Sungkar. Kasus ini tak pelak menyita perhatian media. Banyak kasus korupsi yang “kalah pamor” dengan video panas mirip artis.
Selain itu, kita juga menyaksikan betapa masyarakat Indonesia sudah tidak terkendali. Mereka mudah marah dan meluapkan emosi dengan merusak dan membakar aset negara. Sebagaimana disaksikan dalam pilkada di berbagai daerah. Seperti terjadi di Mojokerto Jawa Timur, Bima Nusa Tenggara Barat, dan Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Pertanyaan muncul bagaimana menyelesaikan persoalan kebangsaan ini?
Epistemologi Pendidikan Karakter
Salah satu yang dapat menyelesaikan persoalan pelik itu adalah membangun kembali pendidikan karakter. Phillips dalam The Great Learning (2000:11), menyebut pendidikan karakter sebagai if there is righteousness in the geart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the chacacter, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang dihadapi ini, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis membangun kembali jati diri bangsa. Dan menggalang pembentukan karakter masyarakat Indonesia. Penting segera dikemukakan -sebagaimana terihat dalam pernyataan Phillips- pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumah tangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu langkah pertama harus dilakukan menyambung kembali hubungan dan educational network yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentuk watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah kasih sayang (Azyumardi Azra: 2010).
Di sinilah inti pendidikan karakter. Yaitu dimulai dari lingkungan terkecil, rumah tangga dan keluarga. Dalam lingkungan rumah tangga dan keluarga, orang tua berkewajiban mengembangkan dan menanamkan nilai seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab. Juga rasa hormat terhadap diri maupun orang lain bersama nilai-nilai kinerja pendukung seperti ketekunan, etos kerja tinggi, dan kegigihan -sebagai basis karakter yang baik.
Cara paling mudah membangun anak sejak pagi hari, dan melatih mereka membersihkan kamar tidur sendiri, beribadat, dan membantu pekerjaan orang tua di pagi hari. Mendisiplinkan anak sejak dini akan mampu membentuk karakter anak mandiri.
Orang tua pun berkewajiban memberi contoh dan teladan baik dalam berhubungan. Orang tua perlu berkata dengan tutur lembut, namun tegas, mengajak anak bersosialisasi, dan mengenalkan hal-hal baru kepadanya. Langkah-langkah sederhana inilah yang akan membantu tumbuh kembang anak menjadi pribadi berkarakter.
Pelajaran Sejarah
Demikian pula di sekolah. Sekolah harus berkomitmen mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Lalu mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikan, sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai ini di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai nilai-nilai inti (Khoiruddin Bashori: 2010).
Pendidikan karakter pun dapat diajarkan melalui mata pelajar sejarah di sekolah. Mata pelajaran sejarah sudah saatnya diajarkan secara benar dan baik oleh guru. Model pengajaran sejarah saat ini seolah menafikan sejarah sebagai peristiwa yang sarat makna kehidupan. Alhasil, peristiwa sejarah yang seharusnya dipenuhi nilai-nilai perjuangan, kegagalan dan keberhasilan, kesalahan dan keunggulan, serta semangat tak terpatahkan memperjuangkan suatu kebenaran oleh para pelaku sejarah justru tidak diajarkan kepada peserta didik.
Penggalian nilai dan makna dalam setiap peristiwa sejarah merupakan keniscayaan. Materi pendidikan sejarah tidak boleh menempatkan pelaku sejarah sekadar sebagai sebuah nama yang berupaya mengubah jalan kehidupan umat manusia, tanpa mengindahkan nilai-nilai yang dimiliki pelaku (Kompas, 9 Juli 2010).
Maka dari itu, dibutuhkan kreativitas guru dalam mengolah bahan ajar sejarah menjadi lebih menarik. Guru dapat mengajak peserta didik mengetahui sejarah tempat tinggal masing-masing, dengan menugaskan peserta didik mewawancarai aparat atau sesepuh desa. Jadi, mereka mendapat dua nilai plus sekaligus. Yaitu, pengetahuan tentang sejarah itu sendiri, dan berusaha bersosialisasi dan mengenal tokoh masyarakat setempat. Demikian pula masyarakat. Masyarakat itu keluarga kedua bagi peserta didik. Masyarakat perlu menanamkan nilai dengan memberi teladan baik kepada peserta didik.
Kerja sama (networking) yang baik antara ketiga komponen pendidikan ini, akan mampu meminimalisasi dampak buruk pergaulan bebas sebagaimana yang direpresentasikan dalam peredaran video porno artis atau mirip artis.
Masyarakat akan mampu berpikir arif dan bijaksana dalam menerima kekalahan dan mencoba bangkit dari keterpurukan dengan semangat baru. Bukan melampiaskan dengan hal-hal kurang terpuji. Pada akhirnya, semoga dengan pendidikan karakter bangsa ini kembali mampu menghayati jati diri dan mengamalkan nilai-nilai luhur. Hingga yang disaksikan hari tidak akan terulang di kemudian hari.
Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=138495&pagecomment=1
Jumat, 11 Juni 2010
Selamatkan Anak Jateng dari Gizi Buruk
Forum, Kompas Jateng,Kamis, 10 Juni 2010 | 13:44 WIB
Sungguh ironis, di tengah perayaan Ke-102 Hari Kebangkitan Nasional, bangsa Indonesia khususnya Jawa Tengah masih berkutat menyelesaikan persoalan gizi buruk. Indikator Kompas edisi Jateng, tepat 20 Mei yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional, menunjukkan, kasus gizi buruk pada 2006-2009 rata-rata mencapai sekitar 2.000 penderita setiap tahun. Angka tersebut bila diakumulasikan dengan kasus yang belum tertangani tahun sebelumnya yang rata-rata sebanyak 2.200 kasus, total gizi buruk di Jateng dalam setahun, lebih dari 4.000 kasus.
Sayangnya, belum semua kasus itu tertangani hingga tuntas karena yang berhasil disembuhkan rata-rata baru sekitar 1.600 penderita per tahun. Sisanya, sekitar 40 kasus berakhir dengan kematian dan lebih dari 2.500 kasus lainnya menjadi beban penanganan tahun berikutnya.
Tingginya angka penderita gizi buruk ini tentunya berkait erat dengan permasalahan kemiskinan. Menurut data Bank Dunia, dengan kriteria penghasilan 2 dollar per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 124 juta orang atau separuh lebih (56,4 persen) dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta jiwa).
Kemiskinan menjadikan seseorang tidak mempunyai daya beli. Artinya, mereka akan kesulitan memberikan makanan sehat dan bergizi pada anak- anaknya. Mereka hanya mampu membeli bahan makan pokok saja, itu pun tidak setiap hari. Mereka sering kali menahan lapar akibat tidak tersedianya bahan makanan di dapurnya.
Akibat kemiskinan, menurut Unicef, sebanyak 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia di bawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan, setiap hari ada sekitar 5.000 anak di bawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu (Kompas, 28 Maret 2008).
Kemiskinan telah merenggut banyak korban jiwa. Kemiskinan juga telah merampas hak hidup manusia. Ia kehilangan kesempatan untuk hidup, mendapat penghidupan yang layak dengan cukup pangan dan gizi, serta kehilangan daya nalar intelektual akibat tidak tercukupinya nutrisi dalam tubuh.
Maka, sudah saatnya gizi buruk sebagai imbas dari kemiskinan diselesaikan secara bijak dan cermat. Beberapa hal yang sekiranya perlu diagendakan adalah, pertama, membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan. Ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup banyak akan mengurangi tingkat pengangguran. Dengan bekerja, mereka mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan setiap hari termasuk memberi makanan yang bergizi bagi anak-anaknya.
Banyaknya lapangan pekerjaan juga akan mampu mengurangi tingkat kriminalitas. Kriminalitas akibat kemiskinan akan lebih berbahaya dari pada faktor lain. Orang yang miskin-lapar akan berbuat apa saja demi mendapatkan sesuap nasi untuk mempertahankan hidup.
Lapangan pekerjaan pun semestinya tidak membedakan atau mensyaratkan lulusan pendidikan tertentu. Hal ini karena biaya pendidikan tidak mungkin dapat dijangkau masyarakat miskin. Oleh karena itu, dalam membuka lapangan pekerjaan hendaknya pemerintah, pengusaha, dan pihak terkait lebih melihat pada kemampuan atau niat mau bekerja keras. Syarat pendidikan hanya akan semakin menambah derita warga miskin.
Ketika harus mensyaratkan pendidikan sebagai modal dalam bekerja, pekerjaan pemerintah selanjutnya adalah memberikan akses pendidikan gratis dan berkualitas bagi rakyat.
Tentunya kita masih ingat janji Gubernur Jateng terpilih saat kampanye tahun lalu. Pemimpin baru di Jateng berjanji akan membuka akses lapangan kerja yang luas. Dengan maraknya kasus gizi buruk, sudah saatnya Gubernur merealisasikan janjinya tersebut.
Kedaulatan pangan
Kedua, membangun kedaulatan pangan. Artinya, pangan harus tersedia dengan cukup dan murah bagi rakyat kecil. Ketika pangan murah dan banyak, rakyat tidak akan kelaparan yang berakibat pada gizi buruk. Kedaulatan pangan juga berarti kesejahteraan bagi petani.
Kesejahteraan petani ditandai dengan murahnya harga bibit dan pupuk serta tingginya nilai jual gabah. Dengan kesejahteraan bagi petani, ia akan mandiri dan bangkit dari kemiskinan. Hal ini karena, menurut BPS, sebanyak 57 persen penduduk miskin di Indonesia adalah petani.
Ketiga, mengefektifkan kembali penyuluhan masyarakat melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu). Posyandu sudah saatnya merangkul warga pendatang. Selain itu, melalui penyuluhan yang benar dan teratur, orangtua akan merasa terpanggil untuk memeriksakan anaknya sebulan sekali. Kendala kesadaran orangtua yang enggan membawa anak ke posyandu sebagaimana dilaporkan Kompas edisi Jateng (20 Mei 2010) mungkin disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan arti penting posyandu.
Tokoh agama
Keempat, peran serta tokoh agama. Tokoh agama sudah saatnya mengabarkan kepada umatnya bahwa kemiskinan bukanlah kutukan atau kehendak Tuhan. Tuhan tidak menginginkan umatnya miskin dan menderita. Dalam ajaran Islam misalnya, disebutkan bahwa, "Tuhan tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut mengubahnya sendiri". Oleh karena itu, mendorong umat untuk terus berusaha dan bekerja guna keluar dari jeratan kemiskinan adalah kunci utamanya.
Pada akhirnya, anak-anak Indonesia khususnya di Jateng perlu dibebaskan dari derita gizi buruk akibat kemiskinan orangtuanya. Ketika anak Indonesia masih saja dalam belenggu gizi buruk akibat orangtua mereka miskin dan pemerintah hanya diam seribu bahasa, saat ini kita sedang menyaksikan dan meninggalkan generasi muda penerus bangsa yang lemah (rapuh).
BENNI SETIAWAN Peneliti, Tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah
Sungguh ironis, di tengah perayaan Ke-102 Hari Kebangkitan Nasional, bangsa Indonesia khususnya Jawa Tengah masih berkutat menyelesaikan persoalan gizi buruk. Indikator Kompas edisi Jateng, tepat 20 Mei yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional, menunjukkan, kasus gizi buruk pada 2006-2009 rata-rata mencapai sekitar 2.000 penderita setiap tahun. Angka tersebut bila diakumulasikan dengan kasus yang belum tertangani tahun sebelumnya yang rata-rata sebanyak 2.200 kasus, total gizi buruk di Jateng dalam setahun, lebih dari 4.000 kasus.
Sayangnya, belum semua kasus itu tertangani hingga tuntas karena yang berhasil disembuhkan rata-rata baru sekitar 1.600 penderita per tahun. Sisanya, sekitar 40 kasus berakhir dengan kematian dan lebih dari 2.500 kasus lainnya menjadi beban penanganan tahun berikutnya.
Tingginya angka penderita gizi buruk ini tentunya berkait erat dengan permasalahan kemiskinan. Menurut data Bank Dunia, dengan kriteria penghasilan 2 dollar per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 124 juta orang atau separuh lebih (56,4 persen) dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta jiwa).
Kemiskinan menjadikan seseorang tidak mempunyai daya beli. Artinya, mereka akan kesulitan memberikan makanan sehat dan bergizi pada anak- anaknya. Mereka hanya mampu membeli bahan makan pokok saja, itu pun tidak setiap hari. Mereka sering kali menahan lapar akibat tidak tersedianya bahan makanan di dapurnya.
Akibat kemiskinan, menurut Unicef, sebanyak 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia di bawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan, setiap hari ada sekitar 5.000 anak di bawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu (Kompas, 28 Maret 2008).
Kemiskinan telah merenggut banyak korban jiwa. Kemiskinan juga telah merampas hak hidup manusia. Ia kehilangan kesempatan untuk hidup, mendapat penghidupan yang layak dengan cukup pangan dan gizi, serta kehilangan daya nalar intelektual akibat tidak tercukupinya nutrisi dalam tubuh.
Maka, sudah saatnya gizi buruk sebagai imbas dari kemiskinan diselesaikan secara bijak dan cermat. Beberapa hal yang sekiranya perlu diagendakan adalah, pertama, membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan. Ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup banyak akan mengurangi tingkat pengangguran. Dengan bekerja, mereka mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan setiap hari termasuk memberi makanan yang bergizi bagi anak-anaknya.
Banyaknya lapangan pekerjaan juga akan mampu mengurangi tingkat kriminalitas. Kriminalitas akibat kemiskinan akan lebih berbahaya dari pada faktor lain. Orang yang miskin-lapar akan berbuat apa saja demi mendapatkan sesuap nasi untuk mempertahankan hidup.
Lapangan pekerjaan pun semestinya tidak membedakan atau mensyaratkan lulusan pendidikan tertentu. Hal ini karena biaya pendidikan tidak mungkin dapat dijangkau masyarakat miskin. Oleh karena itu, dalam membuka lapangan pekerjaan hendaknya pemerintah, pengusaha, dan pihak terkait lebih melihat pada kemampuan atau niat mau bekerja keras. Syarat pendidikan hanya akan semakin menambah derita warga miskin.
Ketika harus mensyaratkan pendidikan sebagai modal dalam bekerja, pekerjaan pemerintah selanjutnya adalah memberikan akses pendidikan gratis dan berkualitas bagi rakyat.
Tentunya kita masih ingat janji Gubernur Jateng terpilih saat kampanye tahun lalu. Pemimpin baru di Jateng berjanji akan membuka akses lapangan kerja yang luas. Dengan maraknya kasus gizi buruk, sudah saatnya Gubernur merealisasikan janjinya tersebut.
Kedaulatan pangan
Kedua, membangun kedaulatan pangan. Artinya, pangan harus tersedia dengan cukup dan murah bagi rakyat kecil. Ketika pangan murah dan banyak, rakyat tidak akan kelaparan yang berakibat pada gizi buruk. Kedaulatan pangan juga berarti kesejahteraan bagi petani.
Kesejahteraan petani ditandai dengan murahnya harga bibit dan pupuk serta tingginya nilai jual gabah. Dengan kesejahteraan bagi petani, ia akan mandiri dan bangkit dari kemiskinan. Hal ini karena, menurut BPS, sebanyak 57 persen penduduk miskin di Indonesia adalah petani.
Ketiga, mengefektifkan kembali penyuluhan masyarakat melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu). Posyandu sudah saatnya merangkul warga pendatang. Selain itu, melalui penyuluhan yang benar dan teratur, orangtua akan merasa terpanggil untuk memeriksakan anaknya sebulan sekali. Kendala kesadaran orangtua yang enggan membawa anak ke posyandu sebagaimana dilaporkan Kompas edisi Jateng (20 Mei 2010) mungkin disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan arti penting posyandu.
Tokoh agama
Keempat, peran serta tokoh agama. Tokoh agama sudah saatnya mengabarkan kepada umatnya bahwa kemiskinan bukanlah kutukan atau kehendak Tuhan. Tuhan tidak menginginkan umatnya miskin dan menderita. Dalam ajaran Islam misalnya, disebutkan bahwa, "Tuhan tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut mengubahnya sendiri". Oleh karena itu, mendorong umat untuk terus berusaha dan bekerja guna keluar dari jeratan kemiskinan adalah kunci utamanya.
Pada akhirnya, anak-anak Indonesia khususnya di Jateng perlu dibebaskan dari derita gizi buruk akibat kemiskinan orangtuanya. Ketika anak Indonesia masih saja dalam belenggu gizi buruk akibat orangtua mereka miskin dan pemerintah hanya diam seribu bahasa, saat ini kita sedang menyaksikan dan meninggalkan generasi muda penerus bangsa yang lemah (rapuh).
BENNI SETIAWAN Peneliti, Tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah
Kamis, 03 Juni 2010
Pertarungan Gengsi di Sukoharjo
Wacana Lokal, Suara Merdeka, 05 Mei 2010
Melihat peta politik yang demikian maka pilkada merupakan pertarungan dua petahana (TBR-Tarto dan Hadi) melawan wajah baru (Warto)
JIKA Anda warga Kabupaten Sukoharjo pasti gregeten melihat dimanika politik menjelang pilkada (terminologi KPU=pemilihan umum kepada daerah-pemilukada). Pasalnya, tahapan demi tahapan pesta demokrasi dilalui dengan perasaan yang cukup mendebarkan.
Betapa tidak, pada awal penjaringan calon di internal partai, terutama partai berkuasa dan peraih kursi terbanyak di DPR, PDIP dengan cukup menegangkan akhirnya memilih pasangan Wardoyo Wijaya-Haryanto (Warto), sebagai calon bupati dan calon wakil bupati mengalahkan Titik Suprapti (istri Bupati Bambang Riyanto).
Setelah tersingkir dari calon bupati dari PDIP, Titik Suprapti atau yang akrab disapai TBR (Titik Bambang Riyanto) ini banting stir/pindah haluan mencari kendaraan politik baru. TBR akhirnya dipinang Partai Golkar versi Giyarto berpasangan dengan Sutarto (TBR-Tarto). Di sisi lain, Partai Golkar versi Langenharjo di bawah pimpinan Mudjijono (Sekretaris DPD II Partai Golkar 2004-2009), juga mengusung pasangan Bambang Margono (BM)-Sumarmo.
Sebagai informasi BM merupakan calon bupati Kabupaten Sukoharjo pada pilkada 2005 yang bersaing ketat dengan pasangan Bambang Riyanto-Muhammad Thoha (Barito). Pasangan Barito kala itu menang tipis 800 suara dari BM.
Dengan penetapan KPU ini, berarti laga final pilkada Sukoharjo akan diikuti oleh tiga pasang calon yaitu Warto, TBR-Tarto, dan Hadi (Muhammad Thoha-Wahyudi).
Muhammad Thoha, merupakan wakil bupati (periode 2005-2010), yang di akhir masa jatabannya memilih menjadi anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Namun, kini ia kembali ke ‘’rumah’’ dan mengadu keberuntungan menjadi AD-1-B atau Sukoharjo 1 (sebutan untuk posisi bupati). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa peilkada menarik untuk dicermati dan dikaji lebih lanjut?
Banyak orang berpendapat, pilkada Sukoharjo sarat dengan gengsi pribadi dan sentimen partai politik (parpol). Jika pasangan TBR-Tarto menang, ini adalah pukulan bagi PDIP umumnya dan pasangan Warto pada khususnya. TBR mungkin akan kembali ke PDIP dan menggusur Wardoyo Wijaya dari Ketua DPC PDIP Sukoharjo, dan meneruskan perjuangan suaminya yang pernah memimpin partai berlambang banteng moncong putih ini. Kemenangan TBR-Tarto juga berarti langengnya dinasti politik Bambang Riyanto.
Dua Periode Namun, jika Warto yang menang, maka habisnya dinasti politik lokal Bambang Riyanto. TBR akan sulit untuk kembali di rumah lama (PDIP) walaupun mungkin TBR akan tetap di Partai Golkar dan mencoba keberuntungan pada tahun 2014.
Kemenangan Warto juga merupakan kekalahan bagi petahana (incumbent). Saya menyebut petahana karena pasangan TBR-Tarto pada dasarnya adalah penguasa Sukoharjo saat ini. Dan pasangan Hadi merupakan petahana mengingat Muhammad Thoha adalah wakil bupati dua periode berturut-turut (2000-2005 dan 2005-2010).
Lebih dari itu, TBR mungkin akan sedikit lega jika yang menang adalah Hadi. Selain kekalahan tidak terlalu menyakitkan karena yang jadi bukanlah ‘’musuh’’ utamanya, ia pun akan cukup aman untuk dapat mencari kendaraan politik, selain PDI Perjuangan dan Partai Golkar.
Demikian sebaliknya, jika pasangan Hadi kalah maka ini adalah pukulan telak bagi Muhammad Thoha. Pamornya sebagai mantan wakil bupati dan anggota DPR dari Sukoharjo bisa memudar. Walaupun ia dapat kembali ke Senayan, akan sulit baginya untuk terus eksis mewakili daerah pemilihan (Dapil V) Jateng yang meliputi Solo, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali.
Tidak dapat disangkal melenggangnya Muhammad Thoha ke Senayan adalah berkat agitasi kampanye ‘’saatnya Sukoharjo mempunyai wakil di DPR’’ yang menjadi jargon Thoha saat kampanye pada pemilu legislatif 2009. Kekelahan Thoha juga mencerminkan belum maksimalnya pengabdian anggota legislatif PKB ini untuk daerahnya.
Melihat peta politik yang demikian maka pilkada di kabupaten ini merupakan pertarungan dua petahana (TBR-Tarto dan Hadi) melawan wajah baru (Warto) dengan berbagai persoalan yang melingkupinya. Seberapa merakyatnya petahana dan kuatnya arus pengusung perubahan dengan jargon pemimpin baru harapan baru, kita nantikan bersama pada hari Kamis, 3 Juni 2010. (10)
— Benni Setiawan, warga Kabupaten Sukoharjo
Antisipasi Serangan Fajar Sukoharjo
Wacana Lokal,Suara Merdeka, 03 Juni 2010
HARI Kamis ini, warga Kabupaten Sukoharjo akan memilih pemimpin daerahnya, untuk lima tahun ke depan. Di tengah sunyinya masa tenang, ada hal yang perlu diwaspadai, yaitu praktik politik uang atau serangan fajar dari tim sukses calon bupati atau wakilnya dalam membujuk warga.
Modusnya biasa dilakukan mendekati hari H pemilihan dan pasti secara sembunyi-sembunyi. Dalam praktiknya tim sukses calon akan membagikan uang atau barang sebagai iming-iming atas partisipasi warga memilih calon tertentu.
Kegiatan tersebut di atas telah menjadi budaya sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan, kegiatan money politics adalah bagian yang selalu dicari oleh calo politik. Ia akan menguras habis pundi-pundi kekayaan calon dengan imbalan atau janji suara dengan menjual kelompok organisasi massa (ormas) dan kelompok masyarakat tertentu.
Modus yang digunakan oleh calo politik biasanya sangat rapi dan sulit untuk dideteksi oleh Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu dan polisi. Modus ini dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah warga dengan alasan bertamu, tempat-tempat di mana banyak warga berkumpul, bahkan di sawah atau pun di pasar.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana masyarakat harus menyikapi hal ini? Serangan fajar harus disikapi dengan arif.
Artinya, masyarakat harus paham bahwa masa depan Sukoharjo ada di tangan rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya. Jika rakyat salah memilih pemimpinnya maka kehidupan demokrasi dan tatanan bermasyarakat akan rusak, minimal untuk lima tahun mendatang.
Masyarakat harus yakin dengan pilihannya, bukan karena uang atau barang yang diberikan oleh tim sukses seorang calon. Masyarakat juga perlu disadarkan bahwa menerima imbalan uang atau barang dari salah satu calon akan membuat hidup mereka menderita. Artinya, menentukan pilihan atas dasar uang atau barang adalah pilihan kurang bijak, kalau tidak mau disebut pilihan bodoh.
Masyarakat tentunya telah mencermati masa kampanye beberapa waktu lalu. Masa kampanye adalah saatnya masyarakat mulai berpikir dan menentukan siapa yang akan dipilihnya.
Masa kampanye bukan hanya kegembiraan sesaat dengan konvoi keliling kota, dan hiburan musik dangdut. Masa kampanye adalah waktu efektif mencari tahu apa yang akan dibawa calon pemimpin daerah lima tahun mendatang.
Dengan demikian warga akan mampu berpikir dan mantap menentukan pilihan, bukan karena uang atau barang melainkan berdasarkan hati nurani. Serangan fajar sebenarnya dapat dicegah dengan kesadaran calon atau tim sukses untuk tidak memberikan uang atau barang kepada pemilih.
Sebuah hal yang sangat tidak etis jika kemenangan yang diraih adalah hasil membeli suara rakyat. Padahal sebagaimana kita ketahui suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan demikian, berani membeli suara rakyat berarti berani membeli suara Tuhan.
Merugikan Rakyat Pemimpin daerah sudah saatnya berpikir lebih maju. Artinya, perkembangan sistem demokrasi Indonesia akan selalu diwarnai oleh perilaku pemimpin daerah. Jika pemimpin daerahnya suka membeli suara rakyat, berarti ada indikasi mereka akan berani mengambil uang rakyat dengan semena-mena.
Perilaku korupsi yang banyak dilakukan pejabat saat ini salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya politik yang dikeluarkan seseorang. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat pos anggaran baru dengan membuat peraturan-peraturan daerah agar uang yang mereka keluarkan bisa kembali.
Lebih dari itu, ia akan memberikan banyak peluang kepada pengusaha nakal yang telah mendanainya untuk mengusai proyek-proyek pemerintah daerah (pemda) yang pada akhirnya merugikan kepentingan rakyat.
Praktik politik uang dengan membagikan uang atau barang adalah cikal bakal korupsi yang harus dibasmi. Masyarakat sudah saatnya menolak segala pemberian dari calon bupati atau wakil bupati. Menerima pemberian uang atau barang berarti telah menggadaikan masa depan daerah dan bangsa.
Cikal bakal perilaku korupsi ini sudah saatnya diketahui oleh masyarakat. Sudah saatnya warga Kabupaten Sukoharjo menjadi pemilih kritis dan masyarakat terdidik dalam memilih calon pemimpinnya. Pemilih kritis tidak akan tergoyahkan oleh rayuan atau bujuk rayu tim sukses yang berbekal uang atau barang.(10)
— Benni Setiawan, warga Kabupaten Sukoharjo, penulis buku Pilkada dan Investasi Demokrasi (2006)
Selasa, 13 April 2010
Selamatkan Anak Indonesia dari Rokok
Forum, Kompas edisi Jawa Tengah, Selasa, 13 April 2010
Fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah seakan semakin menguatkan fatwa serupa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari 2009. Sebagaimana fatwa MUI, fatwa ini pun mengundang pro dan kontra.
Di tengah pro kontra tersebut, patut diketahui bahwa jumlah perokok di Indonesia ketiga terbesar di dunia. Konsumsi rokok tahun 2008 mencapai 240 miliar batang, sedangkan penduduk yang merokok mencapai 60 juta orang—sekitar 25 persen populasi Indonesia.
Ironisnya, anak-anak usia sekolah dasar (SD) sudah berani mencoba merokok walaupun masih sembunyi-sembunyi. Ketika menginjak usia sekolah menengah pertama (SMP), mereka sudah berani terang-terangan merokok di depan umum. Mereka lebih mementingkan sebatang rokok daripada membeli nasi untuk mengganjal perut yang sudah mulai keroncongan. “Tanpa rokok hidup hampa”, katanya. Menurut data Komnas Anak, setidaknya 91,8 persen perokok berusia di bawah 10 tahun.
Di Indonesia, menurut data Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), setidaknya 427.948 orang meninggal setiap tahun akibat rokok. Lebih dari itu, menurut data survei pada tahun 2006, 57 persen atau separoh lebih rumah tangga di Indonesia memiliki perokok aktif. Sedangkan jumlah perokok pasif 97,5 juta jiwa atau hampir separoh jumlah penduduk Indonesia, di antaranya 65,8 juta adalah perempuan dan anak-anak.
Maka sudah saatnya generasi penerus bangsa ini dilindungi agar asap rokok tidak merusak masa depan mereka. Kemudian bagaimana agar anak-anak kita sehat tanpa rokok?
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah pertama, menaikan harga rokok. Sampai saat ini harga rokok di Indonesia sangat murah,, yakni 38 persen atau terendah setelah Kamboja.
Menaikan harga rokok dapat dilakukan dengan menaikan pajaknya. Cukai tembakau di Indonesia yang sekarang berkisar 30-40 persen, sudah saatnya dinaikan menjadi 50-60 persen secara bertahab. Dengan dinaikannya cukai tembakau ini akan berimbas langsung pada harga jual rokok. Rokok akan menjadi barang mahal semahal emas. Dengan demikian, setiap orang akan berfikir seribu kali untuk membelanjakan uangnya hanya untuk membeli rokok.
Menaikan cukai tembakau juga merupakan sarana mendidik masyarakat bercikir cerdas yang cukup efektif. Dengan mahalnya harga rokok tentunya masyarakat akan berfikir dari pada menghabiskan uang untuk hal yang tidak berguna. Alangkah baiknya uang tersebut ditabung untuk menata hari depan. Atau daripada uang dibelikan rokok alangkah lebih baik untuk membeli buku bacaan yang mencerdaskan.
Kedua, menghentikan iklan promosi rokok. Iklan rokok yang hadir dalam media elektronik dan cetak sudah saatnya dihentikan demi masa depan generasi penerus bangsa.
Coba simaklah iklan rokok yang tidak masuk akal di layar televisi Anda. Bagaimana mungkin rokok dapat menjadikan seseorang “lebih hidup”, “pria pemberani”, “membuat bangga” dan seterusnya? Iklan yang tidak mendidik masyarakat ini sudah saatnya disikapi dengan bijak oleh lembaga sensor iklan atau lembaga yang berwenang lainnya. Dan menghentikan penayangannya adalah pilihan tepat dan bijak.
Membatasi iklan di televisi atau media elektronik lainnya perlu didukung dengan membatasi juga iklan rokok melalui baner, reklame, atau pun spanduk di pinggir-pinggir jalan. Iklan rokok yang sudah memenuhi badan jalan dan menganggu kenyamanan umum sudah saatnya ditertibkan. Selain sebagai bentuk kampanye untuk tidak merokok juga untuk menjaga kesejukan dan kenyamanan kota.
Membatasi atau melarang iklan rokok juga sesuai dengan rekomendasi Komnas Anak. Komnas Anak berpendapat bahwa iklan rokok telah mengajarkan hal yang tidak baik bagi anak-anak. Banyak anak-anak muda tersugesti akibat iklan rokok yang berlebihan. Menurut survei Komnas PA tahun 2007 sebanyak 99,7 persen anak melihat iklan rokok di televisi, dan 68 persen berkesan positif. Separoh anak lebih percaya diri seperti di iklan.
Ketiga, larangan merokok di tempat-tempat umum. Sebagaimana telah ada di DKI Jakarta, Kota Bandung, dan di beberapa wilayah lainnya yang akan menerapkan perda larangan merokok di tempat umum, seperti di Rembang, Jawa Tengah, Surabaya dan Gresik, Jawa Timur. Perda ini sudah saatnya didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Hal ini karena, merokok adalah perbuatan sia-sia yang dapat merusak organ tubuh manusia. Lebih dari itu, merokok di tempat umum dapat menimbulkan polusi udara dan pada dasarnya menganggu “kemerdekaan” orang lain yang tidak merokok.
Rokok adalah pembunuh nyata yang patut kita waspadai. Artinya, mengajak dan mendidik masyarakat agar menghentikan pekerjaan sia-sia itu adalah kata kuncinya.
Sudah saatnya manusia Indonesia dapat bertahan hidup selama lebih dari satu abad (100 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian Robert Butler dalam Biogenetic Maximum Life Span sebagaimana dikutip Hendrawan Nadesul (2008). Robert Butler menyatakan bahwa secara biologis umur manusia dapat diulur hingga 120 tahun. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dengan hidup sehat, yaitu tidak merokok.
Pada akhirnya, maka matikan rokok Anda sekarang, sebelum rokok mematikan Anda. Selamatkan anak Indonesia dari rokok.
Benni Setiawan, Peneliti, tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah.
Jumat, 02 April 2010
Kuliah Kerja Nyata Tematis
Media Indonesia, Kolom Pendidikan, Senin, 29 Maret 2010 00:00 WIB
Slogan 'Bali ndeso mbangun ndeso' pernah dipopulerkan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo-Rustriningsih. Sebuah gagasan genuine dalam membangun Jawa Tengah ke depan. Bali ndeso berarti pulang ke desa dengan maksud mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat desa. Mbangun ndeso berarti membangun tatanan masyarakat dengan penuh keikhlasan demi kemakmuran bangsa dan negara. Pendek kata, cita-cita ideal ini menghendaki terciptanya desa sejahtera yang berarti kemakmuran negara. Artikel ini akan mencoba mengkritisi program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal yang menggandeng dua universitas besar yaitu Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam penyelenggaraan kuliah kerja nyata (KKN) tematis pada tahun 2010.
KKN tematis bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini bertujuan untuk merangsang mahasiswa terdorong kembali ke daerahnya masing-masing setelah lulus. Sampai saat ini, masih ada sekitar 123 kabupaten (62%) di kawasan Indonesia timur, 58 kabupaten (29%) di Sumatra, 18 Kabupaten (9%) di Jawa, dan 18 kabupaten (9%) di Bali yang tergolong daerah tertinggal.
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zaini menilai keterlibatan mahasiswa dalam pembangunan daerah tertinggal penting karena mahasiswa adalah agen perubahan yang diharapkan dapat menggerakkan masyarakat di daerah berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi (Media Indonesia, 15 Januari 2010). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjadikan mahasiswa siap terjun ke daerah untuk membangun masyarakatnya?
Sejak dini
Kesiapan mahasiswa untuk terjun ke daerah harus dimulai sejak masuk di bangku kuliah (semester pertama). Mahasiswa harus mempunyai cakrawala atau pandangan yang luas bahwa kuliah bukan hanya sekadar mengisi waktu kosong, daripada menjadi penganggur, untuk mencari gelar, dihormati masyarakat, lulus jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan seterusnya. Dalam setiap diri mahasiswa harus ditanamkan semangat kepemudaan yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Karena itu penting untuk ditawarkan skema leadership training program yang berorientasi membangun kembali desa asal mereka, terutama ketika masa orientasi mahasiswa di awal perkuliahan.
Jiwa kepemimpinan ini dapat dipupuk dengan menanamkan pada diri setiap mahasiswa bahwa ia adalah manusia terpilih (khoiro al ummah, the chosen people). Maka, tugasnya bukan hanya belajar dan membaca buku, membuat makalah serta dapat mengerjakan ujian semester dengan baik sehingga mendapatkan nilai A. Mahasiswa harus dapat mengisi waktunya untuk bergaul, bertukar informasi dan pengalaman, berorganisasi, dan memperluas jaringan. Dengan demikian mereka akan siap menghadapi kehidupan nyata yang kompleks.
Penting untuk sedini mungkin menghidupkan kesadaran mahasiswa tentang relevansi kehidupan kampus dengan kerasnya kehidupan di luar kampus. Karena kehidupan itu sendiri sering kali tidak sesuai antara teori yang senantiasa digeluti di bangku perguruan tinggi dan kenyataan yang akan mereka terima dan alami. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin mahasiswa dapat memperluas jaringan dan mengasah keterampilannya dengan berorganisasi di tengah semakin rigidnya peraturan dan padatnya sistem kurikulum pada perguruan tinggi?
Buka ruang
Sebagaimana kita ketahui bersama, di seluruh perguruan tinggi kini diterapkan sistem presensi (mengikuti kuliah) minimal 75% secara ketat. Tanpa batas minimal ini, seorang mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti ujian semester. Maka secara otomatis mereka harus mengulang di tahun depan. Ketatnya sistem perkuliahan ini sering kali membuat mahasiswa gamang menatap masa depan. Mahasiswa seakan diformat sedemikian rupa agar segera lulus pada semester delapan, memperoleh nilai memuaskan, bahkan cum laude (dengan pujian), bekerja sesuai dengan bidang yang digeluti (linier), dan seterusnya.
Dengan keadaan seperti ini, sulit bagi mahasiswa untuk berkembang mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki. Mahasiswa terkekang (baca: dikekang) oleh sistem pendidikan yang kaku, sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak. Tidak banyak mahasiswa yang berpikiran progresif dan mau melawan arus. Mahasiswa lebih banyak berpikiran pragmatis dalam meniti karier. Maka tidak aneh, ketika lulus pun, mereka akan menjadi penganggur terbuka yang kini jumlahnya mencapai 1.183.140 sarjana.
Guna menunjang suksesnya program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini, perguruan tinggi harus mau membuka ruang gerak mahasiswa untuk berkarya. Ruang terbuka dimaksud adalah, salah satunya, dengan mencoba memasukkan unsur keterampilan sosial (social skills) ke beberapa pokok bahasan mata kuliah secara berkesinambungan. Tanpa adanya ruang terbuka ini sulit bagi pemerintah umumnya dan mahasiswa pada khususnya untuk berkarya di daerah (apalagi daerah tertinggal).
Untuk menjaga konsistensi sekaligus membuktikan bahwa keterampilan sosial tersebut berguna secara nyata, program KKN tematis kembali ke desa juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Artinya, waktu satu hingga dua bulan dalam KKN akan sangat bermanfaat jika sisipan program keterampilan sosial mendapatkan relevansinya dalam program KKN tematis terebut. Jika ini yang terjadi berarti setiap komponen di perguruan tinggi dapat bekerja sama dan saling mendukung dalam menyukseskan program kerja ini secara berkesinambungan. Kesinambungan merupakan kata kunci suksesnya rencana program ini.
Misalnya, angkatan pertama, yang menurut data kementerian mencapai 6.000 mahasiswa dari UGM Yogyakarta, melakukan pendataan kebutuhan dan meletakkan fondasi kegiatan. Mahasiswa angkatan kedua dan seterusnya berkewajiban melanjutkan program tersebut, hingga target-target yang telah ditetapkan tercapai. Dengan demikian KKN bukan hanya sebagai ajang pindah tidur, hura-hura, liburan, dan sarana mencari calon jodoh, tapi mempunyai arti bagi masyarakat.
KKN tematis kembali ke desa akan lebih bermanfaat jika menyentuh persoalan riil di masyarakat dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Prinsip kemandirian dapat dilakukan mahasiswa dengan mengajak masyarakat memetakan sendiri kebutuhan mereka berdasarkan potensi daerahnya masing-masing. Semacam community need assessment yang dilanjutkan dengan serangkaian focus group discussion (FGD) adalah di antara teknik-teknik KKN tematis yang harus dikembangkan mahasiswa di tengah masyarakat. Hal ini karena, selain masyarakat sudah sadar bahwa kemajuan daerah tidak akan pernah terwujud tanpa adanya peran serta masyarakat desa itu sendiri, juga akan membantu mereka untuk merumuskan beragam skema solusi alternatif yang selama ini tidak pernah ditemukan jalan keluarnya. Pemetaan potensi masyarakat dan sumber daya alam daerah menjadi kunci utama program ini. Tanpa hal tersebut, KKN tematis hanya akan semakin menambah beban negara.
Selain mengoptimalkan program KKN tematis ini, pemerintah perlu memberikan dukungan kepada putra daerah untuk berkiprah di daerahnya. Salah satunya dengan memberikan modal dan pelatihan sebagaimana pernah diprogramkan oleh calon Presiden M Jusuf Kalla pada Pemilu 2009 lalu. Pemberian modal melalui bank pemerintah yang sudah mulai dirintis sudah saatnya terus disosialisasikan dan menjadi agenda kerja bersama.
KKN tematis kembali ke desa pada dasarnya merupakan manifestasi dari apa yang telah dikatakan oleh Paulo Freire bahwa seseorang bukanlah intelektual jika hanya mau hidup di kota dan melupakan desanya. Semakin banyak intelektual hidup di kota, berarti sistem pendidikan di Tanah Air gagal menciptakan iklim atau tradisi pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan. Pendidikan seperti ini hanya akan semakin melanggengkan sistem feodal. Kaum intelektual hanya akan menjadi menara gading yang jauh bersentuhan dengan realitas sosial.
Pada akhirnya, program KKN tematis yang digawangi oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini perlu didukung sebagai upaya mengembalikan intelektual ke desa. Kaum intelektual harus kembali ke desa membangun tatanan masyarakat yang berkepribadian dan berkemandirian. Tanpa sentuhan kaum intelektual di desa, akan semakin banyak pemuda desa menjadi penganggur, masyarakat desa terampas hak-haknya oleh penguasa daerah, dan bangsa ini akan kehilangan kesempatan untuk bersaing dengan bangsa lain. Semoga rencana Kementerian PDT ini merupakan ijtihad dalam mengurangi pengangguran dan menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.
Oleh Benni Setiawan Pengamat Pendidikan, tinggal di Sukoharjo
Slogan 'Bali ndeso mbangun ndeso' pernah dipopulerkan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo-Rustriningsih. Sebuah gagasan genuine dalam membangun Jawa Tengah ke depan. Bali ndeso berarti pulang ke desa dengan maksud mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat desa. Mbangun ndeso berarti membangun tatanan masyarakat dengan penuh keikhlasan demi kemakmuran bangsa dan negara. Pendek kata, cita-cita ideal ini menghendaki terciptanya desa sejahtera yang berarti kemakmuran negara. Artikel ini akan mencoba mengkritisi program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal yang menggandeng dua universitas besar yaitu Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam penyelenggaraan kuliah kerja nyata (KKN) tematis pada tahun 2010.
KKN tematis bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini bertujuan untuk merangsang mahasiswa terdorong kembali ke daerahnya masing-masing setelah lulus. Sampai saat ini, masih ada sekitar 123 kabupaten (62%) di kawasan Indonesia timur, 58 kabupaten (29%) di Sumatra, 18 Kabupaten (9%) di Jawa, dan 18 kabupaten (9%) di Bali yang tergolong daerah tertinggal.
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zaini menilai keterlibatan mahasiswa dalam pembangunan daerah tertinggal penting karena mahasiswa adalah agen perubahan yang diharapkan dapat menggerakkan masyarakat di daerah berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi (Media Indonesia, 15 Januari 2010). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjadikan mahasiswa siap terjun ke daerah untuk membangun masyarakatnya?
Sejak dini
Kesiapan mahasiswa untuk terjun ke daerah harus dimulai sejak masuk di bangku kuliah (semester pertama). Mahasiswa harus mempunyai cakrawala atau pandangan yang luas bahwa kuliah bukan hanya sekadar mengisi waktu kosong, daripada menjadi penganggur, untuk mencari gelar, dihormati masyarakat, lulus jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan seterusnya. Dalam setiap diri mahasiswa harus ditanamkan semangat kepemudaan yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Karena itu penting untuk ditawarkan skema leadership training program yang berorientasi membangun kembali desa asal mereka, terutama ketika masa orientasi mahasiswa di awal perkuliahan.
Jiwa kepemimpinan ini dapat dipupuk dengan menanamkan pada diri setiap mahasiswa bahwa ia adalah manusia terpilih (khoiro al ummah, the chosen people). Maka, tugasnya bukan hanya belajar dan membaca buku, membuat makalah serta dapat mengerjakan ujian semester dengan baik sehingga mendapatkan nilai A. Mahasiswa harus dapat mengisi waktunya untuk bergaul, bertukar informasi dan pengalaman, berorganisasi, dan memperluas jaringan. Dengan demikian mereka akan siap menghadapi kehidupan nyata yang kompleks.
Penting untuk sedini mungkin menghidupkan kesadaran mahasiswa tentang relevansi kehidupan kampus dengan kerasnya kehidupan di luar kampus. Karena kehidupan itu sendiri sering kali tidak sesuai antara teori yang senantiasa digeluti di bangku perguruan tinggi dan kenyataan yang akan mereka terima dan alami. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin mahasiswa dapat memperluas jaringan dan mengasah keterampilannya dengan berorganisasi di tengah semakin rigidnya peraturan dan padatnya sistem kurikulum pada perguruan tinggi?
Buka ruang
Sebagaimana kita ketahui bersama, di seluruh perguruan tinggi kini diterapkan sistem presensi (mengikuti kuliah) minimal 75% secara ketat. Tanpa batas minimal ini, seorang mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti ujian semester. Maka secara otomatis mereka harus mengulang di tahun depan. Ketatnya sistem perkuliahan ini sering kali membuat mahasiswa gamang menatap masa depan. Mahasiswa seakan diformat sedemikian rupa agar segera lulus pada semester delapan, memperoleh nilai memuaskan, bahkan cum laude (dengan pujian), bekerja sesuai dengan bidang yang digeluti (linier), dan seterusnya.
Dengan keadaan seperti ini, sulit bagi mahasiswa untuk berkembang mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki. Mahasiswa terkekang (baca: dikekang) oleh sistem pendidikan yang kaku, sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak. Tidak banyak mahasiswa yang berpikiran progresif dan mau melawan arus. Mahasiswa lebih banyak berpikiran pragmatis dalam meniti karier. Maka tidak aneh, ketika lulus pun, mereka akan menjadi penganggur terbuka yang kini jumlahnya mencapai 1.183.140 sarjana.
Guna menunjang suksesnya program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini, perguruan tinggi harus mau membuka ruang gerak mahasiswa untuk berkarya. Ruang terbuka dimaksud adalah, salah satunya, dengan mencoba memasukkan unsur keterampilan sosial (social skills) ke beberapa pokok bahasan mata kuliah secara berkesinambungan. Tanpa adanya ruang terbuka ini sulit bagi pemerintah umumnya dan mahasiswa pada khususnya untuk berkarya di daerah (apalagi daerah tertinggal).
Untuk menjaga konsistensi sekaligus membuktikan bahwa keterampilan sosial tersebut berguna secara nyata, program KKN tematis kembali ke desa juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Artinya, waktu satu hingga dua bulan dalam KKN akan sangat bermanfaat jika sisipan program keterampilan sosial mendapatkan relevansinya dalam program KKN tematis terebut. Jika ini yang terjadi berarti setiap komponen di perguruan tinggi dapat bekerja sama dan saling mendukung dalam menyukseskan program kerja ini secara berkesinambungan. Kesinambungan merupakan kata kunci suksesnya rencana program ini.
Misalnya, angkatan pertama, yang menurut data kementerian mencapai 6.000 mahasiswa dari UGM Yogyakarta, melakukan pendataan kebutuhan dan meletakkan fondasi kegiatan. Mahasiswa angkatan kedua dan seterusnya berkewajiban melanjutkan program tersebut, hingga target-target yang telah ditetapkan tercapai. Dengan demikian KKN bukan hanya sebagai ajang pindah tidur, hura-hura, liburan, dan sarana mencari calon jodoh, tapi mempunyai arti bagi masyarakat.
KKN tematis kembali ke desa akan lebih bermanfaat jika menyentuh persoalan riil di masyarakat dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Prinsip kemandirian dapat dilakukan mahasiswa dengan mengajak masyarakat memetakan sendiri kebutuhan mereka berdasarkan potensi daerahnya masing-masing. Semacam community need assessment yang dilanjutkan dengan serangkaian focus group discussion (FGD) adalah di antara teknik-teknik KKN tematis yang harus dikembangkan mahasiswa di tengah masyarakat. Hal ini karena, selain masyarakat sudah sadar bahwa kemajuan daerah tidak akan pernah terwujud tanpa adanya peran serta masyarakat desa itu sendiri, juga akan membantu mereka untuk merumuskan beragam skema solusi alternatif yang selama ini tidak pernah ditemukan jalan keluarnya. Pemetaan potensi masyarakat dan sumber daya alam daerah menjadi kunci utama program ini. Tanpa hal tersebut, KKN tematis hanya akan semakin menambah beban negara.
Selain mengoptimalkan program KKN tematis ini, pemerintah perlu memberikan dukungan kepada putra daerah untuk berkiprah di daerahnya. Salah satunya dengan memberikan modal dan pelatihan sebagaimana pernah diprogramkan oleh calon Presiden M Jusuf Kalla pada Pemilu 2009 lalu. Pemberian modal melalui bank pemerintah yang sudah mulai dirintis sudah saatnya terus disosialisasikan dan menjadi agenda kerja bersama.
KKN tematis kembali ke desa pada dasarnya merupakan manifestasi dari apa yang telah dikatakan oleh Paulo Freire bahwa seseorang bukanlah intelektual jika hanya mau hidup di kota dan melupakan desanya. Semakin banyak intelektual hidup di kota, berarti sistem pendidikan di Tanah Air gagal menciptakan iklim atau tradisi pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan. Pendidikan seperti ini hanya akan semakin melanggengkan sistem feodal. Kaum intelektual hanya akan menjadi menara gading yang jauh bersentuhan dengan realitas sosial.
Pada akhirnya, program KKN tematis yang digawangi oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini perlu didukung sebagai upaya mengembalikan intelektual ke desa. Kaum intelektual harus kembali ke desa membangun tatanan masyarakat yang berkepribadian dan berkemandirian. Tanpa sentuhan kaum intelektual di desa, akan semakin banyak pemuda desa menjadi penganggur, masyarakat desa terampas hak-haknya oleh penguasa daerah, dan bangsa ini akan kehilangan kesempatan untuk bersaing dengan bangsa lain. Semoga rencana Kementerian PDT ini merupakan ijtihad dalam mengurangi pengangguran dan menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.
Oleh Benni Setiawan Pengamat Pendidikan, tinggal di Sukoharjo
Jumat, 19 Februari 2010
Menanti Kiprah Kaum Agamawan
Pikiran Rakyat, Jum'at 19 Februari 2010
Oleh Benni Setiawan
Banjir dan tanah longsor kembali menghiasi halaman depan media massa, baik cetak maupun elektronik. Banjir dan tanah longsor kali ini juga menyisakan kesedihan bagi korban. Harta benda dan nyawa menjadi taruhan atas peristiwa tahunan ini. Mengapa banjir dan tanah longsor selalu terjadi dan bahkan menjadi agenda wajib tahunan?
Banjir dan tanah longsor yang terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Barat seperti Bandung dan Sukabumi, tentunya tidak dapat dipisahkan dari perilaku negatif (kalau tidak mau disebut menyimpang) manusia. Manusia sebagai makhluk berakal dan mempunyai nafsu senantiasa merusak alam. Padahal seharusnya manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatul fil ardhi) yang dibekali Tuhan dengan akal, dapat menjaga harmoni antara alam dan Tuhannya.
Menurut David Bryce-Smith dalam Kenneth Aman (ed, 1988), antara sifat dasar dunia Tuhan dan manusia harus ada hubungan yang harmonis. Smith menganalisis permasalahan ekologi melalui bidang ekonomi, karena terdapat kesalahan manajemen pada urusan manusia di era industrialisasi sekarang ini. Smith menjelaskan perlunya tingkah laku yang bermoral sebagai sebuah evolusi. Terutama oleh kaum agamawan, yang memiliki ”agama” (kehendak menafsir, meminjam istilah Gadamer) untuk kebaikan umat manusia. Agama harus mengajarkan hubungan manusia yang bertanggung jawab ke arah sifat dasar dunia.
Mengapa kaum agamawan? Hal ini karena mereka merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ”tradisional”. Dengan sentuhan agama, seseorang akan mudah disadarkan bahwa eksploitasi alam akan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Dengan agama pula, seseorang mempunyai kesadaran kritis untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Karena agama masih menjadi ”panduan suci” dalam setiap aktivitas umat manusia.
Kaum agamawan pun demikian. Dia adalah panutan masyarakat. Apa yang dituahkan akan dituruti tanpa harus banyak berdebat. Hal ini karena masyarakat menganggap mereka sebagai manusia terpilih.
Namun, apa yang terjadi sekarang ini? Agama dan kaum agamawan lebih disibukkan oleh urusan politik praktis. Agama dijadikan alasan pembenar atas segala tindakan atau perilaku politik. Agama pun dijual murah untuk meraih suara terbanyak. Simbol-simbol agama pun menjadi hal dominan dalam iklan politik saat Pemilu 2009 dan menjelang Pemilukada 2010. Kaum agamawan pun berlomba meraih kursi di tingkat DPRD tingkat I dan II, DPR RI, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.
Jika keadaannya demikian, kepada siapa lagi masyarakat berkeluh kesah dan meminta ”fatwa”? Masyarakat akan sulit mencari figur yang dapat membimbingnya untuk berperilaku dan menjaga ekosistem alam. Kaum agamawan sudah tidak lagi punya banyak waktu untuk mendidik warganya agar sadar lingkungan karena waktunya habis untuk urusan lobi, intrik, dan manuver guna meraih jabatan di pemerintahan.
Kerusakan lingkungan akibat illegal logging tidak menjadi isu sensitif agama dan kaum agamawan. Bagi mereka, isu krusialnya adalah bagaimana menjalankan mesin partai, menjaga kandang agar tidak kebobolan, dan bersiap melakukan serangan balik jika lawan politiknya menyerang atau melakukan manuver. Kerusakan lingkungan dan bencana alam tidak pernah dicarikan solusinya (fatwa). Padahal merusak lingkungan merupakan perbuatan keji yang dilarang Tuhan. ”Telah tampak kerusakan di daratan dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (Q.S. ar-Ruum, 30:41).
Keadaan seperti ini sudah saatnya diakhiri. Kaum agamawan saatnya kembali mengabdikan hidupnya untuk umat. Kaum agamawan selayaknya menyisakan sedikit tenaga dan waktunya untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam. Kaum agamawan sudah saatnya menyuarakan fatwa (seruan) menjaga alam. Khotbah-khotbah Jumat (bagi umat Islam), dan Minggu (bagi umat Katolik dan Protestan) sudah saatnya dihiasi rujukan kitab suci dan penyadaran agar umat tidak menyia-nyiakan alam.
Warga perlu disadarkan bahwa alam sangat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi alam, maka, ia meninggalkan kerusakan dan generasi lemah. Akan banyak generasi mati sia-sia tanpa sempat menikmati indahnya hidup di bumi. Keindahan bumi dan kelestarian bumi sudah saatnya kita jaga bersama. Kerusakan bumi merupakan bencana bagi kelangsungan hidup manusia. Ini karena di bumilah manusia hidup dan meneruskan keturunannya.
Sudah saatnya agama dan kaum agamawan turut serta menjadi penjaga alam dari kerusakan. Mereka merupakan harapan bagi masyarakat Indonesia yang konon religius dalam menjaga makro dan mikrokosmos bumi. Tanpa kesadaran kaum agamawan, banjir dan tanah longsor akan terus menjadi agenda tahunan. Pada akhirnya, umatlah yang akan menjadi korban. Wallahualam.***
Penulis, peneliti Lentera Institute.
Oleh Benni Setiawan
Banjir dan tanah longsor kembali menghiasi halaman depan media massa, baik cetak maupun elektronik. Banjir dan tanah longsor kali ini juga menyisakan kesedihan bagi korban. Harta benda dan nyawa menjadi taruhan atas peristiwa tahunan ini. Mengapa banjir dan tanah longsor selalu terjadi dan bahkan menjadi agenda wajib tahunan?
Banjir dan tanah longsor yang terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Barat seperti Bandung dan Sukabumi, tentunya tidak dapat dipisahkan dari perilaku negatif (kalau tidak mau disebut menyimpang) manusia. Manusia sebagai makhluk berakal dan mempunyai nafsu senantiasa merusak alam. Padahal seharusnya manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatul fil ardhi) yang dibekali Tuhan dengan akal, dapat menjaga harmoni antara alam dan Tuhannya.
Menurut David Bryce-Smith dalam Kenneth Aman (ed, 1988), antara sifat dasar dunia Tuhan dan manusia harus ada hubungan yang harmonis. Smith menganalisis permasalahan ekologi melalui bidang ekonomi, karena terdapat kesalahan manajemen pada urusan manusia di era industrialisasi sekarang ini. Smith menjelaskan perlunya tingkah laku yang bermoral sebagai sebuah evolusi. Terutama oleh kaum agamawan, yang memiliki ”agama” (kehendak menafsir, meminjam istilah Gadamer) untuk kebaikan umat manusia. Agama harus mengajarkan hubungan manusia yang bertanggung jawab ke arah sifat dasar dunia.
Mengapa kaum agamawan? Hal ini karena mereka merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ”tradisional”. Dengan sentuhan agama, seseorang akan mudah disadarkan bahwa eksploitasi alam akan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Dengan agama pula, seseorang mempunyai kesadaran kritis untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Karena agama masih menjadi ”panduan suci” dalam setiap aktivitas umat manusia.
Kaum agamawan pun demikian. Dia adalah panutan masyarakat. Apa yang dituahkan akan dituruti tanpa harus banyak berdebat. Hal ini karena masyarakat menganggap mereka sebagai manusia terpilih.
Namun, apa yang terjadi sekarang ini? Agama dan kaum agamawan lebih disibukkan oleh urusan politik praktis. Agama dijadikan alasan pembenar atas segala tindakan atau perilaku politik. Agama pun dijual murah untuk meraih suara terbanyak. Simbol-simbol agama pun menjadi hal dominan dalam iklan politik saat Pemilu 2009 dan menjelang Pemilukada 2010. Kaum agamawan pun berlomba meraih kursi di tingkat DPRD tingkat I dan II, DPR RI, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.
Jika keadaannya demikian, kepada siapa lagi masyarakat berkeluh kesah dan meminta ”fatwa”? Masyarakat akan sulit mencari figur yang dapat membimbingnya untuk berperilaku dan menjaga ekosistem alam. Kaum agamawan sudah tidak lagi punya banyak waktu untuk mendidik warganya agar sadar lingkungan karena waktunya habis untuk urusan lobi, intrik, dan manuver guna meraih jabatan di pemerintahan.
Kerusakan lingkungan akibat illegal logging tidak menjadi isu sensitif agama dan kaum agamawan. Bagi mereka, isu krusialnya adalah bagaimana menjalankan mesin partai, menjaga kandang agar tidak kebobolan, dan bersiap melakukan serangan balik jika lawan politiknya menyerang atau melakukan manuver. Kerusakan lingkungan dan bencana alam tidak pernah dicarikan solusinya (fatwa). Padahal merusak lingkungan merupakan perbuatan keji yang dilarang Tuhan. ”Telah tampak kerusakan di daratan dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (Q.S. ar-Ruum, 30:41).
Keadaan seperti ini sudah saatnya diakhiri. Kaum agamawan saatnya kembali mengabdikan hidupnya untuk umat. Kaum agamawan selayaknya menyisakan sedikit tenaga dan waktunya untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam. Kaum agamawan sudah saatnya menyuarakan fatwa (seruan) menjaga alam. Khotbah-khotbah Jumat (bagi umat Islam), dan Minggu (bagi umat Katolik dan Protestan) sudah saatnya dihiasi rujukan kitab suci dan penyadaran agar umat tidak menyia-nyiakan alam.
Warga perlu disadarkan bahwa alam sangat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi alam, maka, ia meninggalkan kerusakan dan generasi lemah. Akan banyak generasi mati sia-sia tanpa sempat menikmati indahnya hidup di bumi. Keindahan bumi dan kelestarian bumi sudah saatnya kita jaga bersama. Kerusakan bumi merupakan bencana bagi kelangsungan hidup manusia. Ini karena di bumilah manusia hidup dan meneruskan keturunannya.
Sudah saatnya agama dan kaum agamawan turut serta menjadi penjaga alam dari kerusakan. Mereka merupakan harapan bagi masyarakat Indonesia yang konon religius dalam menjaga makro dan mikrokosmos bumi. Tanpa kesadaran kaum agamawan, banjir dan tanah longsor akan terus menjadi agenda tahunan. Pada akhirnya, umatlah yang akan menjadi korban. Wallahualam.***
Penulis, peneliti Lentera Institute.
Menjamin hak menolak diskriminasi
Solo Pos, Kamis, 18 Februari 2010 , Hal.4
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menuai pro dan kontra. Pihak pro menyatakan bahwa RUU ini akan menjamin “kemerdekaan” bagi perempuan. Artinya, hak-hak perempuan akan terjamin sehingga ia tidak akan ditelantarkan oleh calon suami atau suami mereka sendiri.
Namun, bagi pihak kontra, RUU ini menciderai kebebasan pribadi. RUU ini dinilai lebih pada usaha mengatur urusan privat. Ada juga pihak kontra yang mendasarkan penolakannya pada dalil-dalil agama (Islam), sebagaimana aturan tentang diperbolehkannya melakukan poligami, bagi seorang suami dalam Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah prasangka-prasangka tersebut benar adanya? Bagaimana keberadaan RUU ini di masa yang akan datang?
RUU yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 ini memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Sebagaimana dalam Pasal 143, “Melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”. Pasal 144, “Melakukan perkawinan mutah diancam pidana paling lama tiga tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum”. Pasal 145, “Melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin dari pengadilan, dipidana denda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”.
Pasal 146, “Menceraikan istri tidak di depan pengadilan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman enam bulan penjara”. Pasal 147, “Menghamili perempuan yang belum menikah sehingga hamil, sedang ia menolak mengawini, dipidana paling lama tiga bulan penjara”.
RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah senilai Rp 500 juta.
Melindungi hak
Jika ditilik dalam perspektif pro-RUU, aturan-aturan tersebut merupakan agenda nyata pemerintah dalam melindungi hak-hak perempuan. Perempuan dalam sistem perkawinan Indonesia mendapatkan perlindungan hukum dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap perempuan merupakan sebuah keniscayaan di era sekarang ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama, di masyarakat masih ada pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang dipoligami misalnya, seringkali tidak mendapatkan hak yang bersifat kualitatif. Seperti kasih sayang, cinta dan perhatian.
Maka, tepatlah jika RUU ini mengatur keharusan seorang suami yang akan berpoligami harus seizin pengadilan. Hal ini karena pengadilanlah yang akan menentukan apakah seseorang mampu melangsungkan poligami dengan memenuhi dua unsur keadilan yaitu kualitatif dan kuantitatif.
Kehadiran RUU diharapkan semakin melengkapi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dicegah dengan pelarangan nikah siri dan nikah mutah. Pemidanaan nikah siri dan mutah merupakan pencegahan awal terjadinya kekerasan suami terhadap istri.
Kemudian mengapa banyak pihak menolak RUU ini? Memidanakan pelaku nikah siri, mutah, poligami tanpa izin pengadilan merupakan sebuah keadilan. Artinya, di tengah laju modernisme yang semakin cepat, pilihan pragmatis seringkali ditempuh oleh masyarakat.
Demikian juga dalam hal pernikahan. Jika pemerintah tidak melindungi warga negaranya, maka akan semakin banyak perempuan Indonesia manjadi janda karena dinikahi siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan.
Perilaku nikah siri dan mutah sebagaimana pernah ada di Puncak, Bogor, Jawa Barat, hanyalah seperti membeli kenikmatan dalam waktu sesaat. Setelah dipakai perempuan-perempuan tersebut dicampakkan begitu saja, tanpa diberi nafkah selayaknya seorang istri yang telah dinikahi.
Walaupun pernikahan merupakan urusan privat, namun ekses dari pernikahan merupakan urusan publik. Hal ini karena nikah bukan hanya urusan memuaskan nafsu, bertemunya seorang laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan keturunan, namun nikah merupakan awal terbentuknya tatanan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Dalam teori sosial kritis misalnya, berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja (Ben Agger: 2008).
Maka dari itu, jika dalam rumah saja dimulai dengan sesuatu yang terlarang dan dilarang, maka sulit diharapkan terjadinya perubahan sosial yang akan mendorong terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban.
Pelarangan nikah siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan, kiranya tepat guna menghindari justifikasi ayat-ayat kitab suci. Dengan peraturan ini seseorang akan tidak mudah menggunakan ayat suci untuk membenarkan perbuatan yang melanggar hak-hak hidup perempuan sebagai makhluk Tuhan.
Pada akhirnya, sudah saatnya RUU ini disambut dengan hangat dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Hal ini karena RUU ini akan merupakan manifestasi dari ajaran yang mulia (Alquran) yang menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan melarang adanya pembedaaan atau diskriminasi terhadap ciptaan Tuhan. Wallahu a’lam. -
Oleh : Benni Setiawan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menuai pro dan kontra. Pihak pro menyatakan bahwa RUU ini akan menjamin “kemerdekaan” bagi perempuan. Artinya, hak-hak perempuan akan terjamin sehingga ia tidak akan ditelantarkan oleh calon suami atau suami mereka sendiri.
Namun, bagi pihak kontra, RUU ini menciderai kebebasan pribadi. RUU ini dinilai lebih pada usaha mengatur urusan privat. Ada juga pihak kontra yang mendasarkan penolakannya pada dalil-dalil agama (Islam), sebagaimana aturan tentang diperbolehkannya melakukan poligami, bagi seorang suami dalam Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah prasangka-prasangka tersebut benar adanya? Bagaimana keberadaan RUU ini di masa yang akan datang?
RUU yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 ini memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Sebagaimana dalam Pasal 143, “Melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”. Pasal 144, “Melakukan perkawinan mutah diancam pidana paling lama tiga tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum”. Pasal 145, “Melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin dari pengadilan, dipidana denda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”.
Pasal 146, “Menceraikan istri tidak di depan pengadilan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman enam bulan penjara”. Pasal 147, “Menghamili perempuan yang belum menikah sehingga hamil, sedang ia menolak mengawini, dipidana paling lama tiga bulan penjara”.
RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah senilai Rp 500 juta.
Melindungi hak
Jika ditilik dalam perspektif pro-RUU, aturan-aturan tersebut merupakan agenda nyata pemerintah dalam melindungi hak-hak perempuan. Perempuan dalam sistem perkawinan Indonesia mendapatkan perlindungan hukum dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap perempuan merupakan sebuah keniscayaan di era sekarang ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama, di masyarakat masih ada pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang dipoligami misalnya, seringkali tidak mendapatkan hak yang bersifat kualitatif. Seperti kasih sayang, cinta dan perhatian.
Maka, tepatlah jika RUU ini mengatur keharusan seorang suami yang akan berpoligami harus seizin pengadilan. Hal ini karena pengadilanlah yang akan menentukan apakah seseorang mampu melangsungkan poligami dengan memenuhi dua unsur keadilan yaitu kualitatif dan kuantitatif.
Kehadiran RUU diharapkan semakin melengkapi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dicegah dengan pelarangan nikah siri dan nikah mutah. Pemidanaan nikah siri dan mutah merupakan pencegahan awal terjadinya kekerasan suami terhadap istri.
Kemudian mengapa banyak pihak menolak RUU ini? Memidanakan pelaku nikah siri, mutah, poligami tanpa izin pengadilan merupakan sebuah keadilan. Artinya, di tengah laju modernisme yang semakin cepat, pilihan pragmatis seringkali ditempuh oleh masyarakat.
Demikian juga dalam hal pernikahan. Jika pemerintah tidak melindungi warga negaranya, maka akan semakin banyak perempuan Indonesia manjadi janda karena dinikahi siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan.
Perilaku nikah siri dan mutah sebagaimana pernah ada di Puncak, Bogor, Jawa Barat, hanyalah seperti membeli kenikmatan dalam waktu sesaat. Setelah dipakai perempuan-perempuan tersebut dicampakkan begitu saja, tanpa diberi nafkah selayaknya seorang istri yang telah dinikahi.
Walaupun pernikahan merupakan urusan privat, namun ekses dari pernikahan merupakan urusan publik. Hal ini karena nikah bukan hanya urusan memuaskan nafsu, bertemunya seorang laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan keturunan, namun nikah merupakan awal terbentuknya tatanan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Dalam teori sosial kritis misalnya, berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja (Ben Agger: 2008).
Maka dari itu, jika dalam rumah saja dimulai dengan sesuatu yang terlarang dan dilarang, maka sulit diharapkan terjadinya perubahan sosial yang akan mendorong terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban.
Pelarangan nikah siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan, kiranya tepat guna menghindari justifikasi ayat-ayat kitab suci. Dengan peraturan ini seseorang akan tidak mudah menggunakan ayat suci untuk membenarkan perbuatan yang melanggar hak-hak hidup perempuan sebagai makhluk Tuhan.
Pada akhirnya, sudah saatnya RUU ini disambut dengan hangat dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Hal ini karena RUU ini akan merupakan manifestasi dari ajaran yang mulia (Alquran) yang menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan melarang adanya pembedaaan atau diskriminasi terhadap ciptaan Tuhan. Wallahu a’lam. -
Oleh : Benni Setiawan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pentingnya Pendidikan Berbasis Hak Asasi Manusia
01 Feb 2010, Media Indonesia, Pendidikan
Oleh Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional tinggal di Yogyakarta
ISU hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mulai mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat pascajatuhnya HM Soeharto dari kursi kepresidenan. Perbincangan mengenai HAM sering kali dikaitkan dengan rezim Orde Baru yang otoriter. Kasus-kasus yang dahulu menjadi agenda keberhasilan dalam menumpas gerakan separatis berubah menjadi persoalan serius di tengah masyarakat. Artinya, setiap penumpasan gerakan separatis selalu menyisakan persoalan pembunuhan, pembantaian, dan seterusnya yang sangat erat hubungannya dengan isu-isu HAM.
Ambil contoh, kasus Tanjung Priok, Tragedi-Lampung, Malapetaka Januari (Malari) 15 Januari 1974, penembakan aktivis di Trisakti dan Semanggi 1998, dan akhir-akhir ini pembunuhan aktivis HAM Munir. Ketika kasus-kasus tersebut diproses secara hukum, banyak kalangan yang "berpendapat bahwa sidang itu hanya formalitas. Aktor intelektual di balik aksi-aksi tersebut tetap dapat bernapas lega. Sebaliknya, eksekutor aksi meringkuk di balik jeruji besi.
Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar hal tersebut, tetapi hanya akan mengulas sedikit tentang pentingnya pendidikan berbasis HAM bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan terhadap hal itu adalah mendesak mengingat implikasi pelanggaran HAM akan merambah ke segala aspek kehidupan sosial, politik, hukum, hingga ekonomi sebuah bangsa.
HAM menurut Frans Magnis Suseno (1987) adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh manusia, bukan diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif (hukum-hukum yang berlaku), melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memiliki HAM karena ia adalah manusia. Pengertian di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa dengan HAM, manusia dapat disebut dengan manusia. Sebaliknya, jika HAM telah hilang dan dikangkangi kepentingan orang atau sekelompok orang yang Iain, kemanusiaan manusia telah hilang.
Dalam konteks itu, pendidikan mengenai HAM sudah selayaknya diberikan kepada masyarakat. Artinya, masyarakat harus disadarkan bahwa ia mempunyai HAM sebagai bekal mereka hidup sejak dini. Dengan demikian, ketika hak-haknya direnggut dan bahkan diabaikan
oleh orang lain, ia dapat membela diri. Secara lebih spesifik, pendidikan berbasis HAM diharapkan akan membawa kesadaran baru di masyarakat tentang pentingnya menghargai setiap individu berdasarkan hak asasi bawaan masing-masing.
Pendidikan berbasis HAM Salah satu lembaga yang mempunyai kewenangan mengajarkan HAM kepada masyarakat adalah pendidikan. Pendidikan tidak hanya berarti sekolah, pesantren, perguruan tinggi, dan seterusnya. Pendidikan juga berbentuk lembaga seperti keluarga, masyarakat itu sendiri, dan pemerintah.
Pengenalan HAM semestinya telah ditanamkan sejak di dalam keluarga. Artinya, keluarga mempunyai kewenangan (baca tanggung jawab) lebih untuk menanamkan HAM pada diri anak. Anak (manusia) mempunyai hak untuk hidup. Artinya, ia adalah insan merdeka yang oleh karena itu, anak tidak boleh disakiti dan siksa. Kekerasan terhadap anak yang baru-baru ini kembali merebak merupakan salah satu bukti belum sadar-nya keluarga akan arti penting HAM. Anak juga mempunyai hak untuk berekspresi. Artinya, pengambilan keputusan yang dilakukan dalam keluarga seyogianya memedulikan dan menghormati pendapat anak.
Ambil contoh, dalam menentukan sekolah. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menentukan sekolah anaknya. Orang tua setidaknya memberikan beberapa alternatif sekolah untuk dipilih anaknya. Hal itu tentunya didasarkan oleh pertimbangan baik, buruk, atau manfaat bagi calon peserta didik. Anak diberi keluasan dan kebebasan untuk memilih calon sekolahnya. Dengan demikian, ia akan merasa nyaman dengan pilihan yang telah diputuskannya.
Sekolah sebagai lembaga kedua pembentukan karakteristik anak dan pengembangan potensi merupakan kelanjutan pengenalan HAM yang pertama. Ketika keluarga mendasarkan pendidikan HAM pada pola atau tingkah laku secara langsung, sekolah mengajarkan HAM pada taraf teori aplikatif. Artinya, tidak hanya teori-teori perkembangan, pengertian HAM, tetapi didukung oleh data atau contoh-contoh pelanggaran HAM.
Seorang guru setidaknya juga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan atau menunjukkan iktikad yang baik untuk mendidik berbasis HAM. Misalnya, guru harus menjadi orang tua yang baik bagi peserta didik. Guru harus mau menerima kritik atau sanggahan dari peserta didik. Hal itu didasarkan pada beragamnya bacaan atau pengalaman peserta didik. Dalam pendekatan mengajar, sesekali guru patut mencoba metode andragogi dengan siswa diperlakukan sebagai orang dewasa agar mereka dapat lebih mudah memahami hak-hak orang lain.
Jika seorang guru hanya mampu membaca tiga teks buku dalam satu mata pelajaran, 40 siswa dalam sebuah kelas, misalnya, tentunya mempunyai bacaan beragam. Kemampuan untuk mencerna sebuah buku pelajaran pun akan sangat berbeda satu peserta didik dengan peserta didik lainnya. Hal itu mengakibatkan semakin beragamnya pendapat dan gagasan yang dilontarkan oleh peserta didik.
Dengan demikian, guru harus menempatkan dirinya sebagai seorang yang menimba ilmu dari muridnya. Keadaan demikian akan menjadikan suasana kelas yang menyenangkan. Guru dan murid saling belajar. Tidak ada yang pandai dan bodoh di antara mereka. Yang ada hanyalah saling tukar pengalaman dan pandangan. Pendekatan andragogi dalam memperkenalkan
pendidikan berbasis HAM adalah keniscayaan. Dengan pendekatan ini baik guru maupun siswa dapat menjadi anutan untuk tiap kasus pelanggaran HAM yang dapat dielaborasi serta diinte-grasi ke dalam tiap mata ajar yang diampu oleh guru. Karena itu, tidak ada salahnya jika sekolah mencoba melakukan uji coba pendidikan berbasis HAM di sekolah masing-masing.
Selanjutnya adalah pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat juga mempunyai kewajiban untuk mendidik. Artinya, ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari mata rantai pendidikan. Anak belajar dengan orang tua, sekolah, dan akhirnya kembali kepada masyarakat.
Gara masyarakat mendidik adalah dengan sikap. Misalnya, dalam sebuah masyarakat ada larangan untuk merokok atau anak kecil dilarang merokok. Masyarakat pun juga tidak diperkenankan untuk merokok di depan anak kecil.
Demikian pula di tempat-tempat umum. Seorang perokok harus menghormati hak orang lain yang tidak merokok. Maka, tepat apa yang telah diusahakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Pemkot Surabaya, Pemprov Jawa Timur, dan Pemprov DI Yogyakarta. Adanya peraturan larangan merokok di tempat umum adalah bukti adanya kesadaran masyarakat untuk menghormati hak seseorang untuk sehat dan menghirup udara segar.
Terakhir adalah peran serta pemerintah. Sebagaimana telah diungkapkan, pemerintah mempunyai tanggung jawab menjaga (baca menegakkan HAM). Kementerian Pendidikan Nasional, dalam hal ini, sudah seyogianya merumuskan pendidikan berbasis HAM untuk diajarkan di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lain. Sebagai bekal pengenalan HAM secara teoretis sejak dini.
Selain Kemendiknas, lembaga-lembaga lain juga harus menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung usai adalah tanda kurang adanya iktikad baik dari pemerintah untuk mengajarkan atau mendidik bangsa berbasis HAM. Karena itu, kebijakan untuk menempatkan pola dan pendekatan pendidikan berbasis HAM di sekolah akan merupakan salah satu keputusan strategis yang perlu direalisasikan.
Pendidikan berbasis HAM pada dasarnya adalah usaha nyata semua pihak guna mewujudkan kehidupan yang seimbang (baca harmonis) antara hak dan kewajiban. Hal itu disebabkan ketimpangan antara hak dan kewajiban akan berakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa, yang implikasinya sangat tidak baik bagi proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional tinggal di Yogyakarta
ISU hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mulai mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat pascajatuhnya HM Soeharto dari kursi kepresidenan. Perbincangan mengenai HAM sering kali dikaitkan dengan rezim Orde Baru yang otoriter. Kasus-kasus yang dahulu menjadi agenda keberhasilan dalam menumpas gerakan separatis berubah menjadi persoalan serius di tengah masyarakat. Artinya, setiap penumpasan gerakan separatis selalu menyisakan persoalan pembunuhan, pembantaian, dan seterusnya yang sangat erat hubungannya dengan isu-isu HAM.
Ambil contoh, kasus Tanjung Priok, Tragedi-Lampung, Malapetaka Januari (Malari) 15 Januari 1974, penembakan aktivis di Trisakti dan Semanggi 1998, dan akhir-akhir ini pembunuhan aktivis HAM Munir. Ketika kasus-kasus tersebut diproses secara hukum, banyak kalangan yang "berpendapat bahwa sidang itu hanya formalitas. Aktor intelektual di balik aksi-aksi tersebut tetap dapat bernapas lega. Sebaliknya, eksekutor aksi meringkuk di balik jeruji besi.
Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar hal tersebut, tetapi hanya akan mengulas sedikit tentang pentingnya pendidikan berbasis HAM bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan terhadap hal itu adalah mendesak mengingat implikasi pelanggaran HAM akan merambah ke segala aspek kehidupan sosial, politik, hukum, hingga ekonomi sebuah bangsa.
HAM menurut Frans Magnis Suseno (1987) adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh manusia, bukan diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif (hukum-hukum yang berlaku), melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memiliki HAM karena ia adalah manusia. Pengertian di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa dengan HAM, manusia dapat disebut dengan manusia. Sebaliknya, jika HAM telah hilang dan dikangkangi kepentingan orang atau sekelompok orang yang Iain, kemanusiaan manusia telah hilang.
Dalam konteks itu, pendidikan mengenai HAM sudah selayaknya diberikan kepada masyarakat. Artinya, masyarakat harus disadarkan bahwa ia mempunyai HAM sebagai bekal mereka hidup sejak dini. Dengan demikian, ketika hak-haknya direnggut dan bahkan diabaikan
oleh orang lain, ia dapat membela diri. Secara lebih spesifik, pendidikan berbasis HAM diharapkan akan membawa kesadaran baru di masyarakat tentang pentingnya menghargai setiap individu berdasarkan hak asasi bawaan masing-masing.
Pendidikan berbasis HAM Salah satu lembaga yang mempunyai kewenangan mengajarkan HAM kepada masyarakat adalah pendidikan. Pendidikan tidak hanya berarti sekolah, pesantren, perguruan tinggi, dan seterusnya. Pendidikan juga berbentuk lembaga seperti keluarga, masyarakat itu sendiri, dan pemerintah.
Pengenalan HAM semestinya telah ditanamkan sejak di dalam keluarga. Artinya, keluarga mempunyai kewenangan (baca tanggung jawab) lebih untuk menanamkan HAM pada diri anak. Anak (manusia) mempunyai hak untuk hidup. Artinya, ia adalah insan merdeka yang oleh karena itu, anak tidak boleh disakiti dan siksa. Kekerasan terhadap anak yang baru-baru ini kembali merebak merupakan salah satu bukti belum sadar-nya keluarga akan arti penting HAM. Anak juga mempunyai hak untuk berekspresi. Artinya, pengambilan keputusan yang dilakukan dalam keluarga seyogianya memedulikan dan menghormati pendapat anak.
Ambil contoh, dalam menentukan sekolah. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menentukan sekolah anaknya. Orang tua setidaknya memberikan beberapa alternatif sekolah untuk dipilih anaknya. Hal itu tentunya didasarkan oleh pertimbangan baik, buruk, atau manfaat bagi calon peserta didik. Anak diberi keluasan dan kebebasan untuk memilih calon sekolahnya. Dengan demikian, ia akan merasa nyaman dengan pilihan yang telah diputuskannya.
Sekolah sebagai lembaga kedua pembentukan karakteristik anak dan pengembangan potensi merupakan kelanjutan pengenalan HAM yang pertama. Ketika keluarga mendasarkan pendidikan HAM pada pola atau tingkah laku secara langsung, sekolah mengajarkan HAM pada taraf teori aplikatif. Artinya, tidak hanya teori-teori perkembangan, pengertian HAM, tetapi didukung oleh data atau contoh-contoh pelanggaran HAM.
Seorang guru setidaknya juga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan atau menunjukkan iktikad yang baik untuk mendidik berbasis HAM. Misalnya, guru harus menjadi orang tua yang baik bagi peserta didik. Guru harus mau menerima kritik atau sanggahan dari peserta didik. Hal itu didasarkan pada beragamnya bacaan atau pengalaman peserta didik. Dalam pendekatan mengajar, sesekali guru patut mencoba metode andragogi dengan siswa diperlakukan sebagai orang dewasa agar mereka dapat lebih mudah memahami hak-hak orang lain.
Jika seorang guru hanya mampu membaca tiga teks buku dalam satu mata pelajaran, 40 siswa dalam sebuah kelas, misalnya, tentunya mempunyai bacaan beragam. Kemampuan untuk mencerna sebuah buku pelajaran pun akan sangat berbeda satu peserta didik dengan peserta didik lainnya. Hal itu mengakibatkan semakin beragamnya pendapat dan gagasan yang dilontarkan oleh peserta didik.
Dengan demikian, guru harus menempatkan dirinya sebagai seorang yang menimba ilmu dari muridnya. Keadaan demikian akan menjadikan suasana kelas yang menyenangkan. Guru dan murid saling belajar. Tidak ada yang pandai dan bodoh di antara mereka. Yang ada hanyalah saling tukar pengalaman dan pandangan. Pendekatan andragogi dalam memperkenalkan
pendidikan berbasis HAM adalah keniscayaan. Dengan pendekatan ini baik guru maupun siswa dapat menjadi anutan untuk tiap kasus pelanggaran HAM yang dapat dielaborasi serta diinte-grasi ke dalam tiap mata ajar yang diampu oleh guru. Karena itu, tidak ada salahnya jika sekolah mencoba melakukan uji coba pendidikan berbasis HAM di sekolah masing-masing.
Selanjutnya adalah pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat juga mempunyai kewajiban untuk mendidik. Artinya, ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari mata rantai pendidikan. Anak belajar dengan orang tua, sekolah, dan akhirnya kembali kepada masyarakat.
Gara masyarakat mendidik adalah dengan sikap. Misalnya, dalam sebuah masyarakat ada larangan untuk merokok atau anak kecil dilarang merokok. Masyarakat pun juga tidak diperkenankan untuk merokok di depan anak kecil.
Demikian pula di tempat-tempat umum. Seorang perokok harus menghormati hak orang lain yang tidak merokok. Maka, tepat apa yang telah diusahakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Pemkot Surabaya, Pemprov Jawa Timur, dan Pemprov DI Yogyakarta. Adanya peraturan larangan merokok di tempat umum adalah bukti adanya kesadaran masyarakat untuk menghormati hak seseorang untuk sehat dan menghirup udara segar.
Terakhir adalah peran serta pemerintah. Sebagaimana telah diungkapkan, pemerintah mempunyai tanggung jawab menjaga (baca menegakkan HAM). Kementerian Pendidikan Nasional, dalam hal ini, sudah seyogianya merumuskan pendidikan berbasis HAM untuk diajarkan di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lain. Sebagai bekal pengenalan HAM secara teoretis sejak dini.
Selain Kemendiknas, lembaga-lembaga lain juga harus menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung usai adalah tanda kurang adanya iktikad baik dari pemerintah untuk mengajarkan atau mendidik bangsa berbasis HAM. Karena itu, kebijakan untuk menempatkan pola dan pendekatan pendidikan berbasis HAM di sekolah akan merupakan salah satu keputusan strategis yang perlu direalisasikan.
Pendidikan berbasis HAM pada dasarnya adalah usaha nyata semua pihak guna mewujudkan kehidupan yang seimbang (baca harmonis) antara hak dan kewajiban. Hal itu disebabkan ketimpangan antara hak dan kewajiban akan berakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa, yang implikasinya sangat tidak baik bagi proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kamis, 07 Januari 2010
KB dan Kesehatan Reproduksi
Perempuan, Suara Merdeka, 06 Januari 2010
APA kabar program keluarga berencana (KB)? Setelah Soeharto lengser, program ini sepertinya mulai ditinggalkan. Kini program KB kembali mendapat perhatian publik.
Selain diancang untuk mewujudkan tatanan keluarga kecil bahagia, program ini juga menekan pertumbuhan penduduk dunia.
Namun, banyak feminis dan pengamat masalah perempuan menyatakan KB harus sesuai dadn berpihak pada perempuan. KB harus dimaknai dalam konteks kesehatan reproduksi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana KB dalam konteks kesehatan reproduksi?
Tercatat, tahun 2007 peserta KB mencapai 5,6 juta, diikuti peningkatan pada tahun 2008 menjadi 6,5 juta akseptor. Sepanjang 2009, sampai dengan Juli, akseptor di RSUP Dr Kariadi Semarang mencapai 1.188 akseptor.
Penggunaan KB itu terinci atas metode IUD (intrauterine device) 61 orang, vasektomi 127 orang, suntik 79 orang, pengguna pil 41 orang, dan yang paling besar pengguna kondom sebesar 880 orang.
Peningkatan akseptor KB searah dan sebangun dengan meningkatnya anggaran dari pemerintah. Anggaran untuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2006 hanya Rp 700 miliar.
Tahun 2007 meningkat menjadi Rp 1,04 triliun. Dan, tahun 2008 meningkat lagi menjadi Rp 1,2 triliun. Sementara tahun anggaran 2009 sebesar Rp 1,6 triliun.
Setelah rezim ini runtuh, program KB semakin redup terdesak oleh agenda penyelamatan sosial ekonomi dan politik bangsa.
Program KB kembali menjadi perbincangan dan agenda menginggat banyaknya usia produktif putus sekolah. Sesuai budaya masyarakat desa, anak-anak yang sudah tidak sekolah, biasanya langsung dinikahkan.
Pernikahan di usia produktif mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk (baby boom).
Angka kelahiran di Indonesia rata-rata 2,6% atau setiap keluarga memiliki 2,6 anak. Beberapa daerah angkanya bahkan lebih besar, sehingga harus dikendalikan.
Masalah Sosial Kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan mengakibatkan masalah sosial.
Lebih lanjut, ledakan jumlah penduduk tidak dibarengi oleh perluasan lahan bumi. Artinya, bumi yang stagnan akan semakin sempit dan berat, karena meningkatkan jumlah penduduk bumi.
Tujuan demografis inilah yang menjadi latar belakang adanya program KB.
Namun demikian, tujuan demografis seringkali mengalahkan aspek kemanusiaan dan moral.
Peserta KB (akseptor) yang notabene perempuan seringkali belum memperoleh hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Kesehatan reproduksi mereka sering diabaikan oleh pemerintah.
Kesehatan reproduksi haruslah dilihat dalam konteks kesehatan menurut Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di mana Indonesia juga menjadi anggota. Kesehatan menurut WHO adalah keadaan sehat fisik, mental, dan sejahtera secara sosial, bukan hanya tidak adanya penyakit atau kecacatan.
Dengan demikian, kesehatan reproduksi adalah kondisi di mana proses reproduksi dicapai dalam keadaan sehat fisik, mental, dan sejahtera secara sosial dan bukan sekadar tiadanya penyakit atau kelainan proses reproduksi.
Dengan konsep ini, tujuan KB akan sejalan seiring dengan konsensus Kairo ICPD yang mengintegrasikan isu kependudukan, pembangunan, dan hak asasi manusia ke dalam cetak biru 20 tahun Program Aksi.
Konsensus ini menyebutkan, penduduk stabil akan tercapai dengan sendirinya bila kebutuhan layanan KB dan kesehatan reproduksi bagi semua individu terpenuhi.
Untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut, perlu langkah nyata dalam menggalakkan program KB dalam bingkai kesehatan reproduksi. Yaitu, dengan pertama, menggratiskan KB. Program KB gratis mungkin masih kalah pamor dengan program sekolah gratis dan kesehatan gratis.
KB gratis akan mendorong seseorang (terutama penduduk miskin) dengan sukarela datang ke bidan atau puskesmas. Keengganan masyarakat untuk KB, salah satu faktornya masih mahalnya biaya program ini.
Kedua, meningkatkan peran serta BKKBN dalam menyosialisasikan program KB. Sudah menjadi rahasia umum jika koordinasi dan implementasi program BKKBN sangat lemah. Peran serta, koordinasi, dan implementasi BKKBN semakin tidak berdaya di tengah berlakunya otonomi daerah.
Ketiga, mengajak akseptor KB laki-laki. Hingga kini KB identik dengan perempuan. Namun, pada dasarnya KB dapat juga dilakukan oleh laki-laki. Walaupun masih rendah, peran serta kaum laki-laki dalam menyukseskan program KB menjadi penting.
Kesediaan laki-laki ber-KB akan semakin mendorong kaum perempuan untuk turut serta dalam program ini. KB merupakan program mulia. Namun, aspek kemanusiaan dan moral juga penting untuk menjamin kualitas hidup akseptor KB. (37)
- Benni Setiawan, penulis, tinggal di Sukoharjo.